Sunday, May 1, 2016

Keywords:, Manajemen Pembelajaran Efektif, Mutu Pendidikan


MANAJEMEN PEMBELAJARAN EFEKTIF
DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh : Duki, S.Ag MA

Perkembangan zaman yang terus berubah menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas, lembaga pendidikan dituntut untuk dapat memberikan kualitas pendidikan yang bermutu karena lembaga pendidikan yang kurang bermutu lama kelamaan akan ditinggalkan oleh masyarakat dan tersingkir dengan sendirinya. Oleh karena itu pendidik dan tenaga kependidikan dituntut untuk menguasai pembelajaran yang efektif, karena keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh proses pembelajaran. Pembelajaran yang efektif akan terjadi apabila Siswa Aktif  pada proses belajar dan berada dalam  sekolah yang efektif. Adapun ciri sekolah efektif yaitu Pertama adanya sekolah-sekolah yang ternyata sukses mengajarkan ketrampilan dasar kepada murid terbelakang dan minoritas, ketika dievaluasi dengan tes berstandar. Kedua sekolah-sekolah efektif ini memiliki cirri-ciri yang terkait dengan kesuksesan, yaitu cirri-ciri yang berada dalam ranah pendidikan. Ketiga karakteristik tersebut memberikan dasar bagi peningkatan sekolah yang tidak sukses saat ini.


Pendahuluan
            Perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia semakin hari semakin bertambah cepat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap  kecepatan  ini adalah  pembangunan nasional. Pengaruh yang sangat menonjol berasal dari penerapan ilmu dan teknologi. Seirama dengan perkembangan itu, tidak hanya  terjadi perbenturan dan pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat, tetapi bahkan terjadi pula perubahan-perubahan nilai.
            Bidang pertanian, bidang industri dan bidang jasa merupakan bidang-bidang yang lebih dahulu menyerap hasil-hasil penemuan dan perkembangan ilmu dan teknologi. Bidang pendidikan dapat dikatakan ketinggalan dalam menyerap ilmu dan teknologi yang berkembang cepat itu. Masyarakat berkembang secepat kereta api berjalan, sedangkan dunia pendidikan berkembang selamban kereta doronng (Conny Semiawan,dkk,1984:1)
Tugas bidang Pendidikan tidak hanya terbatas pada penggalian hasil-hasil  ilmu dan teknologi tetapi bidang pendidikan bertugas pula menanamkan nilai-nilai baru yang dituntut  oleh perkembangan ilmu dan teknologi pada diri anak didik dalam kerangka nilai-nilai dasar yang disepakati oleh bangsa Indonesia.
Apakah sebagai guru, kita mengikuti semua perkembangan  ini dan berusaha menjajaki bentuk pembaharuan yang diterapkan dan corak ilmu dan teknologi yang melandasinya? Apakah sebagai guru, kita berusaha memperkenalkan berbagai kemajuan ini kepada para siswa kita? Apakah kita berusaha pula membina sikap dan nilai yang sesuai dengan konsep-konsep uang diperkenalkan kepada para siswa?
Apakah sebagai guru kita cukup peka dengan perkembangan ilmu dan teknologi? Apakah kita telah memanfaatkannya dalam pengajaran kita? Apakah kita berusaha memperkenalkan siswa berbagai hal baru yang bermunculan di sekitar kita?

Konsep Belajar dan Mengajar
                Bila terjadi proses belajar mengajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar. Hal ini kiranya mudah difahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya jika ada yang mengajar tentu ada yang belajar. Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berintertaksi antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tudak sengaja, masing-masing fihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar.
                Perlu ditegaskan bahwa setiap saat dalam kehidupan terjadi suatu proses belajar mengajar, baik sengaja maupun tidak sengaja, disadari ataupun tidak disadari. Dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh suatu hasil pengajaran, atau hasil belajar. Trtapi agar memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar da sengaja serta terorganisasi secara baik.
                Di dalam proses belajar mengajar, guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subyek belajar, dituntut adanya profil kualifikasi tertentu dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap dan tata nilai serta sifat-sifat pribadi, agar proses itu dapat berlangsung dengan efektif dan efisien. Untuk itu maka orang kemudian mengembangkan berbagai pengetahuan misalnya psikologi pendidikan, metode mengajar, pengelolaan pengajaran dan ilmu-ilmu lain yang dapat menunjang proses belajar m,engajar itu.


Makna Belajar
                Usaha pemahamanmengenai makna belajar ini akan diawali dengan mengemukakan beberapa definisi tentang belajar. Ada beberapa definisi belajar antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Cronbach memberikan definisi: "learning ishown bay a change in behavior as result of experience".
  2. Horald Spears memberikan batasan: "learning is to observe, to read, to listen, to follow direction".
  3. Geoch, mengatakan: "learning is a change ini performance as a result of practice".
Dari ketiga definisi di atas, maka dapat diterangkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengar, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik, jika si subyek belajar itu mengalami atau melakukannya. Jadi tidak bersifat verbalistik. (Sardiman Am, 1996:22)
Di samping definisi-definisi tersebut, ada beberapa pengertian lain dan cukup banyak, baik yang dilihat secara mikr maupun secara makro, dilihat dalam arti luas ataupun terbatas/khusus. Dalam pengertian luas belajar dapat diartiakan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju perkembangan pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Relevan dengan ini maka ada pengertian bahwa belajar adalah "penambahan pengetahuan". Definisi atau konsep ini  dalam praktek  banyak dianut di sekolah-sekolah. Para guru berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknyadan siswa giat untuk mengumpulkan atau m,enerimanya. Dalam kasus yang demikian, guru hanya berperan sebagai "pengajar". Sebagai konsekuensi dari pengertian yang terbatas ini, maka kemudian muncul bnyak pendapat yang mengatakan bahwa belajar itu adalah menghafal. Hal ini terbukti, misalnya kalau siswa (subyek belajar) akan ujian, mereka akan menghafal terlebih dahulu. Sudah barang tentu pengertian seperti ini, secara esen sial belum memadai.
Selanjutnya ada yang mendefinisikan "belajar adalah berubah". Dalam hal ini yang dimaksud belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Jadi belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, ketrampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bobbi  De  Porter dan Mike Hernacki (1992) resep tiga hal keberhasilan dalam pendidikan dipublikasikan lewat buku Quantum Learning: Unleashing the genius in you, menyatakan bahwa pertama: ketrampilan akademis, kedua: prestasi fisik dan ketiga: ketrampilan dalam hidup. (Bobbi De Porter dan Mike Hernacki:1992:8)
Ada beberapa teori yang berpendapat bahwa proses belajar itu pada prinsipnya bertumpu pada struktur kognitif, yaknipenataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subyek didik. Teori semacam ini boleh jadi diterima, dengan suatu alas an bahwa dari struktur kognitif itu dapat mempengaruhi perkembangan afeksi ataupun penampilan seseorang. Dari konsep ini pada perkembangan berikut akan melahirkan teori belajar yang bertumpu pada konsep pembentukan super ego, yakni suatu proses belajar melalui suatu peniruan, proses interaksi antara pribadi seseorang dengan fihak lain, misalnya seorang tokoh (super ego menyangkut dimensi social). Yang perlu di tegaskan adalah siapapun yang menjadi figure untuk ditiru, bagi peniru akan mendapatkan pengalaman yang berguna bagi dirinya. Asaemakin banyak orang itu belajar dari peniruan terhadap tokoh, semakin banyak pula pengalaman yang diperolah. Sesuai dengan konsepsuper ego, maka pengalaman yang diperoleh si subyek didik, akan banyak menyangkut struktur kepribadian individu manuasia itu terdiri dari tiga komponen yang dinamakan: id, ego, dan super ego. Id lebih menekankan pemenuhan nafsu, super ego lebih bersifat social dan moral, sedangkan ego akan menjembatani antara keduanya, terutama kalau berkembang menghadapi lingkungannya, atau dalam aktifitas belajar itu dapat membina moralitas dirinya, yang mungkin melalui berinteraksi dengan pribadi-pribadi manusia yang lain. Dalam hal ini terkandun g suatu maksud bahwa proses suatu interaksi itu adalah:
  1. Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang belajar
  2. Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.
Proses internalisasi yang dilakukan secara aktif dengan segenap panca indera perlu adanya follow up yaitu proses "sosialisasi". Proses "sosialisasi" dalam hal ini dimaksudkan mensosialisasikan atau menginteraksikan atau juga menularkan kepada fihak lain. Dalam proses sosialisasi, karena berinteraksi dengan fihak lainsudah barang tentu melahirkan suatu pengalaman. Dari pengalaman inilah akan mengal;ami perubahan pada diri seseorang. Perubahan itu menurut Bloom, meliputi tiga ranah/matra yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik (Abdul Gafur, 1980:25)

Cara Belajar Siswa Aktif
                Dalam   suasana belajar mengajar dilapangan dalam lingkungan sekolah-sekolah sering kita jumpai beberapa masalah. Para siswa meskipun mendapatkan nilai-nilai yang tinggi dalam sejumlah mata pelajaran, namun mereka tampak kurang mampu menerapkan perolehannya, baik berupa pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, ke dalam situasi yang lain.
                Metode ceramah  dalam menyampaikan informasi kepada para siswa sangat umum dan sangat sering dipakai oleh mayoritas guru tanpa banyak melihat kemungkinan penerapan metode lain sesuai dengan jenis materi dan bahkan serta alat yang tersedia. Metopde ceramah cukup mudah dilakukan karena kurang menuntut usaha yang terlalu banyak, baik dari guru maupun dari siswa. Akibatnya, materi pelajaran diojejalkan pada sisw, sambil kurang diperhatikan taraf perkembangan mental siswa secara umum dan secara perseorangan.
                Kita mungkin  sering berfikir mencari alas an atau kambing hitam yaitu kebiasaan berfikir untuk memaafkan diri. Kita mungkin sering menjawab pertanyaan penilik atau pengawas mengapa para siswa hanya dibiarkan duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) dan tidak dibiasakan belajar secara aktif. Fasilitas kurang, alat-alat pelajaran terlambat dibagikan dari pusat, buku-buku bacaan sangat langka, materi pelajaran amat banyak dan berat waktu yang tersedia sangat kurang. Akibatnya suasana kelas terasa gersang oleh para siswa, terasa mengikat.(Badan Penelitian dan Pengembangan P & K 1984:10-12)
                Mungkin kita kurang menyadari batapa banyak waktu yang dikorbankan anak untuk belajar di sekolah. Di sekolah dasar anak belajar paling sedikit enam tahun, di sekolah menengah tingkat pertama paling sedikit tiga tahun, dan di sekolah menengah atas paling sedikit tiga tahun. Pada setiap tahun rata-rata 210 hari belajar efektif. Berapa jumlah dari yang harus dilewati anak selama bertahun-tahun? Bayangkan, betapa belama lamanya waktu itu! Waktu itu kurang berdaya guna, jika anak menamatkan suatu jenjang pendidikan tanpa memperoleh kemampuan yang berarti. Apakah sebagai guru kita telah memanfaatkanwaktu yang dikorbankan anak itu dengan mengisinya melalui berbagai kegiatan studinya selanjutnya atau pula untuk kehidupannya dalam masyarakat.
                Satu-satunya lembaga pendidikan yang secara umum menerapakan Cara Belajar Siswa Aktif  adalah taman kanak-kanak. Para siswa di taman kanak-kanak belajar sambil bermain. Mereka bergembira kegiatan belajar yang menyenangkan. Mereka mengadakan kegiatan coba dan ralat (trial and error). Masa pendidikan di taman kanak-kanak bagi anak-anak yang mengalaminya akan berkesan seumur hidup. Namun, anak-anak setelah masuk sekolah dasar pada umumnya daya ciptanya menjadi macet akibat kurang dilaksanakannya Cara Belajar Siswa Aktif. Keadaan ini berlanjt terus  sampai ke SLTP, SLTA bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Karena itu, marilah kita renungkan bersama, langkah apa saja yang dapat kita tempuh dalam rangka menghidupkan suasana belajar mengajar di sekolah. ( Conny Semiawan, 1984:9).
                Kalau kita mau mengaktifkan para siswa dalam belajar, sebaiknya kita membuat pelajaran itu menantang, merangsang daya cipta untuk menemukan, serta mengesankan.  Guna menerapkan Cara Belajar Siswa Aktif  pertama-tama perlu kita mengenalkan dan menghayati sejumlah prinsip yang dilandasi penelitian psikologi dan uji coba dalam proses belajar mengajar.

1. prinsip motivasi
                Motif adalah daya dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Ada dua jenis motivasi, yaitu motivasi dari dalam anak (intrinsic) dan motivasi dari luar diri anak (ekstrinsik). Motivasi dari dalam dapat dilakukan dengan menggairahkan persaan ingin tahu anak, keinginan untuk mencoba, dan hsrat untuk maju dalam belajar. Motivasi dari luar dapat dilakukan dengan memberikan ganjaran, misalnya melalui pujian, hukuman, misalnya dengan penugasan untuk memperbaiki pekerjaan rumahnya.

2. Prinsip Keterarahan Kepada Titik Pusat atau Fokus Tertentu
                Titik pusat itu dapat tercipta melalui upaya merumuskan masalah yang hendak dipecahkan, merumuskan pertanyaan yang hendak ditemukan. Titik pusat itu akan membatasi keluasan dan kedalaman tujuan belajr serta akan memberikan arah kepada tujuan yang hendak dicapai.

3. Prinsip Latar atau Konteks
                Kegiatan belajar tidak terjadi kekosongan. Sudah jelas, para siswa yang mempelajari sesuatu hal yang baru telah pula mengetahui hal-hal lain yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan

4. Prinsip Hubungan Sosial atau Sosialisasi
                Dalam belajar para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada dikerjakan sendirian.

5. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
                Anak-anak pada hakekatnya belajr itu sambil bekerja karena melakukan aktifitas. Bekerja adalah tuntutan pernyataan diri anak.

6. Prinsip Perbedaan  Perorangan atau Individualisasi
                Setiap siswa tentu saja memiliki perbedaan perorangan, misalnya dalam kepintaran, kegemaran, bakat, latar belakng keluarga, sifat dan kebiasaan. Jika perbedaan perorangan siswa dipelajari dan dimanfaatkan dengan tepat, maka kecepatan dan keberhasilan belajar akademik anak dapatlah ditumbuhkembangkan.

  7. Prinsip Menemukan
                Informasi yang disampaikan guru hendaknya hanya dibatasi pada informasi yang benar-benar mendasar dan "memancing" siswa untuk "mencari" informasi selanjtnya.

8. Prinsip Pemecahan Masalah
                Seluruh kegiatan siswa akan terarah jika didorong untukl mencapai tujuan-tujuan tertentu. Guna mencapai tujuan-tujuan, para siswa dihadapkan dengan situasi bermasalah agar mereka peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat ditimbulkan jika para siswa dihadapkan pada situasi yang memerlukan pemecahan. (Badan Penelitian dan Pengembangan P & K 1984:10-12). 

Karakteristik Sekolah Efektif
                Upaya mencari karakteristik sekolah  efektif, pada dasarnya menjadi bagian dari analisis dan kajian penelitian dalam manajemen pendidikan. Hal ini seharusnya mendapatkan perhatian serius dari para pengelola pendidikan kita. Dalam rangka pencarian karakteristik  sekolah efektif.
                Bickel (1883) menggambarkan tiga asumsi pokok tentang gerakan sekolah efektif, yaitu asumsi-asumsi yang mencerminkan optimisme pembelajaran murid. Pertama adanya sekolah-sekolah yang ternyata sukses mengajarkan ketrampilan dasar kepada murid terbelakang dan minoritas, ketika dievaluasi dengan tes berstandar. Kedua sekolah-sekolah efektif ini memiliki cirri-ciri yang terkait dengan kesuksesan, yaitu cirri-ciri yang berada dalam ranah pendidikan. Ketiga karakteristik tersebut memberikan dasar bagi peningkatan sekolah yang tidak sukses saat ini. Nampaknya ketiga karakteristik tersebut memberikan dasar penting bagi reformasi pendidikan dan program perbaikan sekolah secara nasional.

Sekolah Efektif dan Tidak Efektif
                Banyak  studi tentang sekolah efektif menggunakan pendekatan komparatif. Hal itu mengidentifikasi sekolah-sekolah berdasarkan SES (Social Economic Status) yang sangat efektif dan sama sekali tidak efektif ( ineffective schools), kemudian mencari cirri-ciri yang membedakannya. (Blum, 1984:17).
                Klittgaarg dan Hill (1974) dan Purkey dan Smith (1983) menyatakan bahwa lebih logis untuk mengkomparasikan sekolah efektif dan tidak efektif dengan sekolah kebanyakan (average). Menarik adalah penemuan karakteristik yang menentukan suatu sekolah lebih baik atau lebih buruk dibanding dengan kebanyakan, yakni: hal-hal yang menjadikannya terasing (outliers). Demikian juga kunci ynag membedakan antara sekolah efektif dan sekolah kebanyakan sangat berbeda dari perbedaan antara sekolah efektif dan tidak efektif. Secara praktis menurut Purkey dan Smith (1983), sekolah yang terbelakang lebih mendapatkan keuntungan dengan memahami mengapa mereka di bawah rata-rata daripada mengetahui bagaimana dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang terkemuka (outstanding schools)  (Liebermen:1988:19).           
  
Kesimpulan
                Karakteristik sekolah efektif berbeda dengan dari kreasi lingkungan sekolah efektif. Rowan, Bossert dan Dwyer (1983) menyarankan bahwa prestasi tinggi sebenarnya akan menyebabkan efektifitas sekolah daripada sebaliknya. Yakni, murid-murid dengan motivasi dan tingkat prestasi tinggi, lantaran nilai keluarga dan sebaya, mengakibatkan kebijakan dan prosedur sekolah yang ada terlepas apa bentuknya nampak efektif.
                Sekolah efektif dapat tersusun dari kombinasi unik dan sangat ideosentrik administrator, guru dan murid. Dengan demikian, sekolah efektif dapat menjadi modal "hanya untuk dirinya" dan tidak dapat dipublikasikan.
                Dari perspektif di atas, yang menarik merupakan dasar yang pasti. Prestasi murid dapat ditingkatkan melalui pelatihan kepala sekolah dan diketahui dengan prestasi yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA          
1.            Conny Semiawan,dkk, Pendidikan Ketrampilan Proses-Bagaimana Mengaktifkan Siswa Dalam Belajar, Gramedia, Jakarta, 1984.
2.            Badan Penelitian dan Pengembangan P & K, Bagaimana Membina Guru Secara Profesional, Jakarta, 1984.
3.            Blum, R.E, Effective Scholling Practice: A Research Synthesis. Co: Center For Action Research.
4.            Liberman, A Expending The Leadership Team, Educational Leadership, 1988.
5.            Abdul Ghafur Da, Disain Intructional, Suatu Lngkah Sistematis Penyusunan Pola Dsar Kegiatan Belajar Mengajar, Tiga Serangkai, 1980.
6.            Sadirman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers, Jakrta, 1966.
7.            Bobbi De Porter dan Mike Hemachi, Quantum Learning, Kaifa, Banduing, 1999.



Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670