UPAYA REFORMASI PENDIDIKAN MELALUI IMPLEMENTASI SCHOOL BASED
MANAGEMENT DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Noer Rohmah
Dosen Tetap STIT
Ibnu Sina Malang
ABSTRACT
Seiring dengan
perkembangan zaman yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era
persaingan yang semakin bebas, lembaga pendidikan dituntut untuk dapat
memberikan kualitas pendidikan yang bermutu karena lembaga pendidikan yang
kurang bermutu lama kelamaan akan ditinggalkan oleh masyarakat dan tersingkir
dengan sendirinya. Bentuk dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan
oleh pemerintah adalah dengan menetapkan
kebijakan Manajemen berbasis sekolah ( School
Based Management) yang merupakan salah satu isu yang kuat didorong ke
permukaan dalam konteks implementasi gagasan reformasi pendidikan yang
direfleksikan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai kebijakan afirmatif
terhadap UU No. 22 tahun 1999 yang mengotonomisasikan sektor pendidikan pada
daerah. Agar tidak terjadi sistem yang sentralistik di pemerintah daerah, maka
pemerintah mendorong otonomi itu diimplementasikan pada tingkat sekolah, yang
melibatkan kepala sekolah , guru ,orang tua siswa, siswa dan masyarakat dalam
proses pengambilan berbagai keputusan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang
ada di sekolah.
Pendahuluan
Lembaga pendidikan atau
sekolah itu dikembangkan salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan
permintaan berbagai pihak konstituen, yakni pemerintah, para ahli pendidikan,
orang tua siswa, siswa itu sendiri, serta berbagai anggota masyarakat yang
menaruh harapan-harapan kepada hasil pendidikan. Dengan demikian sangat fair
sekali jika mereka yang memiliki harapan-harapan terhadap sekolah tersebut ikut serta dalam merumuskan ide-ide dan
pemikiran-pemikiran dalam proses penetapan keputusan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan kebijakan sekolah untuk meningkatkan mutu serta kualitas hasil
pendidikan siswa-siswa di sekolah tersebut. Dan salah satu cara untuk
meningkatkan mutu sekolah adalah melalui reformasi pendidikan dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah.
Reformasi pendidikan diarahkan agar penyelenggaraan pendidikan itu
semakin demokratis[1] , yakni
memperluas pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan
penting untuk diimplementasikan dalam pengembangan program, sehingga sekolah
semakin aspiratif terhadap ide dan gagasan publiknya, kemudian dukungan
masyarakat meningkat, dan tanggung jawab mereka terhadap pendidikan juga
tinggi, karena mereka dilibatkan secara aktif.
Semakin pendidikan itu didorong ke bawah, dan semakin masyarakat
dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pendidikan, maka aliran dana
masyarakat untuk sekolah akan semakin
lebar, dan akan semakin menguntungkan bagi siswa, karena banyak proses
pembelajaran yang dapat dibiayai. Bersamaan dengan itu manajemen sekolah juga
akan terkontrol oleh banyak pihak karena setiap donasi menuntut
pertanggungjawaban manajemen, sehingga administrasi keuangannya akan semakin
akutabel dan efisien.[2]
Pelibatan masyarakat tersebut tidak sebatas dalam penyusunan
program, kebijakan kurikulum, dan proses pembelajaran lainnya, tapi juga dalam budgetting
serta berbagai upaya yang dapat memenuhi kebutuhan anggaran untuk peningkatan
kualitas pelayanan pembalajaran bagi para siswa. Pelibatan masyarakat dalam budgetting
tersebut bukan dalam konteks pengelolaan serta pengadministrasian, tapi lebih
pada upaya-upaya fundrising serta berbagai kebijakan untuk mendorong
partisipasi masyarakat pada sekolah dalam upaya memperbesar saluran uang masuk
ke sekolah, dan sebagai implikasinya, mereka punya hak untuk memperoleh
pelaporan dari manajemen sekolah tersebut sebagai bukti pertanggungjawaban
serta akses kontrol masyarakat terhadap akuntabilitas manajerialnya. Semain
akuntabel manajemen sekolah, maka akan semakin tinggi kepercayaan masyarakat. Dan makin tinggi
kepercayaan masyarakat pada sekolah maka akan semakin tinggi pula partisipasi
mereka terhadap upaya reformasi pendidikan yang ada di sekolah dan hal ini akan
semakin bisa meningkatkan mutu sekolah sehingga sekolah ke depan akan tetap
mampu menghadapi persaingan bebas yang semakin tajam dalam dunia global.
Dasar dan Konsep Manajemen Berbasis
Sekolah
Semenjak
diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan direvisi menjadi
UU No 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang awalnya
sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk
mengatur dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan
sekolah tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada.
Disebutkan
pula dalam UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 50 ayat 5 berbunyi “pemerintah
kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 yang
berbunyai “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah”[3]
Secara umum,
manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan
kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh
masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional. Karena itu, essensi MBS=otonomi sekolah + fleksibelitas + partisipasi
untuk mencapai sasaran mutu sekolah.[4]
Otonomi
dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur
dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam
program dan pendanaan merupakan tolak ukur utama kemandirian sekolah. Pada
gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas).
Unsur esensial dalam otonomi sekolah dengan pola SBM adalah sebagai
berikut :
1.
Bahwa ciri fundamental dari SBM adalah delegasi.
2.
Esensi SBM adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan keputusan
sekolah dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri.
3.
Fondasi SBM adalah distribusi kewenangan dalam pengambilan
keputusan.
4.
Tulang punggung dari SBM adalah pendelegasian otoritas manajemen
dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah.
5.
Inti dari SBM adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan
keputusan terhadap stekeholder sekolah dan dilakukan di sekolah. [5]
Kelima kutipan diatas menyampaikan sebuah gagasan yang sama, bahwa
SBM itu adalah pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan dari pemerintah
kepada sekolah. Dalam konteks ini, kewenangan sekolah tidak sebatas pengaturan
alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas
meliputi [6]:
1.
Pengetahuan; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan susunan kurikulum,
termasuk rumusan kompetensi siswa dari setiap mata pelajaran, serta kompetensi
mereka setelah lulus dari sekolah tersebut.
2.
Teknologi ; yakni pendelegasian kewenangan kepada sekolah untuk
memutuskan alat-alat yang diperlukan untuk proses pembelajaran siswa.
3.
Kekuasaan ; yakni pendelegasian kewenangan kepada sekolah untuk
menetapkan berbagai keputusan.
4.
Material ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk
memutuskan penggunaan berbagai fasilitas, serta alat-alat pembelajaran.
5.
Orang ; yakni pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk
memutuskan tentang komposisi SDM, serta proses peningkatan kompetensi mereka
baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi
pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan
lainnya.
6.
Waktu ; pendelegasian kewenangan pada sekolah untuk memutuskan
pengaturan alokasi waktu.
Jadi
otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan,
yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilitasi sumberdaya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan
memenuhi kebutuhan sendiri.
Fleksibilitas
dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk
mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin
untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar
diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus
menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan
sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam
menanggapi segala tantangan yang dihadapi.
Peningkatan
partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, dimana warga sekolah (guru,
siswa dan karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan,
usahawan, dsb) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa
memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung
jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Keterbukaan
yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang
dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk
meningkatkan mutu sekolah. Kerja sama sekolah yang baik ditunjukkan oleh
hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat,
dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork
yang kuat dan cerdas.
Akuntabilitas
sekolah adalah pertanggungjawaban
sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan
dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah
kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai
perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk mutu
pendidikan.
Dengan
pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), dan memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah. Dengan kepemilikan
ini, maka sekolah akan menjadi pusat perubahan ( reformasi ) dan
pembaharuan masyarakat sedang unit-unit
di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas pendidikan Propinsi, dan
Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan
sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah
yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah.
2)
Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan
sebagainya)
3)
Bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah.
4)
Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber
dayanya.
5)
Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
6)
Komitmen yang tinggi pada dirinya, dan
7)
Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.[7]
Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis
Sekolah
Prinsip-prinsip
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah [8]:
a.
Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen
yang kuat dalam upaya menyelenggarakan semua warga sekolah.
b.
Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.
c.
Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam
mendidik anak.
d.
Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi
pendidikan yang efektif.
e.
Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang
benar-benar mengerti tentang pendidikan.
f.
Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam
pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.
g.
Kemandirian, sekolah harus diberi otonom sehingga memiliki
kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
h.
Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders,
sekolah.
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (
MBS )
MBS bertujuan
untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan
(otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada
sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MBS
bertujuan untuk:
a.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian,
fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas,
substansibilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumberdaya tersedia;
b.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
c.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat,
dan pemerintah tentang mutu sekolahnya;
dan
d.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.[9]
Karakter Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS)
Dalam
menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output
digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga
karakteristik sekolah efektif) berdasarkan pada input, proses, dan output.
Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat
output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat
kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat
kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
1.
Output yang diharapkan
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic
achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic
achievement).[10]
Output prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba
(Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis,
kreatif/divergen, nalar, rasioanal, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output
non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerja
sama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang
tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian, dan
kepramukaan.
2.
Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memilikin sejumlah karakteristik
proses sebagai berikut [11]
a.
Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi
Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan
peserta didik. PBM bukan hanya sekedar memorisasi dan recall, bukan sekedar
penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan
tetapi lebih menekankan pada internalisasi tantang apa yang diajarkan sehingga
tertanam dan berfungsi sebagai muatan
nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh
peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar
mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do),
belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi
diri sendiri (learning to be).[12]
b.
Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat
Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran
yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua
sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan
salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi,
misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan
secara terencana dan bertahap.
c.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan
nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable
learning).
d.
Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah.
Sekolah hanyalah merupakan wadah, sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang
hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisi
kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga
sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
e.
Sekolah memiliki budaya mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga
setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki
elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk
perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas
tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau
sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan energi, bukan kompetisi, harus
merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap
pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa
harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekoah merasa memiliki
sekolah.[13]
f.
Sekolah memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut
oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah,
bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam
sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup
sehari-hari warga sekolah.
g.
Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian)
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi
sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja
yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah
harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h.
Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat
Hal ini dilandasi oleh keykinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi,
makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa
tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat
dedikasinya.
i.
Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen
Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan
keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan
sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
j.
Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua
warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik
bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap yang dilakukan perubahan, hasilnya
diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta
didik.
k.
Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk
memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena
itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu
peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.
l.
Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang
muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan
menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu
menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi
hal-hal yang mungkin bakal terjadi.
m.
Memiliki komunikasi yang baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama
antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui.
n.
Sekolah memiliki akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan
sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas
ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah,
orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini,
pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang
dikehendaki atau tidak.
o.
Sekolah mampu menjaga sustainabilitas( kelangsungan hidup )
Sustainibilatas program dapat dilihat dari keberlanjutan
program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program
baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainibilkitas pendanaan dapat
ditunjukkan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang
dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya.
3.
Input pendidikan
a.
Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas
Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala
sekolah. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada
semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga
sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.
b.
Sumberdaya tersedia dan siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai,
proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada
gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang,
peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumberdaya
selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa
campur tangan sumberdaya manusia.[14]
c.
Staff yang kompeten dan berdedikasi tinggi
Bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan
staff yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
d.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi
Kepala sekolah dan guru memiliki komitmen dan motivasi yang kuat
untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Sedang peserta didik mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan prestasi sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik
dari keadaan sebelumnya.
e.
Fokus pada pelanggan (khususnya siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua
kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah
tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.
f.
Input manajemen
Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala
sekolah mengelola dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas
yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi
pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan Input manajemen yang dimaksud
meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang
mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang
jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem
pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang
telah disepakati dapat dicapai.
Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS)
Pada
dasarnya essensi konsep MBS adalah peningkatan otonomi sekolah plus pengambilan
keputusan secara partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan
MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan
adanya keberbagian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan
“nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas
untuk semua sekolah)[15].
Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan
MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis
pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi
dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan
proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Adapun
tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ini adalah sebagai
berikut :
1.
Melakukan sosialisasi
Sekolah
merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan
pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan
cara berfikir seperti ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS
“apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS
diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh
sekolah adalah mensosialisasikan konsep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru,
siswa, wakil kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dsb) melalui berbagai
mekanisme, misalnya diskusi, rapat kerja, workshop dan sebagainya.
2.
Merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (tujuan
stuasional sekolah)
a.
Visi
Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar
sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan
perkembangannya.[16] Dengan
kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional
tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat.
b.
Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut.[17]
Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi
kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam
merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dalam
kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata
lain, misi adalah bentuk layanan untuk
memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
c.
Tujuan
Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah
yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai.[18]
Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan
dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya
merupakan tahapan wujud sekolah yang menuju visi yang telah dicanangkan.
3.
Mengidentifikasi tantangan nyata sekolah
Pada umumnya,
tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan
menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektifitas, dan efisiensi.[19]
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan
atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah
kualitas output sekolah yang bersifat akademik dan non-akademik. Produktivitas
adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output
maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Efektivitas adalah ukuran yang
menyatakan sejauh mana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai.
Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal
dan efisiensi eksternal.[20]
Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian
prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk
memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi eksternal adalah hubungan
antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif
(individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada
kurun waktu yang panjang diluar sekolah.
4.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran
Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya fungsi proses belajar
mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan
kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan,
fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi
hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
5.
Melakukan analisa SWOT ( Strength, Weakness,Opportunity,and
Threat )
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat
kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan.[21]
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan
masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT
dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang
tergolong internal maupun eksternal.
Tingkat
kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesediaan
yang diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi
faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal.
Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran
kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal;
dan ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun
ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut
persoalan.
6.
Alternatif langkah pemecahan masalah
Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih
langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan), yakni tindakan yang diperlukan
untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih
ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran
yang ditetapkan tidak akan tercapai.
7.
Menyusun rencana dan program peningkatan mutu
Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas
tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan
berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal
ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh
dukungan dari pemerintah maupun dari orang tua siswa, baik dukungan pemikiran,
moral, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu
pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran
biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan
rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder
pendidikan, khususnya orang tua siswa dan masyarakat (BP3/komite sekolah) pada
umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan
sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya
yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar.
8.
Melaksanakan rencana peningkatan mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah
disetujui bersama antara orang tua siswa, guru dan masyarakat, maka sekolah
perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam
menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran
yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari
keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat
penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya
menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan
pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum
melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat
menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang
kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan
mendalam.
Untuk menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu
melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu
yang dilakukan di sekolah, dengan cara memberikan arahan, bimbingan, dukungan,
dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai
dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan dengan cara tidak membuat guru dan
staf lainnya merasa terkekang.
9.
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.[22]
Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir pertengahan semester untuk
mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada pertengahan
semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus
dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada semester
berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk
mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai
sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan
diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun
berikutnya.
Hasil evaluasi pelaksanaan MBS perlu dibuat laporan yang terdiri
dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan
dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan serta
pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan
(income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus
juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka
laporan harus dikirim kepada pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, komiet sekolah, orang tua siswa.
10.
Merumuskan sasaran mutu baru
Hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja
program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi
merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik untuk merumuskan
sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran
mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika
tidak, bisa saja sasaran mutu tetap
seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan
kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan,
karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan
yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT
untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga
dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi
ini, maka langkah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi
faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu
baru dapat dibuat.
Peningkatan
Mutu Pendidikan
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang diharapkan atau yang
tersirat.[23] Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output
pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya
dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya
proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia ( kepala sekolah, guru
termasuk guru BP, karyawan, siswa ) dan sumberdaya selebihnya ( peralatan,
perlengkapan, uang, bahan, dan sebagainya ). Input perangkat lunak seperti
struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas,
rencana, program, dan sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi,
tujuan dan sasaran –sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input
sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu,
tinggi rendah nya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin
tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam pendidikan
berskala mikro ( tingkat sekolah ), proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan
program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan
catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi
dibandingkan dengan proses-proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah ( guru, siswa,
kurikulum, uang, peralatan, dans ebagainya ) dilakukan secara harmonis,
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan ( Enjoyable
Leaning ), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar
mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahwa
peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan mereka
tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, dan yang lebih penting lagi peserta didik tersebut
mampu belajar secara terus menerus ( mampu mengembangkan dirinya ).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah
adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/ perilaku sekolah. Kinerja
sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya,
efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya.
Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output
sekolah dikatakan berkualitas/ bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya
prestasi belajar siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi
akademik, berupa nilai ulangan umum, UAN, karya ilmiah, lomba akademik; dan (2)
prestasi non akademik, seperti misalnya
IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan kejuruan, dan
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak
tahapan kegiatan yang saling berhubungan ( proses ) seperti misalnya
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Prinsip-Prinsip
Mutu Pendidikan
1.
Fokus pada pelanggan (peserta didik)
Siswa merupakan obyek yang utama dan pertama dalam proses pendidikan,
yang ini lebih dititikberatkan pada proses pendidikan dari pada hasil
pendidikan, karenanya fokus pada siswa dalam proses belajar mengajar ini merupakan
hal yang sangat urgen dalam mencapai mutu. Pelanggan disini juga tertuju pada pelanggan
eksternal yakni orang tua, pemerintah, institusi lembaga swasta (LSM), dan
lembaga-lembaga lain yang mendukung terwujudnya mutu pendidikan yang unggul.
2.
Perbaikan proses
Perhatian secara terus menerus bagi setiap langkah dalam proses
kerja sangat penting untuk mengurangi keragaman dari output dan memperbaiki
keandalan. Tujuan pertama perbaikan secara terus menerus ialah proses yang
handal, sedangkan tujuan perbaikan proses ialah merancang kembali proses
tersebut untuk output yang lebih dapat memenuhi kebutuhan pelanggan, agar
pelanggan puas.
3.
Keterlibatan total
Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang
aktif dan mencakup usaha yang memanfaatkan bakat semua karyawan dalam suatu
organisasi untuk mencapai suatu keunggulan kompetitif (competitive advantage)
di pasar yang dimasuki. Guru dan karyawan pada semua tingkatan diberi
wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerja sama dalam struktur kerja
baru yang luwes (fleksibel) untuk memecahkan persoalan, memperbaiki
proses dan memuaskan pelanggan. Pemasok juga dilibatkan dan dari waktu ke waktu
menjadi mitra melalui kerja sama dengan para karyawan yang telah diberi
wewenang/kuasa yang dapat menguntungkan.
Ciri-Ciri
Mutu Pendidikan
Era globalisasi
merupakan era persaingan mutu. Oleh karena itu lembaga pendidikan mulai dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi harus memperhatikan mutu pendidikan.
Lembaga pendidikan berperan dalam kegiatan jasa pendidikan maupun pengembangan
sumber daya manusia harus memiliki keunggulan-keunggulan yang diprioritaskan
dalam lembaga pendidikan tersebut.
Transformasi
menuju sekolah bermutu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu
oleh dewan sekolah, administrator, staff, siswa, guru, dan komunitas. Proses
diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap
sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut.
Visi mutu difokuskan pada lima hal, yaitu:
a.
Pemenuhan kebutuhan konsumen
Dalam sebuah sekolah yang bermutu, setiap orang menjadi customer
dan sebagai pemasok sekaligus. Secara khusus customer sekolah adalah siswa dan
keluarganya, merekalah yang akan memetik manfaat dari hasil proses sebuah
lembaga pendidikan (sekolah). Sedangkan dalam kajian umum customer sekolah itu
ada dua, yaitu customer internal meliputi orang tua, siswa, guru,
administrator, staff dan dewan sekolah yang berada dalam sistem pendidikan. Dan
customer eksternal yaitu masyarakat, perusahaan, keluarga, militer, dan
perguruan tinggi yang berada di luar organisasi namun memanfaatkan output dari
proses pendidikan.
b.
Keterlibatan total komunitas dalam program
Setiap orang juga harus terlibat dan berpartisipasi dalam rangka
menuju kearah transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan sekolah
atau pengawas, akan tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak.
c.
Pengukuran nilai tambah pendidikan
Pengukuran ini justru yang seringkali gagal dilakukan di sekolah.
Secara tradisional ukuran mutu atas sekolah adalah prestasi siswa, dan ukuran
dasarnya adalah ujian. Bilamana hasil ujian bertambah baik, maka mutu
pendidikan pun membaik.
d.
Memandang pendidikan sebagai suatu sistem
Pendidikan mesti dipandang sebagai suatu sistem, ini merupakan
konsep yang amat sulit dipahami oleh para profesional pendidikan. Hanya dengan
memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para professor pendidikan dapat
mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap
proses pendidikan.
e.
Perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat output
pendidikan menjadi lebih baik.
Mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi
manajemen lama “kalau belum rusak jangan diperbaiki”. Mutu didasarkan pada
konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna.
Menurut filosofi manajemen yang baru “bila tidak rusak perbaikilah, karena bila
tidak dilakukan anda maka orang lain yang akan melakukan”. Inilah konsep
perbaikan berkelanjutan.[24]
Kesimpulan
Pendidikan merupakan
kunci kemajuan , semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh
suatu masyarakat/ bangsa, maka kualitas masyarakat/ bangsa tersebut akan
semakin baik pula. Oleh karena itu salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
pendidikan adalah melalui reformasi pendidikan dengan menerapkan manajemen
berbasis sekolah ( School Based Management ) yaitu model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar dan fleksibilitas/ keluwesan-keluwesan kepada
sekolah serta mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan
masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun
tahapan-tahapan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dalam meningkatkan
mutu pendidikan ini adalah sebagai berikut: (1) Melakukan sosialisasi, (2) Merumuskan visi, misi, tujuan, dan
sasaran sekolah (tujuan stuasional sekolah), (3) Mengidentifikasi tantangan
nyata sekolah, (4) Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk
mencapai sasaran,(5) Melakukan analisa SWOT, (6) Alternatif langkah pemecahan
masalah, (7) Menyusun rencana dan program peningkatan mutu, (8) Melaksanakan
rencana peningkatan mutu, (9) Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan, (10)
Merumuskan sasaran mutu baru.
Daftar Rujukan
Abu Duhou, Ibtisam, School Based Management, Paris : UNESCO, 1999
Arcaro,
Jerome S, Pendidikan Berbasis Mutu,
Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005
Fattah, Nanang,
landasan Manajemen Pendidikan, Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya, 2004
Ihsan, Hamdani, Filsafat
Pendidikan Islam, Bandung : CV.
Pustaka Setia, 1998
Kennedy, Carol,
Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para Guru , Jakarta :
PT.Elex Media Komputindo, 1999
Kholis, Nur, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan, Sleman :
Palem, 2004
Mulyasa E, Manajemen
Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung : remaja Rosda Karya, 2004
_________ Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung : PT.Remaja
Rosda Karya, 2005
Murphy, Joseph
and Lynn G.Beck, School Based Management as School Reform, California: 1995
Murphy, Joseph,
Restructuring America’s School, an Overview, dalam Chester E.Fin Jr. And
Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, New York : McMillan Publishing Company, 1992
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
Rosyada, Dede , Paradigma Pendidikan Demokratis,Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta : Kencana,
2003
Sallis, Edward, Total Quality Management In Education, Jogjakarta:
IRCiSod, 2008
Tafsir, Ahmad, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam , Bandung:
Mimbar Pustaka, 2004
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Penerbiat Nuansa Aulia, Bandung, 2005
Usman, Husaini, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1983
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999
[1] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, ( Jakarta :
Kencana, 2003 ) h. 273.
[2] Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, ( Paris : UNESCO,
1999 ) h, 280
[3] Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Penerbiat Nuansa Aulia, Bandung, 2005, hal. 44-45
[4] Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan
Implementasi, ( Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 ) h. 135
[5] Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis, ( Jakarta : Kencana, 2003 ) h. 275
[6] Ibtisam Abu Duhou, School Based Management, ( Paris : Unesco, 1999 ) h, 30-31
[7] Murphy, Joseph and Lynn G.Beck, School Based Management as School
Reform, ( California: 1995 ) h. 132
[8] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta) h. 127
[9] Mulyasa E, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep Strategi dan
Implementasi, ( Bandung : remaja Rosda Karya, 2004 ) h. 155
[10] Kennedy, Carol, Managing With The Gurus , Mengelola Bersama para
Guru ( Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1999 ) h. 88
[11] Edward Sallis, Total Quality Management In Education, ( Jogjakarta: IRCiSod, 2008 ) h. 165- 167
[12] Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam ( Bandung:
Mimbar Pustaka, 2004 ) h. 103
[13] Arcaro Jerome S, Pendidikan
Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata Langkah Penerapannya,( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2005 0 h. 221
[14] Nanang Fattah, landasan Manajemen Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2004 )
h.88
[15] Jerome Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-Prinsip dan Tata
Langkah Penerapannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005 ), h. 142
[16] Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, ( Bandung :
PT.Remaja Rosda Karya, 2005 ) h. 146
[17] Ibid. h. 148
[18] Hamdani Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam, ( Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998 ) h. 31
[19] Nur Kholis, Kiat Sukses Jadi Praktisi Pendidikan,( Sleman :
Palem, 2004 ) h. 124
[20] Joseph Murphy, Restructuring America’s School, an Overview, dalam
Chester E.Fin Jr. And Theodor Reberber, Education Reform The ‘90, ( New
York : McMillan Publishing Company, 1992 ) h. 221
[21] Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, (
Jakarta : Bumi Aksara, 2006 ), h. 133
[22] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 ), h. 124
[23] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, ( Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1983 ), h. 25
No comments:
Post a Comment