Monday, February 5, 2018

Makalah Prinsip Pendidikan Islam

Oleh: Mahasiswa STAI NU Malang
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa sumber utama pendidikan Islam adalah kitab suci Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Serta pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuan muslim sebagai tambahan. Pendidikan Islam sebagai sebauah disiplin ilmu harus membuka mata bahwa keadaan pendidikan yang terjadi saat ini jauh dari apa yang kita harapkan. Kita mengaharapkan bahwa pendidika Islam memberika kontribusi terhadap pendidikan yang terdapat di Indonesia, namun hal tersebut belum terealisaikan dengan maksimal.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab hal tersebut adalah tidak di terapkannya sebuah prinsip sebagai dasar dalam pendidikan. Pemikiran pendidikan adalah aktivitas pemecahan masalah yang terkait dengan persoalan-persolan yang ikut mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Pemikiran pendidikan dalam Islam lahir akibat dari ideologi Islam yang digambarkan oleh al-Qur‟an dan al-Sunnah serta suasana baru yang muncul dalam dunia Islam. Pemikiran pendidikan Islam cepat membuat respon bagi semua perubahan dan perkembangan itu. Allah dalam pemikiran pendidikan Islam adalah sumber dari segala sumber. Artinya dari kitab al-Qur‟an dapat diketahui cita-cita, materi dan metode pendidikan Islam sebagai pedoman menjalankan aktivitas pendidikan.
Sering kali sebuah prinsip hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas saja. Prinsip tidak dijadikan sebagai dasar atau pondasi sebagai pencapaian sebuah tujuan. Padahal dalam pencapaian tujuan yang digarapkan dalam pendidikan Islam, keberadaan prinsip-prinsip sangatlah penting dan urgent.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan mencoba sedikit memaparkan tentanng bagaimana sebuah prisnip-prinsip pendidikan islam sebagai displin ilmu dan bagaimana kontribusinya.
B.     Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian prinsip pendidikan Islam?
2.        Apa yang dimaksud dengan Prinsip Tauhid?
3.        Apa perspektif Al-Qur‟an dan relevansinya dengan prinsip pendidikan Islam?

C.    Tujuan Masalah
1.        Mengetahui pengertian prinsip pendidikan Islam.
2.        Mengetahui apa yang di maksud dengan prinsip Tauhid.
3.        Mengetahui perspektif Al-Qur’an dan relevansinya dengan prinsip pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Prinsip Pendidikan Islam
Dalam al-Qur‟an terdapat lafadz-lafadz tarbiyah, ta’lim, tazkiyah (pendidikan, pengajaran dan penyucia jiwa) yang menjadi paradigma pendidikan Islam; uswah (keteladanan) yang menjadi metode utama pembentukan pribadi muslim. Riwayat para Rasul dan kisah-kisah lainnya, terutama kisah Lukman al-Hakim dalam mendidik anaknya, juga dapat dicontohkan untuk menjalankan praktek pendidikan Islam. Al-Qur‟an sebagai dasar, memiliki perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat manusia.
Ia merupakan sumber yang terlengkap, baik dakwah kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spirtual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan alam semesta.
Prinsip berati asas atau kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak dan sebagainya. Menurut Dagobert D. Runes yang di kutip oleh Syamsul Nizar, mengartikan prinsip sebagai kebenaran yang bersifat universal (universal trith) yang menjadi sifat dari sesuatu. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka prinsip pendidikan dapat sebagai kebenaran yang universal sifatnya dan menajadi dasar dalam merumuskan perangkat pendidikan.
Prinsip pendidikan diambil dari dasar pendidikan, baik berupa agama atau ideologi negara yang dianut. Prinsip pendidikan Islam juga ditegakan di atas dasar yang sama dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak. Pandangan Islam terhadap masalah-masalah tersebut, melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam. Dalam rangka yang lebih terperinci, M Yusuf al-Qardawhi memberikan pengertian, bahwa ;“ Pendidikan Islam adalah pendidikan manusiawi seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia hidup dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan “pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik hasilnya diakhirat.
Dalam pandangan Islam, penyelenggaraan kegiatan pendidikan mendapat apresiasi yang sangat mulia, baik pendidik, maupun peserta didik. Dalam konteks kehidupan sosial dengan berbagai corak dan ragam profesi, skill, lapangan pekerjaan, dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi oleh masing-masing individu, sering mengabaikan kondisi sosial kemanusiaan. Setiap individu tersibukkan oleh kejaran tuntutan. Dalam situasi seperti ini al-Qur’an mengingatkan agar orang mukmin yang merupakan ummatan washatan, yang selalu memberi peringatan bagi manusia lain agar tidak melaut semuanya dalam kegiatan rutinitas masyarakat. Hendaknya ada diantara mereka yang mau memikirkan kebutuhan masyarakat, dimana kebutuhan tersebut kurang mendapat perhatian, bahkan sering diabaikan oleh masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pemikiran tentang keberlangsungan pendidikan.[1]

B.     Tentang Prinsip Tauhid
Pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid. Hakikat ilmu bersumber dari Allah. Dia mengajari manusia melalui qalam dan 'ilm. Qalam adalah konsep tulis-baca yang memuat simbol pene-litian dan eksperimentasi ilmiah. Sedangkan 'ilm adalah alat yang mendukung manusia untuk mening-katkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Melalui konsep tarbiyyat, ta'dib, dan ta'lim yang telah dikem-bangkan selama ini oleh para ahli semuanya mengacu kepada bagaimana membina umat manusia untuk berhubungan dengan Allah sebagai Dzat Yang Maha Mendidik. Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung kemudian mendidik para Rasul-Nya, lalu secara arti-fisial tugas-tugas kependidikan selanjutnya diserah-kan kepada para ulama, profesional, ustadz, mu'allim, atau guru.
Sebagai seorang pewaris misi Rasul Allah, seorang pendidik haruslah memenuhi lima
kriteria (Ulwan, 1981) yaitu (a) bertaqwa kepada Allah, (b) ikhlas berkorban karena merindukan ridha Allah, (c) berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah, dan (d) santun, lemah lembut, sabar, pemaaf, (e) memiliki rasa tannggungjawab yang tinggi dan ber-laku adil.
Rasulullah adalah pendidik yang berhasil dan unggul di hadapan Allah dan sejarah umat manusia. Keberhasilannya oleh karena (1) didukung oleh kepribadian (personality) yang berkualitas tinggi, (2) mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah sosial-religius, (3) mempunyai semangat yang peka dalam iqra' bi ism Rabbik, dan (4) mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal shalih dan memperjuangkan kebenaran atas prinsip ta'awun (kerja sama) dan shabr. Keberhasilan beliau dapat diformulasikan bahwa seorang pendidik berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi profesional-religius. Sikap religiusitas harus selalu dikaitkan dengan setiap kompetensi agar semua persoalan berada dalam perspektif Islam. Demikian itulah tugas utamanya seorang pendidik, kata Al-Ghazaly, yakni menyempurnakan, menyuci-kan, serta membawa hati manusia untuk dekat kepada Allah.[2]
Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan yang berbasis tauhid ialah keseluruhan
kegiatan bimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahliannya masing-masing yang bersumber dari Allah. Selanjutnya, ilmu dan keahlian yang dimilikinya diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi konkret pengabdian dan kepatuhannya kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nilai akhlaq al-karimah (budi pekerti, tatakrama, menurut istilah lokal kita di Indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan pemelihara kehidupan di dunia ini.
Sebab, pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah (1) terbentuknya insan kamil (manusia univer-sal, conscience) berwajah Qurani, (2) terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya, dan ilmiah, (3) penyadaran akan eksistensi manusia sebagai 'abd (hamba), khalifah, pewaris perjuangan risalah para nabi. Pada akhirnya, melalui konsepsi pendidikan berbasis tauhid ini setiap manusia akan memasuki fase kehidupan yang oleh Allah sebut kaffah (Q.S. al-Baqarah,2: 208). Suatu perwujudan sikap pribadi utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, sikap yang humanis, toleran serta mendatangkan kebaha-giaan bagi kehidupan bersama. Jadi, salah satu tantangan kita ke depan khusus-nya civitas akademika Universitas Pendidikan Indone-sia yang telah banyak berjasa melahirkan para pemikir, penguasa, pengusaha atau profesi lainnya, terutama di bidang pendidikan, untuk tiada hentinya memelopori lahirnya gagasan, konsep, teori, dan sistem pendidikan yang berbasis tauhid sehingga lahir corak pendidikan sosio-religi.
Peluang kepeloporan ini sangat mungkin dan terbuka sebagai bagian dari upaya melakukan pem-baharuan pendidikan. Upaya itu sangat bersesuaian baik dilihat dari segi sosiologis, kultural, ideologi maupun paham teologis masyarakat kita yang mayoritas muslim. Proses dan perkembangan yang sedang berjalan dalam bentuk pengintegrasian nilai-nilai agama (Islam) ke dalam sains, teknologi, dan seni di semua jenjang lembaga pendidikan dan profesi yang ada barulah merupakan jenjang awal yang benar dan strategis menuju upaya perwujudan pendidikan yang berbasis tauhid.

C.    Prespektif Al-Qur’an dan Relevansinya
Kendati manusia lahir dalam kondisi yang serba tergantung (dependent) akibat keadaannya yang tak berdaya secara fisik maupun psikis, namun bersamaan dengan kelahirannya manusia telah membawa seperangkat potensi dasar (fitrah) yang siap dikembangkan, sebagaimana sabda Rasulullah : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanya yang berperan apakah ia akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari-Muslim)”. dalam al-Qur’an juga disebutkan: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, tetaplah pada fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada yang dapat mengubah fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.[3]
Dengan berlandaskan dalil ini pula, Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah agama fitrah. Demikian pula Sayid Qutb, beliau menyatakan bahwa Islam diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia.[4]
Sebagian ahli menafsirkan istilah fitrah sebagai keyakinan tentang keesaan Allah swt. yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[5] Sebagian lain mengatakan kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola dasar ke-Islaman (fitrah islamiyah), karena faktor kelemahan diri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada kekuasaan-Nya.[6] Ibn ‘Athiyah mengatakan, fitrah adalah suatu kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu, mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal Tuhan dan syariat-Nya.[7] Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa potensi fitrah manusia mengandung tiga daya kekuatan yang terdiri atas : daya intelektual (qûwah al-‘aql), daya ofensif (qûwah al-sahwah) dan daya defensif (qûwah al-ghadhab).[8]
Daya intelektual merupakan potensi yang memungkinkan manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudia daya ofensif adalah potensi dasar manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan bermanfaat. Sedangkan daya defensif adalah kemampuan dasar manusia yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Kedudukan daya intelektual diantaranya dua daya lainnya adalah sebagai pengontrol (self control), sehingga potensi tersebut dapat diaktualisasikan menuju kehidupan yang bermanfaat menurut etika agama. Akan tetapi jika potensi intelektual tidak berfungsi, dua potensi lainnya akan berkembang menjadi liar yang akan membawa manusia terjebak pada pola kehidupan yang destruktif.
Oleh karena itu, setiap manusia lahir telah membawa potensi fitrah (natural ability) namun tidak secara otomatis setiap individu cenderung menjadi orang baik-baik. Keberadaan fitrah pada masing-masing individu masih berupa potensi dasar yang hanya siap dikembangkan dan diaktualisasikan. Pengembangannya banyak ditentukan oleh siapa dan bagaimana mengembangkannya. Apabila dikembangkan ke arah yang keliru potensi fitrah manusia akan tumbuh berkembang menjadi liar dan destruktif, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks ini pendidikan Islam menempati posisi strategis dalam rangka mengembangkan potensi fitrah insaniyah secara benar, untuk mengantarkan manusia menuju agama Allah yang hanief, yakni agama yang sesuai dengan fitrahnya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/url makalah+tafsir+tarbawi+tentang+prinsip
MZ. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
Al-Qur’anul Karim
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara , 1993),
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 11 (Jakarta; Lentera Hati, 2003),
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,
Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 11
Tobroni dan Syamsul Arifin, Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta; Sipress, 1993),


[1] https://www.google.co.id/url makalah+tafsir+tarbawi+tentang+prinsip
[2] MZ. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 125.
[3] QS : al -Rûm : 30.
[4] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara , 1993), hlm. 90.
[5] Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 11 (Jakarta; Lentera Hati, 2003), hlm. 53-55.
[6] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 91.
[7] Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 11, hlm. 54
[8] Tobroni dan Syamsul Arifin, Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta; Sipress, 1993),
hlm. 158.
Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670