Makalah Mahasiswa STAI NU Malang |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan
suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikannya. Tetapi pendidikan di
Indonesia sama sekali belum sepenuhnya tersentuh oleh tangan-tangan pemerintah.
Output yang dikeluarkan pun tidak seperti apa yang telah menjadi tujuan
pendidikan.
Di
Indonesia terdapat tiga macam lembaga pendidikan, yaitu sekolah umum, madrasah
dan pesantren. Antara madrasah dan sekolah umum tidak banyak perbedaannya. Akan
tetapi, lembaga yang satunya yaitu pesantren, adalah lembaga yang jauh berbeda
dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan diselenggarakan bertujuan
untuk membentuk manusia yang
memanusiakan manusia. Artinya, penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan pada
pembentukan perilaku yang baik. Karena itulah hampir seluruh lembaga pendidikan
yang diselenggarakan di Indonesia ini terdapat muatan materi tentang akhlakul
karimah. Diharapkan output-output yang dihasilkan nantinya di samping
berintelektual tinggi, juga mempunyai budi pekerti yang baik sehingga menjadi
teladan bagi masyarakatnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dan urgensi Mutu LPI Pesantren?
2.
Bagaimana Tipologi LPI Pesantren?
3.
Bagaimana Purifikasi LPI Pesantren dan Transformasinya?
4.
Bagaimana Sistem LPI Pesantren?
5.
Bagaimana upaya LPI Pesantren dalam
meningkatkan Mutunya dalam berbagai bidang?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian dan urgensi Mutu LPI Pesantren
2.
Mengetahui Tipologi LPI Pesantren
3.
Mengetahui Purifikasi LPI Pesantren dan
Transformasinya
4.
Mengetahui Sistem LPI Pesantren
5.
Mengetahui upaya LPI Pesantren dalam
meningkatkan Mutunya dalam berbagai bidang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tentang Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang mempunyai peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia, khususnya di
pulau Jawa dan Madura. Pondok pesantren, jika di aceh disebut rangkang atau meunasah, sedangkan di Sumatra Barat disebut surau.[1]
Istilah pondok pesantren dalam pemahaman
sehari-hari kadang-kadang hanya disebut pondok atau pesantren saja dan bisa
juga disebut secara bersama-sama, pondok pesantren. Di Indonesia lebih populer
dengan sebutan pondok pesantren.[2]
Kata pondok berasal dari bahasa Arab “fundug” yang berarti “hotel atau
asrama”.[3] Sedangkan kata pesantren
berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti
“tempat tinggal para santri”.[4]
Sedangkan pondok pesantren menurut istilah
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut :
1)
M.Arifin sebagaimana dikutip oleh
Qomar:
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh
serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana
santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah
yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership
seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik
serta independen dalam segala hal.[5]
2)
Abrurrahman Wahid
Pondok pesantren adalah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari
kehidupan sekitarnya. Dalam komplek itu terdiri beberapa buah bangunan: rumah
pengasuh, sebuah surau atau masjid, dan asrama tempat tinggal santri.[6]
3)
Zamakhsyari Dhofier
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama
untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai
bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang
untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini
biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para
santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.[7]
Berangkat dari beberapa pengertian tentang pondok
pesantren di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah
suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari komplek yang di dalamnya
terdapat seorang kiai (pendidik), yang mengajar dan mendidik para santri (anak
didik) dengan sarana-sarana seperti masjid yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan adanya asrama atau
pondok sebagai tempat tinggal para santri.
2. Tujuan Pondok Pesantren
Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam
mencapai sesuatu yang dikehendaki, tanpa adanya suatu tujuan yang jelas maka
roda perjalanan sebuah lembaga tidak akan berjalan dengan baik, termasuk dalam
lembaga pondok pesantren. Ironisnya, pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran
institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang
dimilikinya hanya ada dalam angan-angan.[8] Selama ini memang belum pernah ada rumusan
tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren.[9]
Akibatnya, beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan
(asumsi) dan atau wawancara.[10]
Adapun tujuan pondok pesantren menurut Ziemiek
sebagaimana dikutip oleh Qomar adalah “membentuk kepribadian, memantapkan
akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan”.[11]
Sementara itu Arifin mengemukakan bahwa tujuan pondok pesantren ada 2 yaitu :
a.
Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam
dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat
sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b.
Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang
diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[12]
Sedangkan tujuan institusional pondok pesantren
yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi
tujuan pondok pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam
Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Perkembangan Pondok Pesantren di Jakarta
yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978, yang dikutip oleh Qomar:
“Tujuan umum pesantren adalah
membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran
agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya
serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan
negara”.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai
berikut:
·
Mendidik siswa/santri anggota
masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT,
berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin
sebagai warga Negara yang berpancasila;
·
Mendidik siswa/santri untuk
menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa
ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam
mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis;
·
Memperoleh kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada
pembangunan bangsa dan Negara;
·
Mendidik tenaga-tenaga penyuluh
pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya);
·
Agar menjadi tenaga-tenaga yang
cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental
spiritual;
·
Untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha usaha pembangunan
bangsa.[13]
Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci
diantara rumusan yang pernah diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi
harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya
kandas. Kiai-kiai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis
sebagai tujuan bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda
dengan kehendak tujuan tersebut.[14]
Sekalipun sampai saat ini tujuan pendidikan di
pondok pesantren belum dirumuskan secara rinci dan dijabarkan dalam suatu
sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten, tetapi secara umum tujuan itu
telah tertuang dalam kitab Ta’limul
Muta’alim, dimana tujuan seseorang menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu
adalah semata-mata karena kewajiban Islam yang harus dilakukan secara ikhlas.[15] Selain itu secara
sistematis tujuan pendidikan di pondok pesantren jelas menghendaki produk
lulusan yang mandiri dan berakhlak baik serta bertaqwa, dengan memilahnya
secara tegas antara aspek pendidikan dan pengajaran yang saling mengisi satu
sama lain. Singkatnya, dimensi pendidikan dalam arti membina budi pekerti
santri memperoleh porsi yang seimbang di samping dimensi pengajaran yang
membina dan mengembangkan intelektual santri.
Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran Islam dan
mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.
3. Elemen-elemen Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat.
Sebuah pondok pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok,
masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai.[16]
1.
Pondok
Istilah pondok berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri (pondok) atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu,
atau barangkali berasal dari kata Arab fundug,
yang berarti hotel atau asrama.[17] Keadaan pondok pada masa
kolonial digambarkan Hurgronje sebagaimana dikutip Arifin:
“Pondok terdiri dari dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya
dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiang-tiangnya
terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok
dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian., sehingga santri yang
kebanyakan tidak bersepatu itu dapat
mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.
Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami
bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna dimana didapati sebuah gang
(lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat
kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar
itu orang terpaksa harus membungkuk, cendelanya keci-kecil dan memakai terali.
Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat
tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di
atasnya terletak beberapa kitab”. [18]
Berbeda dengan apa yang dideskripsikan oleh
Hurgronje di atas, dewasa ini keberadaan pondok sebagai tempat tinggal santri
sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa hingga komponen-komponen yang
dimaksudkan semakin lama semakin bertambah dan dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas yang lebih memadahi.
2.
Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan
dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik
para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan
sembahyang Jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.[19]
Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam pondok pesantren merupakan
manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sejak
zaman lahirnya Islam (Nabi Muhammad), masjid telah menjadi pusat pendidikan
Islam.
Para kiai selalu mengajar murid-muridnya (santri)
di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk
menanamkan disiplin kepada santri dalam mengerjakan sholat lima waktu,
memperoleh pengetahuan agama dan
kewajiban agama yang lain. Oleh karena itu, masjid merupakan elemen
penting dari sebuah pondok pesantren.
3.
Santri
Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan.[20] Santri merupakan sebutan
bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren, para santri tinggal
dalam pondok yang menyerupai asrama biara, dan disana mereka memasak dan
mencuci pakaiannya sendiri, mereka belajar tanpa terikat waktu sebab mereka
mengutamakan beribadah, termasuk belajarpun dianggap sebagai ibadah.[21]
Dhofier membagi santri menjadi dua kelompok sesuai
dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:
1.
Santri mukim, yaitu murid-murid
yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren.
2.
Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti
pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri.[22]
Perbedaan antara pondok pesantren besar dan pondok
pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santrinya. Sebuah pondok pesantren
besar, memiliki santri mukim yang lebih banyak, sedangkan pondok pesantren
kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri mukim.
4.
Pengajaran kitab-kitab Islam
klasik
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pondok
pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul
istilah ini belum diketahui secara pasti. Menurut Nasuha sebagaimana dikutip
oleh Arifin, penyebutan batasan term
kitab kuning, mungkin membatasi dengan tahun karangan, ada yang membatasi
dengan madzab teologi, ada yang membatasi dengan istilah mu’tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan
disebabkan oleh warna kertas dari kitab-kitab tersebut berwarna kuning, tetapi
argumen ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah
banyak dicetak dengan memakai kertas putih yang umum dipakai di dunia
percetakan.[23]
Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren
dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits; 5.
tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. cabang-cabang ilmu lain
seperti tarikh dan balaghah.[24]
Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi
(aspek)yang tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat
mata uang, antar satu sisi dengan sisi lainnya yang saling terkait erat.[25] Kitab kuning sebagai salah
satu unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam
proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada diri
santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok pesantren
menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu unsur yang
membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai, santri, masjid
dan pondok.
5.
Kiai
Kata kiai bukan berasal dari bahasa Arab melainkan
dari bahasa Jawa. Dalam terminologi Jawa, kata kiai memiliki makna sesuatu yang
diyakini memiliki tuah atau keramat.[26]
Artinya segala sesuatu yang memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan
dibandingkan yang lain, dalam terminologi Jawa dapat dikategorikan kiai.[27] Namun pengertian yang lebih
luas di Indonesia, sebutan kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin
pondok pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya
untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan
Islam melalui kegiatan keagamaan.[28] Di Jawa Barat mereka
disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan
Jawa Timur disebut Kiai, dan di Madura
disebut Mak Kyiae, Bendara atau Nun.[29] Sedangkan Ali Maschan Moesa sebagaimana dikutip Qomar mencatat, di
Aceh disebut Tengku, di Sumatera
Utara/Tapanuli disebut Syaikh, di
Minangkabau disebut Buya, di Nusa
Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.[30]
Di lingkungan pondok pesantren, keberadaan kiai
sangat signifikan. Segala bentuk pemikiran, tindak tanduk, dan perilaku kiai
dipandang selalu benar serta menjadi figur teladan bagi santri. Kiai kemudian
memiliki otoritas dan kharisma yang memuncak, dimana ketaatan santri menjadi
sesuatu yang sangat niscaya.
Kiai di mata santri lebih dari sekedar guru dalam
pengertian modern yang dikenal saat ini. Kiai adalah sosok yang dicontoh segala
perilakunya dan digali ilmunya. Bahkan dalam konteks pondok pesantren, kiai
berwujud sebagai raja-raja kecil yang memiliki otoritas penuh terhadap pondok
pesantren dan santri. Suara kiai adalah titah yang wajib ditaati, karena dalam
tradisi pondok pesantren kiai bukan
hanya figur spiritual yang memiliki titisan “pewaris para nabi”, tetapi
juga sebagai simbol penguasa kecil yang sangat otokratif terhadap masyarakat
pesantren. Kepatuhan dan ketundukan terhadap kiai dalam segala hal, baik qaulan, fi’lan, dan taqrirannya merupakan fakta ketundukan dalam kehidupan masyarakat
pesantren.[31]
4. Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai
yang dibantu santri dan masyarakat, sehingga memiliki berbagai bentuk. Selama
ini belum pernah terjadi, dan barangkali cukup sulit terjadi penyeragaman
pesantren dalam skala nasional. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat
perbedaan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang
mengelilinginya.[32]
Sejak awal pertumbuhannya, pondok pesantren
memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang
berlaku bagi pondok pesantren. Menurut M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, dilihat dari segi kurikulum dan
materi yang diajarkan, pondok pesantren dapat digolongkan ke dalam empat tipe,
yaitu:
1.
Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga
memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMU, dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng
Jombang dan Pesantren Syafi’iyyah Jakarta;
2.
Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski
tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan
Darul Rahman Jakarta;
3.
Pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD), seperti Pesantren Lirboyo
Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang;
4.
Pesantren yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian.[33]
Sementara
Sulaiman memandang dari perspektif tingkat kemajuan dan kemodernan,
kemudian membagi pondok pesantren ke dalam dua tipe, yaitu:
Pertama, pesantren modern yang ciri utamanya adalah: (1)
gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif;
(2) program pendidikannya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum; (3) materi pendidikan agama
bersumber dari kitab-kitab klasik dan nonklasik; (4) pelaksanaan pendidikan
lebih banyak menggunakan metode-metode pembelajaran modern dan inovatif; (5) hubungan antara kiai dan
santri cenderung bersifat personal dan koligial;
(6) kehidupan santri bersifat individualistik
dan kompetitif. Kedua, pesantren tradisional yaitu pesantren yang masih
terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa karakteristik tipe pesantren
ini adalah: (1) sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada di tangan kiai
sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren; (2) hanya mengajarkan
pengetahuan agama (Islam); (3) materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab
berbahasa Arab klasik atau biasa disebut kitab
kuning; (4) menggunakan sistem
pendidikan tradisional, seperti sistem weton,
atau bandongan dan sorogan; (5) hubungan antara kiai,
ustadz, dan santri bersifat hirarkis;
(6) kehidupan santri cenderung bersifat komunal
dan egaliter.[34]
Sedangkan Dhofier yang melihat pondok pesantren
berdasarkan keterbukaanya terhadap perubahan-perubahan sosial,
mengelompokkannya dalam dua kategori, yaitu:
1.
Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk
memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk
lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
2.
Pesantren Khalafi yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam
madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum
dalam lingkungan pesantren.[35]
Demikian
berbagai macam tipologi pondok pesantren di Indonesia yang bentuknya sangat
heterogen.
5. Sistem Pendidikan Pondok
Pesantren
Sistem pendidikan di pondok pesantren sangat erat hubungannya
dengan tipologi maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri.
Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pondok pesantren di
Indonesia pada umumnya menggunakan sistem pendidikan yang bersifat tradisional,
namun ada juga pondok pesantren yang melakukan inovasi dalam mengembangkan
sistem pendidikannya menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih modern.
1)
Sistem pendidikan tradisional
Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat
dari pola pengajaran yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama
yang ditulis para ulama zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut
dengan istilah “Kitab kuning”.[36]
Sementara metode-metode yang digunakan dalam sistem pendidikan tradisional
terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan, metode muhawaroh,
metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.[37]
a)
Metode sorogan
Mengenai metode sorogan,
Arifin berpendapat:
Metode sorogan secara umum
adalah metode pengajaran yang bersifat individual, dimana santri satu persatu
datang menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu
beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. Seusai kiai
membaca, santri mengulangi ajaran kiai itu. Setelah ia dianggap cukup, maju
santri yang lain, demikian seterusnya.[38]
Melalui metode sorogan,
perkembangan intelektual santri dapat dirangkap kiai secara utuh. Kiai dapat
memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan
pengajaran kepada santri-santri atas dasar observasi langsung terhadap tingkat
kemampuan dasar dan kapasitas mereka.[39]
Akan tetapi metode sorogan merupakan
metode yang paling sulit dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab metode
ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.[40]
Penerapan metode sorogan juga menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Di samping
itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama, yang brarti pemborosan,
kurang efektif dan efisien.[41]
b)
Metode wetonan atau bandongan
Metode wetonan
atau sering juga disebut bandongan
merupakan metode yang paling utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pondok
pesantren. Metode wetonan (bandongan)
adalah metode pengajaran dengan cara seorang guru membaca, menerjemahkan,
menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab, sedangkan
murid (santri) memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik
arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.[42]
c)
Metode muhawaroh
Metode muhawaroh
atau metode yang dalam bahasa Inggris disebut dengan conversation ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab
yang diwajibkan bagi semua santri selama mereka tinggal di pondok pesantren.[43]
d)
Metode mudzakaroh
Berbeda dengan metode muhawaroh, metode mudzakaroh
merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah
seperti ibadah (ritual) dan aqidah (theologi)
serta masalah agama pada umumnya.[44]
e)
Metode majelis ta’lim
Metode majelis
ta’lim adalah suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan
terbuka, yang dihadiri jama’ah yang memiliki berbagai latar belakang
pengetahuan, jenis usia dan jenis kelamin.[45]
Pengajian melalui majelis ta’lim
hanya dilakukan pada waktu tertentu, tidak setiap hari sebagaimana pengajian
melalui wetonan maupun bandongan, selain itu pengajian ini
tidak hanya diikuti oleh santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat sekitar pondok pesantren yang tidak
memiliki kesempatan untuk mengikuti pengajian setiap hari, sehingga dengan
adanya pengajian ini dapat menjalin hubungan yang akrab antara pondok pesantren
dan masyarakat sekitar.[46]
2)
Sistem pendidikan modern
Dalam perkembangan pondok pesantren tidaklah
semata-mata tumbuh pola lama yang bersifat tradisional, melainkan dilakukan
suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem, yaitu sistem yang modern. Namun
bukan berarti dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang modern lantas
meniadakan sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini sudah mengakar
kuat dalam diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern merupakan
penyempurna dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada. Atau dengan kata
lain, memadukan antara tradisi dan modernitas untuk mewujudkan sistem
pendidikan sinergik. Dalam gerakan pembaruan tersebut, pondok pesantren
kemudian mulai mengembangkan metode pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal), sistem kursus
(takhasus), dan sistem pelatihan.[47]
a)
Sistem klasikal
Menurut Ghazali sebagaimana dikutip Maunah, sistem klasikal adalah sistem yang penerapannya
dengan mendirikan sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama
maupun ilmu yang dimasukkan dalam kategori umum dalam arti termasuk disiplin
ilmu-ilmu kauni (“ijtihad”-hasil
perolehan/pemikiran manusia) yang berbeda dengan ajaran yang sifatnya tauqifi (dalam arti kata langsung
ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).[48]
b)
Sistem kursus (takhasus)
Sistem kursus (takhasus)
adalah sistem yang ditekankan pada pengembangan keterampilan tangan yang
menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti kursus menjahit,
mengetik, komputer, dan sablon. Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada
terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang
mereka terima dari kiai melalui pengajaran sorogan
dan wetonan.[49]
c)
Sistem pelatihan
Sitem pelatihan adalah sistem yang menekankan pada
kemampuan psikomotorik dengan menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan
pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan
yang mendukung terciptanya kemandirian integratif.[50]
B. Tentang Mutu Pendidikan Islam
1. Pengertian Mutu Pendidikan Islam
Penggunaan kata
mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Dalam dunia bisnis, baik yang
bersifat produksi maupun jasa, mutu merupakan program utama, sebab kelanggengan
dan kemajuan usaha sangat ditentukan oleh mutu sesuai dengan permintaan dan
tuntutan pengguna. Namun dewasa ini, mutu bukan hanya menjadi masalah dan
kepedulian dalam bidang bisnis, melainkan juga dalam bidang-bidang lainnya
termasuk dalam bidang pendidikan.[51]
Mutu pendidikan merupakan salah satu tolok ukur
yang menentukan martabat atau kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, bangsa yang maju akan selalu menaruh perhatian besar
terhadap dunia pendidikan, dengan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikannya.
Dalam dunia pendidikan, mutu
merupakan agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang paling penting,
terlebih-lebih bagi pendidikan Islam. Pengertian mutu sendiri adalah sebuah
proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan.[52]
Sementara, mutu pendidikan Islam secara umum dapat didefinisikan sebagai
gambaran dan karakteristik menyeluruh dari diri pendidikan Islam yang
menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan oleh
masyarakat.[53]
Kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat adalah berupa lulusan atau output yang dapat bersaing dalam
kehidupan yang semakin kompetitif, serta memiliki ketrampilan (skill) yang justru merupakan tuntutan
dan kebutuhan pasar dewasa ini.
Oleh karena itu, mutu pendidikan Islam adalah sesuatu yang harus diprioritaskan, sebab apabila mutu pendidikan
tinggi maka output yang dihasilkan
akan berkualitas dan akan memainkan peran penting sebagai pemimpin umat,
masyarakat dan bangsa. Sebaliknya, apabila mutu pendidikan rendah, maka
kemungkinan output yang dihasilkan
untuk berperan dalam percaturan bangsa akan menjadi amat kecil, bahkan bisa
jadi mereka akan menjadi bagian problem masyarakat dan bukan bagian dari
penyelesaiannya. [54]
2. Penyebab Rendahnya Mutu
Pendidikan Islam
Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui
pendidikan yang bermutu unggul. Dari sistem pendidikan yang unggul inilah akan
muncul generasi dan budaya yang unggul pula.[55] Namun demikian, munculnya
globalisasi telah menambah masalah baru bagi dunia pendidikan. Permasalahan ini
terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia , termasuk pendidikan Islam
yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Pendidikan Islam terjebak
dalam lingkaran yang tak kunjung selesai, terutama mengenai masalah rendahnya
mutu pendidikan Islam.
Rendahnya mutu pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya adalah: penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat
untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight),
kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan teknologi.[56]
Sementara itu menurut Syafaruddin, faktor yang menyebabkan mutu pendidikan
rendah adalah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri,
yakni pada faktor kurikulum, sumberdaya ketenagaan, sarana dan fasilitas,
manajemen, pembiayaan pendidikan, dan kepemimpinan merupakan faktor yang perlu
dicermati. Di samping itu, faktor eksternal berupa: ekonomi tak berpihak
terhadap pendidikan, sosial budaya, serta rendahnya pemanfaatan sains dan
teknologi.[57] Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak
untuk melakukan inovasi yang menuntut perombakan untuk dapat mewujudkan
pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
C. Upaya Pondok Pesantren Dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
yang pada awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, pondok pesantren juga memberikan andil yang
cukup besar dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia
terutama dalam pendidikan Islam. Lembaga inilah yang telah memainkan peran aktif dalam upaya mencerdaskan bangsa
melalui pendidikan yang diselenggarakannya.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pondok
pesantren dituntut untuk melakukan perubahan dalam proses pendidikannya
sehingga para lulusan atau output yang
dihasilkan oleh pondok pesantren dapat berfungsi secara efektif dan efisien
dalam kehidupan masyarakat global. Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dan
penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas itulah akhirnya mensyaratkan
pondok pesantren untuk terus meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu
akademik maupun mutu non-akademiknya dengan berbagai upaya.
1. Upaya Pondok Pesantren Dalam
Meningkatkan Mutu Akademik Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan mutu akademik di sini adalah
prestasi dalam bidang pengetahuan akademik keagamaan (religious academic achievement).[58]
Output yang dihasilkan akan memiliki
wawasan keislaman yang luas dan kemampuan keislaman lainnya secara baik. Tanpa output tersebut, pondok pesantren akan
kehilangan jati dirinya sebagai benteng pendidikan agama Islam.[59]
Adapun upaya yang dilakukan oleh pondok pesantren
dalam meningkatkan mutu akademik adalah melalui:
1)
Transformasi kurikulum (materi)
pendidikan pondok pesantren
Menurut Madjid, dalam aspek
kurikulum terlihat bahwa pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren,
bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata
pelajarannya meliputi fiqh (paling
utama), aqa’id, nahwu-sharaf (juga
mendapat kedudukan penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat serta rasa agama (religiusitas) yang merupakan
inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung terabaikan, hanya dipelajari sambil
lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih
berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu-sharafnya
serta bahasa Arabnya.[60] Oleh karena itu sudah
selayaknya jika pondok pesantren mulai memasukkan buku-buku agama Islam yang
berisi pembaharuan pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke
dalam kurikulumnya untuk dipelajari para santri dalam bentuk kegiatan belajar,
sehingga pada perkembangan selanjutnya kehidupan pesantren lebih terbuka
terhadap unsur luar yang datang pada dirinya.[61]
2)
Transformasi metode pembelajaran
pondok pesantren
Dalam serangkaian sistem
pengajaran, metode menempati urutan sesudah materi (kurikulum). Penyampaian
materi tidak akan berarti apapun tanpa melibatkan metode, akan tetapi metode
hanya sebagai alat, bukan tujuan. Bila kiai atau ustadz mampu memilih metode
dengan tepat dan mampu menggunakannya dengan baik, maka mereka memiliki harapan
besar terhadap hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan.[62]
Untuk menghadapi perkembangan
metode yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, berbagai metode
pendidikan pesantren yang bersifat tradisional perlu disempurnakan. Perlu
diadakan penelitian yang seksama terhadap efektifitas, efesiensi, dan relevansi
metode-metode tersebut untuk menemukan kelemahan dan keunggulannya. Segi
kelemahannya diperbaiki sedangkan segi keunggulannya dipertahankan.[63] Dengan tetap mempertahankan
ciri khas dan keaslian yang sudah ada seperti metode sorogan dan bandongan,
pondok pesantren juga perlu mengadopsi sistem klasikal yang diselenggarakan dalam bentuk pendidikan non formal
berupa madrasah diniyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan mengunakan sistem klasikal (madrasi) ini adalah sebagai
upaya untuk mempermudah pengajaran dengan menggunakan sistem bandongan dan sorogan.[64]
Pondok pesantren yang melakukan
pemaduan atau kombinasi berbagai metode (lama dan baru) dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah,
tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses
belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest akibat aplikasi berbagai metode
secara kombinatif. Maka pondok pesantren tidak lagi dipandang anti kemajuan dan
sarang kebekuan, melainkan telah tumbuh dinamika metodik yang memberikan warna
baru bagi kehidupannya.[65]
3)
Peningkatan kualitas guru
(ustadz/ustadzah)
Pondok pesantren memiliki sistem
pembelajaran yang unik, guru yang mengajar di pondok pesantren disebut ustadz
(laki-laki) dan ustadzah (perempuan). Ketaatan santri terhadap guru/ustadz
sangat kental, oleh karena itu peranan ustadz dalam pengembangan kualitas
santri sangat dominan. Reformasi keilmuan pondok pesantren tidak hanya
membutuhkan kesungguhan, kesabaran, keuletan, ketangguhan, dan perbaikan terus
menerus, melainkan juga membutuhkan sumberdaya manusia yang terlatih, terdidik
serta memiliki integritas, kredibilitas, serta profesionalisme dibidangnya.[66] Dalam hal ini tentunya
melibatkan guru/ustadz secara langsung sebagai subyek pendidikan.
Di tengah persaingan mutu
pendidikan secara nasional dan global, maka menjadi kebutuhan mendesak bagi
penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren yang harus didukung oleh
tersedianya guru/ustadz secara memadai baik secara kualitatif (profesional) dan
kuantitatif (proporsional). Hal ini ditunjukkan oleh penguasaan para
guru/ustadz di pondok pesantren tidak hanya terhadap isi bahan pelajaran yang
diajarkan, tetapi juga tehnik-tehnik mengajar baru yang lebih baik.[67]
Menyadari akan pentingnya
penguasaan terhadap dua hal di atas, diharapkan para pengasuh/pemimpin pondok
pesantren untuk mengupayakan peningkatan kualitas para guru/ustadz dengan
pendekatan dan cara-cara yang cocok di pondok pesantren, diantaranya melalui:
restrukturisasi guru/ustadz, peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar
guru/ustadz, pelatihan melalui teknik-teknik team teaching, mentoring, dan coaching[68],
atau bisa juga dengan melalui bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah sedehana seperti
seminar (halaqoh).[69]
2. Upaya Pondok Pesantren Dalam
Meningkatkan Mutu Non-Akademik Pendidikan Islam
Mutu non-akademik merupakan kualitas yang
ditekankan pada pengembangan
keterampilan atau kecakapan hidup (life
skill achievement) [70],
yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik peserta didik (santri), misalnya menjahit, membuat
kerajinan tangan, dan sebagainya. Sebagian besar pondok pesantren telah
membekali santri-santrinya dengan keterampilan hidup (life skill) sebagai bekal hidup mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain setelah ia lepas dari pendidikan pondok pesantren.
Dalam meningkatkan mutu non-akademik ini pondok
pesantren melakukan berbagai upaya antara lain:
1)
Pelatihan bersifat praktis
Pelatihan yang bersifat praktis
merupakan pelatihan yang berorientasi pada praktik langsung, yaitu dengan
melibatkan peserta didik (santri) secara langsung untuk terjun di lapangan,
misalnya menjahit, membuat kerajinan tangan, pertukangan, perkebunan, dan lain
sebagainya. Pelaksanaan pelatihan yang bersifat praktis ini menekankan pada
kemampuan psikomotorik santri yang dapat mendukung terciptanya kemandirian
integratif.
2)
Penyediaan sarana dan prasarana
Pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang lahir dari dana yang bersifat swadaya, atau hanya
dibiayai oleh pendirinya saja.[71] Dengan menyandarkan diri
kepada Allah SWT, para kiai pondok pesantren memulai pendidikan pesantrennya
dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimat-Nya, didukung dengan
sarana dan prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pondok pesantren,
tidak tergantung kepada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya.[72]
Sejak dahulu di lingkungan pondok
pesantren telah terkenal dengan pendidikan lingkungan hidupnya, yang bertujuan membekali para
santrinya dengan berbagai keterampilan hidup (life skill) sebagai bekal hidup mandiri dan tidak tergantung pada
orang lain setelah ia lepas dari pendidikan pondok pesantren. Oleh karena itu,
untuk mendukung terlaksananya kegiatan
ini, maka dari pihak pesantren harus menyediakan sarana dan prasarana yang
menunjang, misalnya mesin jahit, alat-alat pertanian, alat-alat pertukangan,
dan lain sebagainya. Dengan keterbatasan atau bahkan tidak adanya sarana dan
prasarana yang dibutuhkan tersebut maka akan membawa akibat sulitnya tercapai
tujuan yang dikehendaki.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari
komplek yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik), yang mengajar dan
mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid yang
digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan
adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri. tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran
Islam dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat.
Sebuah pondok pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok,
masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai. Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren
dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits; 5.
tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. cabang-cabang ilmu lain
seperti tarikh dan balaghah. Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek)yang
tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Kitab kuning sebagai
salah satu unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting
dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada
diri santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok
pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu
unsur yang membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai,
santri, masjid dan pondok.
Sejak awal
pertumbuhannya, pondok pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak
ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pondok pesantren. pondok pesantren berdasarkan keterbukaanya
terhadap perubahan-perubahan sosial, dikelompokkan dalam dua kategori,
yaitu:
1. Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan
untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian
bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
2. Pesantren
Khalafi(modern) yang telah memasukkan
pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau
membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Sistem pendidikan di pondok pesantren sangat erat
hubungannya dengan tipologi maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren
itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pondok
pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem pendidikan yang bersifat
tradisional, namun ada juga pondok pesantren yang melakukan inovasi dalam
mengembangkan sistem pendidikannya menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih
modern. Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola
pengajaran yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis
para ulama zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah “Kitab kuning”. Sementara metode-metode
yang digunakan dalam sistem pendidikan tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan,
metode muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.
Dalam perkembangan pondok
pesantren tidaklah semata-mata tumbuh pola lama yang bersifat tradisional,
melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem, yaitu sistem
yang modern. Namun bukan berarti dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang
modern lantas meniadakan sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini
sudah mengakar kuat dalam diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern
merupakan penyempurna dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada. Atau
dengan kata lain, memadukan antara tradisi dan modernitas untuk mewujudkan
sistem pendidikan sinergik. Dalam gerakan pembaruan tersebut, pondok pesantren
kemudian mulai mengembangkan metode pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal), sistem kursus
(takhasus), dan sistem pelatihan.
Rendahnya mutu pendidikan Islam
dewasa ini, disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah: penguasaan
sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman
interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan
teknologi. Sementara itu menurut
Syafaruddin, faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah adalah terletak pada
unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni pada faktor kurikulum,
sumberdaya ketenagaan, sarana dan fasilitas, manajemen, pembiayaan pendidikan,
dan kepemimpinan merupakan faktor yang perlu dicermati. Di samping itu, faktor
eksternal berupa: ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya,
serta rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi. Apabila hal ini menjadi fokus,
maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang menuntut
perombakan untuk dapat mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada Maqolah Imam Syafi’i:
“Barang siapa yang ingin
unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di
akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya,
juga harus dengan ilmu”.
(Kitab Ta’lim Muta’alim)
Disamping itu dalam era
globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih
terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan
globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam
aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun
sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim
pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik
pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini
adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana
yang telah dicapai pada zaman klasik.
Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy
Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only
their own religion, know none, those who are not decisively committed to one
faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”.
Pada intinya dengan mengetahui agama,
kita akan mengetahui banyak hal.
Wallahu ‘alam.
Daftar Pustaka
Munir Abdullah. 2010. Catatan
Cinta Seorang Guru. Yogyakarta: Pedagogia.
Binti Maunah. 2009. Tradisi
Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa
Depan. Yogyakarta : Teras.
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren
Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi Jakarta :
Erlangga.
Abdurrahman Wahid. 2001. Menggerakkan
Tradisi: Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LkiS.
H.M.Arifin. 1991. Kapita Selekta
Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Imron Arifin. 1993. Kepemimpinan
Kyai, Kasus: pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.
Ibnu Hajar. 2009. Kiai Di Tengah
Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa. Yogyakarta: IRCisoD.
M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo.
2006. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo.
In’am Sulaiman. 2010. Masa Depan
Pesantren. Malang: Madani.
Arief Furchan. 2004. Transfurmasi
Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
In’am Sulaiman. 2010. Masa Depan
Pesantren. Malang: Madani.
Zainal Arifin Thoha. 2003. Runtuhnya
Singgasana Kiai (NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai).
Yogyakarta: Kutub.
Mastuki HS, dkk. 2003. Manajemen
Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/view/190/179
diakses pada tanggal:13 April 2011,
jam:09.55.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pengertian-mutu-pendidikan-Islam.html.
diakses pada tanggal:13 April 2011, jam:09.28.
diakses pada
tanggal:13 April 2011, jam:09.28
[54] Arief Furchan, Transfurmasi
Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal.35-36.
diakses pada
tanggal:13 April 2011, jam:09.55
No comments:
Post a Comment