![]() |
Oleh: Mahasiswa STAI NU Malang |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui
bahwa sumber utama pendidikan Islam adalah kitab suci Al-Qur‟an dan sunnah
Rasulullah SAW. Serta pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuan muslim
sebagai tambahan. Pendidikan Islam sebagai sebauah disiplin ilmu harus membuka
mata bahwa keadaan pendidikan yang terjadi saat ini jauh dari apa yang kita
harapkan. Kita mengaharapkan bahwa pendidika Islam memberika kontribusi
terhadap pendidikan yang terdapat di Indonesia, namun hal tersebut belum
terealisaikan dengan maksimal.
Salah satu faktor yang
menjadi penyebab hal tersebut adalah tidak di terapkannya sebuah prinsip
sebagai dasar dalam pendidikan. Pemikiran pendidikan adalah aktivitas pemecahan
masalah yang terkait dengan persoalan-persolan yang ikut mempengaruhi proses
dan hasil pendidikan. Pemikiran pendidikan dalam Islam lahir akibat dari
ideologi Islam yang digambarkan oleh al-Qur‟an dan al-Sunnah serta suasana baru
yang muncul dalam dunia Islam. Pemikiran pendidikan Islam cepat membuat respon bagi
semua perubahan dan perkembangan itu. Allah dalam pemikiran pendidikan Islam
adalah sumber dari segala sumber. Artinya dari kitab al-Qur‟an dapat diketahui
cita-cita, materi dan metode pendidikan Islam sebagai pedoman menjalankan
aktivitas pendidikan.
Sering kali sebuah
prinsip hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas saja. Prinsip tidak dijadikan
sebagai dasar atau pondasi sebagai pencapaian sebuah tujuan. Padahal dalam
pencapaian tujuan yang digarapkan dalam pendidikan Islam, keberadaan
prinsip-prinsip sangatlah penting dan urgent.
Oleh karena itu, dalam
makalah ini kami akan mencoba sedikit memaparkan tentanng bagaimana sebuah
prisnip-prinsip pendidikan islam sebagai displin ilmu dan bagaimana
kontribusinya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian prinsip pendidikan Islam?
2.
Apa yang dimaksud dengan Prinsip Tauhid?
3.
Apa perspektif Al-Qur‟an dan relevansinya dengan prinsip
pendidikan Islam?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian prinsip pendidikan
Islam.
2.
Mengetahui apa yang di maksud dengan
prinsip Tauhid.
3.
Mengetahui perspektif Al-Qur’an dan
relevansinya dengan prinsip pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Prinsip Pendidikan Islam
Dalam al-Qur‟an terdapat
lafadz-lafadz tarbiyah, ta’lim, tazkiyah (pendidikan, pengajaran dan
penyucia jiwa) yang menjadi paradigma pendidikan Islam; uswah (keteladanan)
yang menjadi metode utama pembentukan pribadi muslim. Riwayat para Rasul dan
kisah-kisah lainnya, terutama kisah Lukman al-Hakim dalam mendidik anaknya,
juga dapat dicontohkan untuk menjalankan praktek pendidikan Islam. Al-Qur‟an
sebagai dasar, memiliki perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan
kebudayaan umat manusia.
Ia merupakan sumber yang terlengkap, baik
dakwah kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spirtual (kerohanian),
serta material (kejasmanian) dan alam semesta.
Prinsip berati asas atau
kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak dan sebagainya.
Menurut Dagobert D. Runes yang di kutip oleh Syamsul Nizar, mengartikan prinsip
sebagai kebenaran yang bersifat universal (universal trith) yang menjadi
sifat dari sesuatu. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah
suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan
sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut. Apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka
prinsip pendidikan dapat sebagai kebenaran yang universal sifatnya dan menajadi
dasar dalam merumuskan perangkat pendidikan.
Prinsip pendidikan
diambil dari dasar pendidikan, baik berupa agama atau ideologi negara yang
dianut. Prinsip pendidikan Islam juga ditegakan di atas dasar yang sama dan
berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagad raya, manusia,
masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak. Pandangan Islam terhadap
masalah-masalah tersebut, melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam.
Dalam rangka yang lebih terperinci, M Yusuf al-Qardawhi memberikan pengertian,
bahwa ;“ Pendidikan Islam adalah pendidikan manusiawi seutuhnya, akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu,
pendidikan Islam menyiapkan manusia hidup dalam keadaan damai maupun perang,
dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sementara itu, Hasan
Langgulung merumuskan “pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi
muda untuk mengisi peranan memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal didunia dan memetik hasilnya
diakhirat.
Dalam
pandangan Islam, penyelenggaraan kegiatan pendidikan mendapat apresiasi yang
sangat mulia, baik pendidik, maupun peserta didik. Dalam konteks kehidupan
sosial dengan berbagai corak dan ragam profesi, skill, lapangan pekerjaan, dan tuntutan
hidup yang harus dipenuhi oleh masing-masing individu, sering mengabaikan
kondisi sosial kemanusiaan. Setiap individu tersibukkan oleh kejaran tuntutan.
Dalam situasi seperti ini al-Qur’an mengingatkan agar orang mukmin yang
merupakan ummatan washatan, yang selalu memberi peringatan bagi manusia
lain agar tidak melaut semuanya dalam kegiatan rutinitas masyarakat. Hendaknya
ada diantara mereka yang mau memikirkan kebutuhan masyarakat, dimana kebutuhan
tersebut kurang mendapat perhatian, bahkan sering diabaikan oleh masyarakat itu
sendiri. Salah satunya adalah pemikiran tentang keberlangsungan pendidikan.[1]
B. Tentang Prinsip Tauhid
Pendidikan
Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid. Hakikat ilmu
bersumber dari Allah. Dia mengajari manusia melalui qalam dan 'ilm.
Qalam adalah konsep tulis-baca yang memuat simbol pene-litian dan
eksperimentasi ilmiah. Sedangkan 'ilm adalah alat yang mendukung manusia
untuk mening-katkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Melalui konsep tarbiyyat,
ta'dib, dan ta'lim yang telah dikem-bangkan selama ini oleh para
ahli semuanya mengacu kepada bagaimana membina umat manusia untuk berhubungan
dengan Allah sebagai Dzat Yang Maha Mendidik. Allah sebagai Pendidik Yang Maha
Agung kemudian mendidik para Rasul-Nya, lalu secara arti-fisial tugas-tugas
kependidikan selanjutnya diserah-kan kepada para ulama, profesional, ustadz,
mu'allim, atau guru.
Sebagai
seorang pewaris misi Rasul Allah, seorang pendidik haruslah memenuhi lima
kriteria (Ulwan, 1981) yaitu (a)
bertaqwa kepada Allah, (b) ikhlas berkorban karena merindukan ridha Allah, (c)
berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah, dan (d) santun, lemah
lembut, sabar, pemaaf, (e) memiliki rasa tannggungjawab yang tinggi dan
ber-laku adil.
Rasulullah
adalah pendidik yang berhasil dan unggul di hadapan Allah dan sejarah umat
manusia. Keberhasilannya oleh karena (1) didukung oleh kepribadian (personality)
yang berkualitas tinggi, (2) mempunyai kepedulian tinggi terhadap masalah
sosial-religius, (3) mempunyai semangat yang peka dalam iqra' bi ism Rabbik,
dan (4) mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman, amal shalih
dan memperjuangkan kebenaran atas prinsip ta'awun (kerja sama) dan shabr.
Keberhasilan beliau dapat diformulasikan bahwa seorang pendidik berhasil
menjalankan tugasnya apabila memiliki kompetensi profesional-religius. Sikap
religiusitas harus selalu dikaitkan dengan setiap kompetensi agar semua
persoalan berada dalam perspektif Islam. Demikian itulah tugas utamanya seorang
pendidik, kata Al-Ghazaly, yakni menyempurnakan, menyuci-kan, serta membawa
hati manusia untuk dekat kepada Allah.[2]
Dengan
demikian, yang dimaksud pendidikan yang berbasis tauhid ialah keseluruhan
kegiatan bimbingan, pembinaan dan
pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan
keahliannya masing-masing yang bersumber dari Allah. Selanjutnya, ilmu dan
keahlian yang dimilikinya diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi
konkret pengabdian dan kepatuhannya kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali
dari menanamkan nilai-nilai akhlaq al-karimah (budi pekerti, tatakrama,
menurut istilah lokal kita di Indonesia) dalam diri setiap peserta didik
kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur
dan pemelihara kehidupan di dunia ini.
Sebab,
pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut Islam adalah (1) terbentuknya insan
kamil (manusia univer-sal, conscience) berwajah Qurani, (2)
terciptanya insan kaffah yang memiliki dimensi-dimensi religius, budaya,
dan ilmiah, (3) penyadaran akan eksistensi manusia sebagai 'abd (hamba),
khalifah, pewaris perjuangan risalah para nabi. Pada akhirnya, melalui
konsepsi pendidikan berbasis tauhid ini setiap manusia akan memasuki fase
kehidupan yang oleh Allah sebut kaffah (Q.S. al-Baqarah,2: 208). Suatu
perwujudan sikap pribadi utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, sikap
yang humanis, toleran serta mendatangkan kebaha-giaan bagi kehidupan bersama.
Jadi, salah satu tantangan kita ke depan khusus-nya civitas akademika
Universitas Pendidikan Indone-sia yang telah banyak berjasa melahirkan para
pemikir, penguasa, pengusaha atau profesi lainnya, terutama di bidang
pendidikan, untuk tiada hentinya memelopori lahirnya gagasan, konsep, teori,
dan sistem pendidikan yang berbasis tauhid sehingga lahir corak
pendidikan sosio-religi.
Peluang
kepeloporan ini sangat mungkin dan terbuka sebagai bagian dari upaya melakukan
pem-baharuan pendidikan. Upaya itu sangat bersesuaian baik dilihat dari segi
sosiologis, kultural, ideologi maupun paham teologis masyarakat kita yang
mayoritas muslim. Proses dan perkembangan yang sedang berjalan dalam bentuk
pengintegrasian nilai-nilai agama (Islam) ke dalam sains, teknologi, dan seni
di semua jenjang lembaga pendidikan dan profesi yang ada barulah merupakan
jenjang awal yang benar dan strategis menuju upaya perwujudan pendidikan yang
berbasis tauhid.
C. Prespektif Al-Qur’an dan Relevansinya
Kendati manusia lahir dalam kondisi yang serba tergantung (dependent)
akibat keadaannya yang tak berdaya secara fisik maupun psikis, namun bersamaan
dengan kelahirannya manusia telah membawa seperangkat potensi dasar (fitrah)
yang siap dikembangkan, sebagaimana sabda Rasulullah : “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanya yang berperan apakah ia akan
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Bukhari-Muslim)”. dalam al-Qur’an juga
disebutkan: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, tetaplah
pada fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada
yang dapat mengubah fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.[3]
Dengan berlandaskan dalil ini pula, Syaikh Muhammad Abduh berpendapat
bahwa Islam adalah agama fitrah. Demikian pula Sayid Qutb, beliau menyatakan
bahwa Islam diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human
nature), karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia.[4]
Sebagian ahli menafsirkan istilah fitrah sebagai keyakinan tentang
keesaan Allah swt. yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[5]
Sebagian lain mengatakan kemampuan dasar untuk berkembang dalam pola dasar
ke-Islaman (fitrah islamiyah), karena faktor kelemahan diri manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang berkecenderungan asli untuk berserah diri kepada
kekuasaan-Nya.[6]
Ibn ‘Athiyah mengatakan, fitrah adalah suatu kondisi penciptaan yang terdapat dalam
diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu, mampu membedakan
ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal Tuhan dan syariat-Nya.[7]
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa potensi fitrah manusia mengandung tiga
daya kekuatan yang terdiri atas : daya intelektual (qûwah al-‘aql), daya
ofensif (qûwah al-sahwah) dan daya defensif (qûwah al-ghadhab).[8]
Daya intelektual merupakan potensi yang memungkinkan manusia dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kemudia daya ofensif adalah
potensi dasar manusia yang mampu menginduksi objek-objek yang menyenangkan dan
bermanfaat. Sedangkan daya defensif adalah kemampuan dasar manusia yang dapat menghindarkan
manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Kedudukan daya
intelektual diantaranya dua daya lainnya adalah sebagai pengontrol (self control),
sehingga potensi tersebut dapat diaktualisasikan menuju kehidupan yang
bermanfaat menurut etika agama. Akan tetapi jika potensi intelektual tidak
berfungsi, dua potensi lainnya akan berkembang menjadi liar yang akan membawa manusia
terjebak pada pola kehidupan yang destruktif.
Oleh karena itu, setiap manusia lahir telah membawa potensi fitrah
(natural ability) namun tidak secara otomatis setiap individu cenderung menjadi
orang baik-baik. Keberadaan fitrah pada masing-masing individu masih berupa
potensi dasar yang hanya siap dikembangkan dan diaktualisasikan.
Pengembangannya banyak ditentukan oleh siapa dan bagaimana mengembangkannya.
Apabila dikembangkan ke arah yang keliru potensi fitrah manusia akan tumbuh
berkembang menjadi liar dan destruktif, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks
ini pendidikan Islam menempati posisi strategis dalam rangka mengembangkan
potensi fitrah insaniyah secara benar, untuk mengantarkan manusia menuju agama
Allah yang hanief, yakni agama yang sesuai dengan fitrahnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an
telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan
yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk
kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk
keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan
untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk
memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini
manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena
yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi
kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya
diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak
boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga
tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah
menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia
untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia
sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/url
makalah+tafsir+tarbawi+tentang+prinsip
MZ. Arifin, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
Al-Qur’anul
Karim
M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara , 1993),
Quraisy Shihab, Tafsir
al-Misbah Volume 11 (Jakarta; Lentera Hati, 2003),
Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam,
Shihab, Tafsir al-Misbah
Volume 11
Tobroni
dan Syamsul Arifin, Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta; Sipress,
1993),
[8] Tobroni dan Syamsul Arifin, Pluralisme
Budaya dan Politik (Yogyakarta; Sipress, 1993),
hlm. 158.
No comments:
Post a Comment