Oleh
: Duki, S.Ag MA
Perkembangan zaman yang terus berubah
menuju ke arah kemajuan, dalam era persaingan yang semakin bebas, lembaga
pendidikan dituntut untuk dapat memberikan kualitas pendidikan yang bermutu
karena lembaga pendidikan yang kurang bermutu lama kelamaan akan ditinggalkan
oleh masyarakat dan tersingkir dengan sendirinya. Oleh karena itu pendidik dan
tenaga kependidikan dituntut untuk menguasai pembelajaran yang efektif, karena
keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh proses pembelajaran.
Pembelajaran yang efektif akan terjadi apabila Siswa Aktif pada proses belajar dan berada dalam sekolah yang efektif. Adapun ciri sekolah
efektif yaitu Pertama adanya sekolah-sekolah yang ternyata sukses
mengajarkan ketrampilan dasar kepada murid terbelakang dan minoritas, ketika
dievaluasi dengan tes berstandar. Kedua sekolah-sekolah efektif ini
memiliki cirri-ciri yang terkait dengan kesuksesan, yaitu cirri-ciri yang
berada dalam ranah pendidikan. Ketiga karakteristik tersebut memberikan
dasar bagi peningkatan sekolah yang tidak sukses saat ini.
Pendahuluan
Perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia semakin hari semakin bertambah cepat. Salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap
kecepatan ini adalah pembangunan nasional. Pengaruh yang sangat
menonjol berasal dari penerapan ilmu dan teknologi. Seirama dengan perkembangan
itu, tidak hanya terjadi perbenturan dan
pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat, tetapi bahkan terjadi pula
perubahan-perubahan nilai.
Bidang
pertanian, bidang industri dan bidang jasa merupakan bidang-bidang yang lebih
dahulu menyerap hasil-hasil penemuan dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Bidang pendidikan dapat dikatakan ketinggalan dalam menyerap ilmu dan teknologi
yang berkembang cepat itu. Masyarakat berkembang secepat kereta api berjalan, sedangkan
dunia pendidikan berkembang selamban kereta doronng (Conny Semiawan,dkk,1984:1)
Tugas bidang Pendidikan
tidak hanya terbatas pada penggalian hasil-hasil ilmu dan teknologi tetapi bidang pendidikan bertugas
pula menanamkan nilai-nilai baru yang dituntut oleh perkembangan ilmu
dan teknologi pada diri anak didik dalam kerangka nilai-nilai dasar yang
disepakati oleh bangsa Indonesia.
Apakah sebagai guru, kita mengikuti semua perkembangan ini dan berusaha menjajaki bentuk pembaharuan
yang diterapkan dan corak ilmu dan teknologi yang melandasinya? Apakah sebagai
guru, kita berusaha memperkenalkan berbagai kemajuan ini kepada para siswa kita?
Apakah kita berusaha pula membina sikap dan nilai yang sesuai dengan
konsep-konsep uang diperkenalkan kepada para siswa?
Apakah sebagai guru kita cukup peka dengan perkembangan
ilmu dan teknologi? Apakah kita telah memanfaatkannya dalam pengajaran kita?
Apakah kita berusaha memperkenalkan siswa berbagai hal baru yang bermunculan di
sekitar kita?
Konsep Belajar dan Mengajar
Bila terjadi
proses belajar mengajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar. Hal ini
kiranya mudah difahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada yang
mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya jika ada yang mengajar tentu ada yang
belajar. Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berintertaksi antara yang
mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik,
sebab secara sengaja atau tudak sengaja, masing-masing fihak berada dalam
suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai pengajar, sebenarnya
secara tidak langsung juga melakukan belajar.
Perlu ditegaskan bahwa
setiap saat dalam kehidupan terjadi suatu proses belajar mengajar, baik sengaja
maupun tidak sengaja, disadari ataupun tidak disadari. Dari proses belajar
mengajar ini akan diperoleh suatu hasil pengajaran, atau hasil belajar. Trtapi
agar memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar mengajar harus dilakukan
dengan sadar da sengaja serta terorganisasi secara baik.
Di dalam proses
belajar mengajar, guru sebagai pengajar dan siswa sebagai subyek belajar,
dituntut adanya profil kualifikasi tertentu dalam hal pengetahuan, kemampuan,
sikap dan tata nilai serta sifat-sifat pribadi, agar proses itu dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien. Untuk itu maka orang kemudian
mengembangkan berbagai pengetahuan misalnya psikologi pendidikan, metode
mengajar, pengelolaan pengajaran dan ilmu-ilmu lain yang dapat menunjang proses
belajar m,engajar itu.
Makna Belajar
Usaha
pemahamanmengenai makna belajar ini akan diawali dengan mengemukakan beberapa
definisi tentang belajar. Ada
beberapa definisi belajar antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
- Cronbach memberikan definisi: "learning ishown
bay a change in behavior as result of experience".
- Horald Spears memberikan batasan: "learning is
to observe, to read, to listen, to follow direction".
- Geoch, mengatakan: "learning is a change ini
performance as a result of practice".
Dari ketiga definisi di atas, maka dapat diterangkan
bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan,
dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengar,
meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik, jika si subyek
belajar itu mengalami atau melakukannya. Jadi tidak bersifat verbalistik. (Sardiman
Am, 1996:22)
Di samping definisi-definisi tersebut, ada beberapa
pengertian lain dan cukup banyak, baik yang dilihat secara mikr maupun secara
makro, dilihat dalam arti luas ataupun terbatas/khusus. Dalam pengertian luas
belajar dapat diartiakan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju perkembangan
pribadi seutuhnya. Kemudian dalam arti sempit belajar dimaksudkan sebagai usaha
penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian menuju terbentuknya
kepribadian seutuhnya. Relevan dengan ini maka ada pengertian bahwa belajar
adalah "penambahan pengetahuan". Definisi atau konsep ini dalam praktek
banyak dianut di sekolah-sekolah. Para
guru berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknyadan siswa giat
untuk mengumpulkan atau m,enerimanya. Dalam kasus yang demikian, guru hanya
berperan sebagai "pengajar". Sebagai konsekuensi dari pengertian yang
terbatas ini, maka kemudian muncul bnyak pendapat yang mengatakan bahwa belajar
itu adalah menghafal. Hal ini terbukti, misalnya kalau siswa (subyek belajar)
akan ujian, mereka akan menghafal terlebih dahulu. Sudah barang tentu
pengertian seperti ini, secara esen sial belum memadai.
Selanjutnya ada yang mendefinisikan "belajar adalah
berubah". Dalam hal ini yang dimaksud belajar berarti usaha mengubah
tingkah laku. Jadi belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu
yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan penambahan ilmu pengetahuan,
tetapi juga berbentuk kecakapan, ketrampilan, sikap, pengertian, harga diri,
minat, watak, penyesuaian diri. Jelasnya menyangkut segala aspek organisme dan
tingkah laku pribadi seseorang.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa belajar itu
sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan
pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa,
ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (1992) resep tiga
hal keberhasilan dalam pendidikan dipublikasikan lewat buku Quantum Learning:
Unleashing the genius in you, menyatakan bahwa pertama: ketrampilan
akademis, kedua: prestasi fisik dan ketiga: ketrampilan dalam hidup. (Bobbi
De Porter dan Mike Hernacki:1992:8)
- Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri
yang belajar
- Dilakukan secara aktif, dengan segenap panca indera
ikut berperan.
Proses internalisasi yang dilakukan secara aktif
dengan segenap panca indera perlu adanya follow up yaitu proses
"sosialisasi". Proses "sosialisasi" dalam hal ini
dimaksudkan mensosialisasikan atau menginteraksikan atau juga menularkan kepada
fihak lain. Dalam proses sosialisasi, karena berinteraksi dengan fihak
lainsudah barang tentu melahirkan suatu pengalaman. Dari pengalaman inilah akan
mengal;ami perubahan pada diri seseorang. Perubahan itu menurut Bloom, meliputi
tiga ranah/matra yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik (Abdul
Gafur, 1980:25)
Cara Belajar Siswa Aktif
Dalam suasana belajar mengajar dilapangan dalam
lingkungan sekolah-sekolah sering kita jumpai beberapa masalah. Para siswa meskipun mendapatkan nilai-nilai yang tinggi
dalam sejumlah mata pelajaran, namun mereka tampak kurang mampu menerapkan
perolehannya, baik berupa pengetahuan, ketrampilan maupun sikap, ke dalam
situasi yang lain.
Metode
ceramah dalam menyampaikan informasi
kepada para siswa sangat umum dan sangat sering dipakai oleh mayoritas guru
tanpa banyak melihat kemungkinan penerapan metode lain sesuai dengan jenis
materi dan bahkan serta alat yang tersedia. Metopde ceramah cukup mudah
dilakukan karena kurang menuntut usaha yang terlalu banyak, baik dari guru
maupun dari siswa. Akibatnya, materi pelajaran diojejalkan pada sisw, sambil
kurang diperhatikan taraf perkembangan mental siswa secara umum dan secara
perseorangan.
Kita
mungkin sering berfikir mencari alas an
atau kambing hitam yaitu kebiasaan berfikir untuk memaafkan diri. Kita mungkin
sering menjawab pertanyaan penilik atau pengawas mengapa para siswa hanya
dibiarkan duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) dan tidak dibiasakan belajar
secara aktif. Fasilitas kurang, alat-alat pelajaran terlambat dibagikan dari
pusat, buku-buku bacaan sangat langka, materi pelajaran amat banyak dan berat
waktu yang tersedia sangat kurang. Akibatnya suasana kelas terasa gersang oleh
para siswa, terasa mengikat.(Badan Penelitian dan Pengembangan P & K
1984:10-12)
Mungkin
kita kurang menyadari batapa banyak waktu yang dikorbankan anak untuk belajar
di sekolah. Di sekolah dasar anak belajar paling sedikit enam tahun, di sekolah
menengah tingkat pertama paling sedikit tiga tahun, dan di sekolah menengah
atas paling sedikit tiga tahun. Pada setiap tahun rata-rata 210 hari belajar
efektif. Berapa jumlah dari yang harus dilewati anak selama bertahun-tahun?
Bayangkan, betapa belama lamanya waktu itu! Waktu itu kurang berdaya guna, jika
anak menamatkan suatu jenjang pendidikan tanpa memperoleh kemampuan yang
berarti. Apakah sebagai guru kita telah memanfaatkanwaktu yang dikorbankan anak
itu dengan mengisinya melalui berbagai kegiatan studinya selanjutnya atau pula
untuk kehidupannya dalam masyarakat.
Satu-satunya
lembaga pendidikan yang secara umum menerapakan Cara Belajar Siswa Aktif adalah taman kanak-kanak. Para
siswa di taman kanak-kanak belajar sambil bermain. Mereka bergembira kegiatan
belajar yang menyenangkan. Mereka mengadakan kegiatan coba dan ralat (trial and
error). Masa pendidikan di taman kanak-kanak bagi anak-anak yang mengalaminya
akan berkesan seumur hidup. Namun, anak-anak setelah masuk sekolah dasar pada
umumnya daya ciptanya menjadi macet akibat kurang dilaksanakannya Cara Belajar
Siswa Aktif. Keadaan ini berlanjt terus
sampai ke SLTP, SLTA bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. Karena itu,
marilah kita renungkan bersama, langkah apa saja yang dapat kita tempuh dalam
rangka menghidupkan suasana belajar mengajar di sekolah. ( Conny Semiawan,
1984:9).
Kalau
kita mau mengaktifkan para siswa dalam belajar, sebaiknya kita membuat
pelajaran itu menantang, merangsang daya cipta untuk menemukan, serta
mengesankan. Guna menerapkan Cara
Belajar Siswa Aktif pertama-tama perlu
kita mengenalkan dan menghayati sejumlah prinsip yang dilandasi penelitian
psikologi dan uji coba dalam proses belajar mengajar.
1. prinsip motivasi
Motif
adalah daya dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Ada dua jenis motivasi,
yaitu motivasi dari dalam anak (intrinsic) dan motivasi dari luar diri anak
(ekstrinsik). Motivasi dari dalam dapat dilakukan dengan menggairahkan persaan
ingin tahu anak, keinginan untuk mencoba, dan hsrat untuk maju dalam belajar.
Motivasi dari luar dapat dilakukan dengan memberikan ganjaran, misalnya melalui
pujian, hukuman, misalnya dengan penugasan untuk memperbaiki pekerjaan rumahnya.
2. Prinsip Keterarahan Kepada Titik Pusat atau
Fokus Tertentu
Titik
pusat itu dapat tercipta melalui upaya merumuskan masalah yang hendak
dipecahkan, merumuskan pertanyaan yang hendak ditemukan. Titik pusat itu akan
membatasi keluasan dan kedalaman tujuan belajr serta akan memberikan arah
kepada tujuan yang hendak dicapai.
3. Prinsip Latar atau Konteks
Kegiatan
belajar tidak terjadi kekosongan. Sudah jelas, para siswa yang mempelajari
sesuatu hal yang baru telah pula mengetahui hal-hal lain yang secara langsung
atau tidak langsung berkaitan
4. Prinsip Hubungan Sosial atau Sosialisasi
Dalam
belajar para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan
sebayanya. Ada
kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara
bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada dikerjakan sendirian.
5. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Anak-anak
pada hakekatnya belajr itu sambil bekerja karena melakukan aktifitas. Bekerja
adalah tuntutan pernyataan diri anak.
6. Prinsip Perbedaan Perorangan atau Individualisasi
Setiap
siswa tentu saja memiliki perbedaan perorangan, misalnya dalam kepintaran,
kegemaran, bakat, latar belakng keluarga, sifat dan kebiasaan. Jika perbedaan
perorangan siswa dipelajari dan dimanfaatkan dengan tepat, maka kecepatan dan
keberhasilan belajar akademik anak dapatlah ditumbuhkembangkan.
Informasi
yang disampaikan guru hendaknya hanya dibatasi pada informasi yang benar-benar
mendasar dan "memancing" siswa untuk "mencari" informasi
selanjtnya.
8. Prinsip Pemecahan Masalah
Seluruh
kegiatan siswa akan terarah jika didorong untukl mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Guna mencapai tujuan-tujuan, para siswa dihadapkan dengan situasi
bermasalah agar mereka peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat
ditimbulkan jika para siswa dihadapkan pada situasi yang memerlukan pemecahan. (Badan
Penelitian dan Pengembangan P & K 1984:10-12).
Karakteristik Sekolah Efektif
Upaya
mencari karakteristik sekolah efektif,
pada dasarnya menjadi bagian dari analisis dan kajian penelitian dalam
manajemen pendidikan. Hal ini seharusnya mendapatkan perhatian serius dari para
pengelola pendidikan kita. Dalam rangka pencarian karakteristik sekolah efektif.
Bickel
(1883) menggambarkan tiga asumsi pokok tentang gerakan sekolah efektif, yaitu
asumsi-asumsi yang mencerminkan optimisme pembelajaran murid. Pertama
adanya sekolah-sekolah yang ternyata sukses mengajarkan ketrampilan dasar
kepada murid terbelakang dan minoritas, ketika dievaluasi dengan tes
berstandar. Kedua sekolah-sekolah efektif ini memiliki cirri-ciri yang
terkait dengan kesuksesan, yaitu cirri-ciri yang berada dalam ranah pendidikan.
Ketiga karakteristik tersebut memberikan dasar bagi peningkatan
sekolah yang tidak sukses saat ini. Nampaknya ketiga karakteristik tersebut
memberikan dasar penting bagi reformasi pendidikan dan program perbaikan
sekolah secara nasional.
Sekolah Efektif dan Tidak Efektif
Banyak studi tentang sekolah efektif menggunakan
pendekatan komparatif. Hal itu mengidentifikasi sekolah-sekolah berdasarkan SES
(Social Economic Status) yang sangat efektif dan sama sekali tidak efektif (
ineffective schools), kemudian mencari cirri-ciri yang membedakannya. (Blum,
1984:17).
Klittgaarg
dan Hill (1974) dan Purkey dan Smith (1983) menyatakan bahwa lebih logis untuk
mengkomparasikan sekolah efektif dan tidak efektif dengan sekolah kebanyakan
(average). Menarik adalah penemuan karakteristik yang menentukan suatu sekolah
lebih baik atau lebih buruk dibanding dengan kebanyakan, yakni: hal-hal yang
menjadikannya terasing (outliers). Demikian juga kunci ynag membedakan antara
sekolah efektif dan sekolah kebanyakan sangat berbeda dari perbedaan antara
sekolah efektif dan tidak efektif. Secara praktis menurut Purkey dan Smith
(1983), sekolah yang terbelakang lebih mendapatkan keuntungan dengan memahami
mengapa mereka di bawah rata-rata daripada mengetahui bagaimana dibandingkan
dengan sekolah-sekolah yang terkemuka (outstanding schools) (Liebermen:1988:19).
Kesimpulan
Karakteristik
sekolah efektif berbeda dengan dari kreasi lingkungan sekolah efektif. Rowan,
Bossert dan Dwyer (1983) menyarankan bahwa prestasi tinggi sebenarnya akan
menyebabkan efektifitas sekolah daripada sebaliknya. Yakni, murid-murid dengan
motivasi dan tingkat prestasi tinggi, lantaran nilai keluarga dan sebaya,
mengakibatkan kebijakan dan prosedur sekolah yang ada terlepas apa bentuknya
nampak efektif.
Sekolah
efektif dapat tersusun dari kombinasi unik dan sangat ideosentrik
administrator, guru dan murid. Dengan demikian, sekolah efektif dapat menjadi modal
"hanya untuk dirinya" dan tidak dapat dipublikasikan.
Dari
perspektif di atas, yang menarik merupakan dasar yang pasti. Prestasi murid
dapat ditingkatkan melalui pelatihan kepala sekolah dan diketahui dengan
prestasi yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Conny Semiawan,dkk, Pendidikan
Ketrampilan Proses-Bagaimana Mengaktifkan Siswa Dalam Belajar, Gramedia, Jakarta , 1984.
2.
Badan Penelitian dan
Pengembangan P & K, Bagaimana Membina Guru Secara Profesional, Jakarta , 1984.
3.
Blum, R.E, Effective
Scholling Practice: A Research Synthesis. Co: Center For Action Research.
4.
Liberman, A Expending The
Leadership Team, Educational Leadership, 1988.
5.
Abdul Ghafur Da, Disain
Intructional, Suatu Lngkah Sistematis Penyusunan Pola Dsar Kegiatan Belajar
Mengajar, Tiga Serangkai, 1980.
6.
Sadirman AM, Interaksi
dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers, Jakrta, 1966.
7.
Bobbi De Porter dan Mike
Hemachi, Quantum Learning, Kaifa, Banduing, 1999.
No comments:
Post a Comment