Monday, February 5, 2018

Manajemen Mutu Lembaga Pendidikan Islam


Makalah Mahasiswa STAI NU Malang

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan pendidikannya. Tetapi pendidikan di Indonesia sama sekali belum sepenuhnya tersentuh oleh tangan-tangan pemerintah. Output yang dikeluarkan pun tidak seperti apa yang telah menjadi tujuan pendidikan.
Di Indonesia terdapat tiga macam lembaga pendidikan, yaitu sekolah umum, madrasah dan pesantren. Antara madrasah dan sekolah umum tidak banyak perbedaannya. Akan tetapi, lembaga yang satunya yaitu pesantren, adalah lembaga yang jauh berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan diselenggarakan bertujuan untuk  membentuk manusia yang memanusiakan manusia. Artinya, penyelenggaraan pendidikan harus diarahkan pada pembentukan perilaku yang baik. Karena itulah hampir seluruh lembaga pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia ini terdapat muatan materi tentang akhlakul karimah. Diharapkan output-output yang dihasilkan nantinya di samping berintelektual tinggi, juga mempunyai budi pekerti yang baik sehingga menjadi teladan bagi masyarakatnya.
B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian dan urgensi Mutu LPI Pesantren?
2.    Bagaimana Tipologi LPI Pesantren?
3.    Bagaimana Purifikasi LPI Pesantren dan Transformasinya?
4.    Bagaimana Sistem LPI Pesantren?
5.    Bagaimana upaya LPI Pesantren dalam meningkatkan Mutunya dalam berbagai bidang?

C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian dan urgensi Mutu LPI Pesantren
2.      Mengetahui Tipologi LPI Pesantren
3.      Mengetahui Purifikasi LPI Pesantren dan Transformasinya
4.      Mengetahui Sistem LPI Pesantren
5.    Mengetahui upaya LPI Pesantren dalam meningkatkan Mutunya dalam berbagai bidang



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tentang Pondok Pesantren
1.      Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mempunyai peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura. Pondok pesantren, jika di aceh disebut rangkang atau meunasah, sedangkan di Sumatra Barat disebut surau.[1]
Istilah pondok pesantren dalam pemahaman sehari-hari kadang-kadang hanya disebut pondok atau pesantren saja dan bisa juga disebut secara bersama-sama, pondok pesantren. Di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren.[2]
Kata pondok berasal dari bahasa Arab “fundug” yang berarti “hotel atau asrama”.[3] Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti “tempat tinggal para santri”.[4]
Sedangkan pondok pesantren menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut :

1)      M.Arifin sebagaimana dikutip oleh Qomar:
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.[5]

2)      Abrurrahman Wahid
Pondok pesantren adalah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam komplek itu terdiri beberapa buah bangunan: rumah pengasuh, sebuah surau atau masjid, dan asrama tempat tinggal santri.[6]

3)      Zamakhsyari Dhofier
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.[7]
Berangkat dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari komplek yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik), yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri.

2.      Tujuan Pondok Pesantren
Tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai sesuatu yang dikehendaki, tanpa adanya suatu tujuan yang jelas maka roda perjalanan sebuah lembaga tidak akan berjalan dengan baik, termasuk dalam lembaga pondok pesantren. Ironisnya, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik dalam tataran institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus. Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan.[8]   Selama ini memang belum pernah ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren.[9] Akibatnya, beberapa penulis merumuskan tujuan itu hanya berdasarkan perkiraan (asumsi) dan atau wawancara.[10]
Adapun tujuan pondok pesantren menurut Ziemiek sebagaimana dikutip oleh Qomar adalah “membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan”.[11] Sementara itu Arifin mengemukakan bahwa tujuan pondok pesantren ada 2 yaitu :
a.       Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b.      Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[12]

Sedangkan tujuan institusional pondok pesantren yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pondok pesantren secara nasional pernah diputuskan dalam Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Perkembangan Pondok Pesantren di Jakarta yang berlangsung pada 2 s/d 6 Mei 1978, yang dikutip oleh Qomar:
“Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara”.
Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut:
·         Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga Negara yang berpancasila;
·         Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh,  wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis;
·         Memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan Negara;
·         Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya);
·         Agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual;
·         Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha usaha pembangunan bangsa.[13]
Rumusan tujuan ini adalah yang paling rinci diantara rumusan yang pernah diungkapkan beberapa peneliti di atas, tetapi harapan untuk memberlakukan tujuan tersebut bagi seluruh pesantren rupanya kandas. Kiai-kiai pesantren tidak mentransfer rumusan tersebut secara tertulis sebagai tujuan bagi pesantrennya kendati orientasi pesantren tidak jauh berbeda dengan kehendak tujuan tersebut.[14]
Sekalipun sampai saat ini tujuan pendidikan di pondok pesantren belum dirumuskan secara rinci dan dijabarkan dalam suatu sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten, tetapi secara umum tujuan itu telah tertuang dalam kitab Ta’limul Muta’alim, dimana tujuan seseorang menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu adalah semata-mata karena kewajiban Islam yang harus dilakukan secara ikhlas.[15] Selain itu secara sistematis tujuan pendidikan di pondok pesantren jelas menghendaki produk lulusan yang mandiri dan berakhlak baik serta bertaqwa, dengan memilahnya secara tegas antara aspek pendidikan dan pengajaran yang saling mengisi satu sama lain. Singkatnya, dimensi pendidikan dalam arti membina budi pekerti santri memperoleh porsi yang seimbang di samping dimensi pengajaran yang membina dan mengembangkan intelektual santri.
Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.

3.      Elemen-elemen Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat. Sebuah pondok pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai.[16]
1.                  Pondok
Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri (pondok) atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama.[17] Keadaan pondok pada masa kolonial digambarkan Hurgronje sebagaimana dikutip Arifin:
“Pondok terdiri dari dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiang-tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian., sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu  dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.  Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna dimana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang terpaksa harus membungkuk, cendelanya keci-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa kitab”. [18]

Berbeda dengan apa yang dideskripsikan oleh Hurgronje di atas, dewasa ini keberadaan pondok sebagai tempat tinggal santri sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa hingga komponen-komponen yang dimaksudkan semakin lama semakin bertambah dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lebih memadahi.
2.                  Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.[19] Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam pondok pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sejak zaman lahirnya Islam (Nabi Muhammad), masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam.
Para kiai selalu mengajar murid-muridnya (santri) di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin kepada santri dalam mengerjakan sholat lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan  kewajiban agama yang lain. Oleh karena itu, masjid merupakan elemen penting dari sebuah pondok pesantren.
3.                  Santri
Santri merupakan peserta didik atau objek pendidikan.[20] Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren, para santri tinggal dalam pondok yang menyerupai asrama biara, dan disana mereka memasak dan mencuci pakaiannya sendiri, mereka belajar tanpa terikat waktu sebab mereka mengutamakan beribadah, termasuk belajarpun dianggap sebagai ibadah.[21]
Dhofier membagi santri menjadi dua kelompok sesuai dengan tradisi pesantren yang diamatinya, yaitu:
1.      Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren.
2.      Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri.[22]
Perbedaan antara pondok pesantren besar dan pondok pesantren kecil dapat dilihat dari komposisi santrinya. Sebuah pondok pesantren besar, memiliki santri mukim yang lebih banyak, sedangkan pondok pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri  kalong daripada santri mukim.
4.                  Pengajaran kitab-kitab Islam klasik
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pondok pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab-kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Menurut Nasuha sebagaimana dikutip oleh Arifin, penyebutan batasan term kitab kuning, mungkin membatasi dengan tahun karangan, ada yang membatasi dengan madzab teologi, ada yang membatasi dengan istilah mu’tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan disebabkan oleh warna kertas dari kitab-kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumen ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan memakai kertas putih yang umum dipakai di dunia percetakan.[23] 
Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits; 5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. cabang-cabang ilmu lain seperti tarikh dan balaghah.[24]
Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek)yang tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat mata uang, antar satu sisi dengan sisi lainnya yang saling terkait erat.[25] Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada diri santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu unsur yang membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai, santri, masjid dan pondok.
5.                  Kiai
Kata kiai bukan berasal dari bahasa Arab melainkan dari bahasa Jawa. Dalam terminologi Jawa, kata kiai memiliki makna sesuatu yang diyakini memiliki tuah atau keramat.[26] Artinya segala sesuatu yang memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan dibandingkan yang lain, dalam terminologi Jawa dapat dikategorikan kiai.[27] Namun pengertian yang lebih luas di Indonesia, sebutan kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pondok pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan keagamaan.[28] Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kiai, dan di Madura disebut Mak Kyiae, Bendara atau Nun.[29] Sedangkan Ali Maschan Moesa sebagaimana dikutip Qomar mencatat, di Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru.[30]
Di lingkungan pondok pesantren, keberadaan kiai sangat signifikan. Segala bentuk pemikiran, tindak tanduk, dan perilaku kiai dipandang selalu benar serta menjadi figur teladan bagi santri. Kiai kemudian memiliki otoritas dan kharisma yang memuncak, dimana ketaatan santri menjadi sesuatu yang sangat niscaya.
Kiai di mata santri lebih dari sekedar guru dalam pengertian modern yang dikenal saat ini. Kiai adalah sosok yang dicontoh segala perilakunya dan digali ilmunya. Bahkan dalam konteks pondok pesantren, kiai berwujud sebagai raja-raja kecil yang memiliki otoritas penuh terhadap pondok pesantren dan santri. Suara kiai adalah titah yang wajib ditaati, karena dalam tradisi pondok pesantren kiai bukan  hanya figur spiritual yang memiliki titisan “pewaris para nabi”, tetapi juga sebagai simbol penguasa kecil yang sangat otokratif terhadap masyarakat pesantren. Kepatuhan dan ketundukan terhadap kiai dalam segala hal, baik qaulan, fi’lan, dan taqrirannya merupakan fakta ketundukan dalam kehidupan masyarakat pesantren.[31]

4.      Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, sehingga memiliki berbagai bentuk. Selama ini belum pernah terjadi, dan barangkali cukup sulit terjadi penyeragaman pesantren dalam skala nasional. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.[32]
Sejak awal pertumbuhannya, pondok pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pondok pesantren. Menurut M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, dilihat dari segi kurikulum dan materi yang diajarkan, pondok pesantren dapat digolongkan ke dalam empat tipe, yaitu:
1.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMU, dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren Syafi’iyyah Jakarta;
2.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti Pesantren Gontor Ponorogo dan Darul Rahman Jakarta;
3.      Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD), seperti Pesantren Lirboyo Kediri dan Pesantren Tegalrejo Magelang;
4.      Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian.[33] 
Sementara  Sulaiman memandang dari perspektif tingkat kemajuan dan kemodernan, kemudian membagi pondok pesantren ke dalam dua tipe, yaitu:
 Pertama, pesantren modern yang ciri utamanya adalah: (1) gaya kepemimpinan pesantren cenderung korporatif; (2) program pendidikannya berorientasi pada pendidikan keagamaan dan pendidikan umum; (3)  materi pendidikan agama bersumber dari kitab-kitab klasik dan nonklasik; (4) pelaksanaan pendidikan lebih banyak menggunakan metode-metode pembelajaran modern dan inovatif; (5) hubungan antara kiai dan santri cenderung bersifat personal dan koligial; (6) kehidupan santri bersifat individualistik dan kompetitif. Kedua, pesantren tradisional yaitu pesantren yang masih terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama. Beberapa karakteristik tipe pesantren ini adalah: (1) sistem pengelolaan pendidikan cenderung berada di tangan kiai sebagai pemimpin sentral, sekaligus pemilik pesantren; (2) hanya mengajarkan pengetahuan agama (Islam); (3) materi pendidikan bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab klasik atau biasa disebut kitab kuning; (4) menggunakan sistem pendidikan tradisional, seperti sistem weton, atau bandongan dan sorogan; (5) hubungan antara kiai, ustadz, dan santri bersifat hirarkis; (6) kehidupan santri cenderung bersifat komunal dan egaliter.[34]
Sedangkan Dhofier yang melihat pondok pesantren berdasarkan keterbukaanya terhadap perubahan-perubahan sosial, mengelompokkannya dalam dua kategori, yaitu:
1.      Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
2.      Pesantren Khalafi yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.[35]
      Demikian berbagai macam tipologi pondok pesantren di Indonesia yang bentuknya sangat heterogen.

5.      Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan di pondok pesantren sangat erat hubungannya dengan tipologi maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pondok pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem pendidikan yang bersifat tradisional, namun ada juga pondok pesantren yang melakukan inovasi dalam mengembangkan sistem pendidikannya menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih modern.

1)      Sistem pendidikan tradisional
Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis para ulama zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah “Kitab kuning”.[36] Sementara metode-metode yang digunakan dalam sistem pendidikan tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan, metode muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.[37]
a)      Metode sorogan
Mengenai metode sorogan, Arifin berpendapat:
Metode sorogan secara umum adalah metode pengajaran yang bersifat individual, dimana santri satu persatu datang menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. Seusai kiai membaca, santri mengulangi ajaran kiai itu. Setelah ia dianggap cukup, maju santri yang lain, demikian seterusnya.[38]
Melalui metode sorogan, perkembangan intelektual santri dapat dirangkap kiai secara utuh. Kiai dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.[39] Akan tetapi metode sorogan merupakan metode yang paling sulit dari sistem pendidikan Islam tradisional, sebab metode ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid.[40]
Penerapan metode sorogan juga menuntut kesabaran dan keuletan pengajar. Di samping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu yang lama, yang brarti pemborosan, kurang efektif dan efisien.[41]
b)      Metode wetonan atau bandongan
Metode wetonan atau sering juga disebut bandongan merupakan metode yang paling utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pondok pesantren. Metode wetonan (bandongan) adalah metode pengajaran dengan cara seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab, sedangkan murid (santri) memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.[42]
c)      Metode muhawaroh
Metode muhawaroh atau metode yang dalam bahasa Inggris disebut dengan conversation ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab yang diwajibkan bagi semua santri selama mereka tinggal di pondok pesantren.[43]
d)      Metode mudzakaroh
Berbeda dengan metode muhawaroh, metode mudzakaroh merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah (ritual) dan aqidah (theologi) serta masalah agama pada umumnya.[44]
e)      Metode majelis ta’lim
Metode majelis ta’lim adalah suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka, yang dihadiri jama’ah yang memiliki berbagai latar belakang pengetahuan, jenis usia dan jenis kelamin.[45] Pengajian melalui majelis ta’lim hanya dilakukan pada waktu tertentu, tidak setiap hari sebagaimana pengajian melalui wetonan maupun bandongan, selain itu pengajian ini tidak hanya diikuti oleh santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat sekitar pondok pesantren yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pengajian setiap hari, sehingga dengan adanya pengajian ini dapat menjalin hubungan yang akrab antara pondok pesantren dan masyarakat sekitar.[46]

2)      Sistem pendidikan modern
Dalam perkembangan pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh pola lama yang bersifat tradisional, melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem, yaitu sistem yang modern. Namun bukan berarti dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang modern lantas meniadakan sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini sudah mengakar kuat dalam diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern merupakan penyempurna dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada. Atau dengan kata lain, memadukan antara tradisi dan modernitas untuk mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Dalam gerakan pembaruan tersebut, pondok pesantren kemudian mulai mengembangkan metode pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal), sistem kursus (takhasus), dan sistem pelatihan.[47]
a)      Sistem klasikal
Menurut Ghazali sebagaimana dikutip Maunah, sistem klasikal adalah sistem yang penerapannya dengan mendirikan sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmu yang dimasukkan dalam kategori umum dalam arti termasuk disiplin ilmu-ilmu kauni (“ijtihad”-hasil perolehan/pemikiran manusia) yang berbeda dengan ajaran yang sifatnya tauqifi (dalam arti kata langsung ditetapkan bentuk dan wujud ajarannya).[48]
b)      Sistem kursus (takhasus)
Sistem kursus (takhasus) adalah sistem yang ditekankan pada pengembangan keterampilan tangan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti kursus menjahit, mengetik, komputer, dan sablon. Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari kiai melalui pengajaran sorogan dan wetonan.[49]
c)      Sistem pelatihan
Sitem pelatihan adalah sistem yang menekankan pada kemampuan psikomotorik dengan menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian integratif.[50]



B.     Tentang Mutu Pendidikan Islam
1.      Pengertian Mutu Pendidikan Islam
Penggunaan kata mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Dalam dunia bisnis, baik yang bersifat produksi maupun jasa, mutu merupakan program utama, sebab kelanggengan dan kemajuan usaha sangat ditentukan oleh mutu sesuai dengan permintaan dan tuntutan pengguna. Namun dewasa ini, mutu bukan hanya menjadi masalah dan kepedulian dalam bidang bisnis, melainkan juga dalam bidang-bidang lainnya termasuk dalam bidang pendidikan.[51]
Mutu pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang menentukan martabat atau kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, bangsa yang maju akan selalu menaruh perhatian besar terhadap dunia pendidikan, dengan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikannya.
Dalam dunia pendidikan, mutu merupakan agenda utama dan senantiasa menjadi tugas yang paling penting, terlebih-lebih bagi pendidikan Islam. Pengertian mutu sendiri adalah sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan.[52] Sementara, mutu pendidikan Islam secara umum dapat didefinisikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari diri pendidikan Islam yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat.[53] Kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat adalah berupa lulusan atau output yang dapat bersaing dalam kehidupan yang semakin kompetitif, serta memiliki ketrampilan (skill) yang justru merupakan tuntutan dan kebutuhan pasar dewasa ini.
Oleh karena itu, mutu pendidikan Islam adalah sesuatu yang harus diprioritaskan, sebab apabila mutu pendidikan tinggi maka output yang dihasilkan akan berkualitas dan akan memainkan peran penting sebagai pemimpin umat, masyarakat dan bangsa. Sebaliknya, apabila mutu pendidikan rendah, maka kemungkinan output yang dihasilkan untuk berperan dalam percaturan bangsa akan menjadi amat kecil, bahkan bisa jadi mereka akan menjadi bagian problem masyarakat dan bukan bagian dari penyelesaiannya. [54]

2.      Penyebab Rendahnya Mutu Pendidikan Islam 
Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang bermutu unggul. Dari sistem pendidikan yang unggul inilah akan muncul generasi dan budaya yang unggul pula.[55] Namun demikian, munculnya globalisasi telah menambah masalah baru bagi dunia pendidikan. Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai, terutama mengenai masalah rendahnya mutu pendidikan Islam.
Rendahnya mutu pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah: penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan teknologi.[56] Sementara itu menurut Syafaruddin, faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah adalah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni pada faktor kurikulum, sumberdaya ketenagaan, sarana dan fasilitas, manajemen, pembiayaan pendidikan, dan kepemimpinan merupakan faktor yang perlu dicermati. Di samping itu, faktor eksternal berupa: ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, serta rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi.[57]    Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang menuntut perombakan untuk dapat mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.

C.    Upaya Pondok Pesantren Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang pada awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, pondok pesantren juga memberikan andil yang cukup besar dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia terutama dalam pendidikan Islam. Lembaga inilah yang telah memainkan  peran aktif dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui pendidikan yang diselenggarakannya.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, pondok pesantren dituntut untuk melakukan perubahan dalam proses pendidikannya sehingga para lulusan atau output yang dihasilkan oleh pondok pesantren dapat berfungsi secara efektif dan efisien dalam kehidupan masyarakat global. Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dan penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas itulah akhirnya mensyaratkan pondok pesantren untuk terus meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu akademik maupun mutu non-akademiknya dengan berbagai upaya.

1.      Upaya Pondok Pesantren Dalam Meningkatkan Mutu Akademik Pendidikan Islam 
Yang dimaksud dengan mutu akademik di sini adalah prestasi dalam bidang pengetahuan akademik keagamaan (religious academic achievement).[58] Output yang dihasilkan akan memiliki wawasan keislaman yang luas dan kemampuan keislaman lainnya secara baik. Tanpa output tersebut, pondok pesantren akan kehilangan jati dirinya sebagai benteng pendidikan agama Islam.[59]
Adapun upaya yang dilakukan oleh pondok pesantren dalam meningkatkan mutu akademik adalah melalui:
1)      Transformasi kurikulum (materi) pendidikan pondok pesantren
Menurut Madjid, dalam aspek kurikulum terlihat bahwa pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh (paling utama), aqa’id, nahwu-sharaf (juga mendapat kedudukan penting), dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat serta rasa agama (religiusitas) yang merupakan inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung terabaikan, hanya dipelajari sambil lalu saja tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern, bukan fiqh atau ilmu kalamnya apalagi nahwu-sharafnya serta bahasa Arabnya.[60] Oleh karena itu sudah selayaknya jika pondok pesantren mulai memasukkan buku-buku agama Islam yang berisi pembaharuan pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam kurikulumnya untuk dipelajari para santri dalam bentuk kegiatan belajar, sehingga pada perkembangan selanjutnya kehidupan pesantren lebih terbuka terhadap unsur luar yang datang pada dirinya.[61] 
2)      Transformasi metode pembelajaran pondok pesantren
Dalam serangkaian sistem pengajaran, metode menempati urutan sesudah materi (kurikulum). Penyampaian materi tidak akan berarti apapun tanpa melibatkan metode, akan tetapi metode hanya sebagai alat, bukan tujuan. Bila kiai atau ustadz mampu memilih metode dengan tepat dan mampu menggunakannya dengan baik, maka mereka memiliki harapan besar terhadap hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan.[62]
Untuk menghadapi perkembangan metode yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pada umumnya, berbagai metode pendidikan pesantren yang bersifat tradisional perlu disempurnakan. Perlu diadakan penelitian yang seksama terhadap efektifitas, efesiensi, dan relevansi metode-metode tersebut untuk menemukan kelemahan dan keunggulannya. Segi kelemahannya diperbaiki sedangkan segi keunggulannya dipertahankan.[63] Dengan tetap mempertahankan ciri khas dan keaslian yang sudah ada seperti metode sorogan dan bandongan, pondok pesantren juga perlu mengadopsi sistem klasikal yang diselenggarakan dalam bentuk pendidikan non formal berupa madrasah diniyah. Dalam penyelenggaraan pendidikan mengunakan sistem klasikal (madrasi) ini adalah sebagai upaya untuk mempermudah pengajaran dengan menggunakan sistem bandongan dan sorogan.[64]
Pondok pesantren yang melakukan pemaduan atau kombinasi berbagai metode (lama dan baru) dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest akibat aplikasi berbagai metode secara kombinatif. Maka pondok pesantren tidak lagi dipandang anti kemajuan dan sarang kebekuan, melainkan telah tumbuh dinamika metodik yang memberikan warna baru bagi kehidupannya.[65]
3)      Peningkatan kualitas guru (ustadz/ustadzah)
Pondok pesantren memiliki sistem pembelajaran yang unik, guru yang mengajar di pondok pesantren disebut ustadz (laki-laki) dan ustadzah (perempuan). Ketaatan santri terhadap guru/ustadz sangat kental, oleh karena itu peranan ustadz dalam pengembangan kualitas santri sangat dominan. Reformasi keilmuan pondok pesantren tidak hanya membutuhkan kesungguhan, kesabaran, keuletan, ketangguhan, dan perbaikan terus menerus, melainkan juga membutuhkan sumberdaya manusia yang terlatih, terdidik serta memiliki integritas, kredibilitas, serta profesionalisme dibidangnya.[66] Dalam hal ini tentunya melibatkan guru/ustadz secara langsung sebagai subyek pendidikan.
Di tengah persaingan mutu pendidikan secara nasional dan global, maka menjadi kebutuhan mendesak bagi penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren yang harus didukung oleh tersedianya guru/ustadz secara memadai baik secara kualitatif (profesional) dan kuantitatif (proporsional). Hal ini ditunjukkan oleh penguasaan para guru/ustadz di pondok pesantren tidak hanya terhadap isi bahan pelajaran yang diajarkan, tetapi juga tehnik-tehnik mengajar baru yang lebih baik.[67]
Menyadari akan pentingnya penguasaan terhadap dua hal di atas, diharapkan para pengasuh/pemimpin pondok pesantren untuk mengupayakan peningkatan kualitas para guru/ustadz dengan pendekatan dan cara-cara yang cocok di pondok pesantren, diantaranya melalui: restrukturisasi guru/ustadz, peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru/ustadz, pelatihan melalui teknik-teknik team teaching, mentoring, dan coaching[68], atau bisa juga dengan melalui bentuk kegiatan-kegiatan ilmiah sedehana seperti seminar (halaqoh).[69]

2.      Upaya Pondok Pesantren Dalam Meningkatkan Mutu Non-Akademik Pendidikan Islam 
Mutu non-akademik merupakan kualitas yang ditekankan pada  pengembangan keterampilan atau kecakapan hidup (life skill achievement) [70], yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik peserta  didik (santri), misalnya menjahit, membuat kerajinan tangan, dan sebagainya. Sebagian besar pondok pesantren telah membekali santri-santrinya dengan keterampilan hidup (life skill) sebagai bekal hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain setelah ia lepas dari pendidikan pondok pesantren.
Dalam meningkatkan mutu non-akademik ini pondok pesantren melakukan berbagai upaya antara lain:
1)      Pelatihan bersifat praktis
Pelatihan yang bersifat praktis merupakan pelatihan yang berorientasi pada praktik langsung, yaitu dengan melibatkan peserta didik (santri) secara langsung untuk terjun di lapangan, misalnya menjahit, membuat kerajinan tangan, pertukangan, perkebunan, dan lain sebagainya. Pelaksanaan pelatihan yang bersifat praktis ini menekankan pada kemampuan psikomotorik santri yang dapat mendukung terciptanya kemandirian integratif.
2)      Penyediaan sarana dan prasarana
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dana yang bersifat swadaya, atau hanya dibiayai oleh pendirinya saja.[71] Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para kiai pondok pesantren memulai pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimat-Nya, didukung dengan sarana dan prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri pondok pesantren, tidak tergantung kepada sponsor dalam melaksanakan visi dan misinya.[72]
Sejak dahulu di lingkungan pondok pesantren telah terkenal dengan pendidikan lingkungan hidupnya, yang bertujuan membekali para santrinya dengan berbagai keterampilan hidup (life skill) sebagai bekal hidup mandiri dan tidak tergantung pada orang lain setelah ia lepas dari pendidikan pondok pesantren. Oleh karena itu, untuk  mendukung terlaksananya kegiatan ini, maka dari pihak pesantren harus menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang, misalnya mesin jahit, alat-alat pertanian, alat-alat pertukangan, dan lain sebagainya. Dengan keterbatasan atau bahkan tidak adanya sarana dan prasarana yang dibutuhkan tersebut maka akan membawa akibat sulitnya tercapai tujuan yang dikehendaki.

  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pondok Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari komplek yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik), yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana-sarana seperti masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung dengan adanya asrama atau pondok sebagai tempat tinggal para santri. tujuan pendidikan pondok pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta dapat menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan negara.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang tumbuh dan berkembangnya diakui oleh masyarakat. Sebuah pondok pesantren memiliki lima elemen dasar yang terdiri dari: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai. Kitab-kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok, yaitu: 1. nahwu dan shorof; 2. fiqh; 3. ushul fiqh; 4. hadits; 5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika; 8. cabang-cabang ilmu lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek)yang tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada diri santri. Oleh karena itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah pondok pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang sebagai salah satu unsur yang membentuk wujud pondok pesantren itu sendiri, di samping kiai, santri, masjid dan pondok.
Sejak awal pertumbuhannya, pondok pesantren memiliki bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi khusus yang berlaku bagi pondok pesantren.  pondok pesantren berdasarkan keterbukaanya terhadap perubahan-perubahan sosial, dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
1.  Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
2.  Pesantren Khalafi(modern) yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Sistem pendidikan di pondok pesantren sangat erat hubungannya dengan tipologi maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pondok pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem pendidikan yang bersifat tradisional, namun ada juga pondok pesantren yang melakukan inovasi dalam mengembangkan sistem pendidikannya menjadi sebuah sistem pendidikan yang lebih modern. Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis para ulama zaman abad pertengahan, dan kitab-kitab itu disebut dengan istilah “Kitab kuning”. Sementara metode-metode yang digunakan dalam sistem pendidikan tradisional terdiri atas: metode sorogan, metode wetonan atau bandongan, metode muhawaroh, metode mudzakaroh, dan metode majlis ta’lim.
Dalam perkembangan pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh pola lama yang bersifat tradisional, melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem, yaitu sistem yang modern. Namun bukan berarti dengan adanya sistem pendidikan pesantren yang modern lantas meniadakan sistem pendidikan yang tradisional yang selama ini sudah mengakar kuat dalam diri pondok pesantren. Sistem pendidikan modern merupakan penyempurna dari sistem pendidikan tradisional yang sudah ada. Atau dengan kata lain, memadukan antara tradisi dan modernitas untuk mewujudkan sistem pendidikan sinergik. Dalam gerakan pembaruan tersebut, pondok pesantren kemudian mulai mengembangkan metode pengajaran dengan sistem madrasi (sistem klasikal), sistem kursus (takhasus), dan sistem pelatihan.
Rendahnya mutu pendidikan Islam dewasa ini, disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah: penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman interpretasi (insight), kelemahan kelembagaan (organisasi), kelemahan ilmu dan teknologi.  Sementara itu menurut Syafaruddin, faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah adalah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri, yakni pada faktor kurikulum, sumberdaya ketenagaan, sarana dan fasilitas, manajemen, pembiayaan pendidikan, dan kepemimpinan merupakan faktor yang perlu dicermati. Di samping itu, faktor eksternal berupa: ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, serta rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi. Apabila hal ini menjadi fokus, maka pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang menuntut perombakan untuk dapat mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu dan unggul.
Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada Maqolah Imam Syafi’i: Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu”. (Kitab Ta’lim Muta’alim)
Disamping itu dalam era globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.
Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only their own religion, know none, those who are not decisively committed to one faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”. Pada intinya dengan mengetahui agama, kita akan mengetahui banyak hal. Wallahu ‘alam.


Daftar Pustaka
Munir Abdullah. 2010. Catatan Cinta Seorang Guru. Yogyakarta: Pedagogia.
Binti Maunah. 2009. Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan. Yogyakarta : Teras.
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Mujamil Qomar. 2002. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi Jakarta : Erlangga.
Abdurrahman Wahid. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LkiS.
H.M.Arifin. 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Imron Arifin. 1993. Kepemimpinan Kyai, Kasus: pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.
Ibnu Hajar. 2009. Kiai Di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa. Yogyakarta: IRCisoD.
M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo. 2006. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
In’am Sulaiman. 2010. Masa Depan Pesantren. Malang: Madani.
Arief Furchan. 2004. Transfurmasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
In’am Sulaiman. 2010. Masa Depan Pesantren. Malang: Madani.
Zainal Arifin Thoha. 2003. Runtuhnya Singgasana Kiai (NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai). Yogyakarta: Kutub.
Mastuki HS, dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/view/190/179
diakses pada tanggal:13 April 2011, jam:09.55.
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pengertian-mutu-pendidikan-Islam.html. diakses pada tanggal:13 April 2011, jam:09.28.




       [1] Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri Dalam Tantangan dan Hambatan Pendidikan Pesantren di Masa Depan, (Yogyakarta : Teras, 2009), hal.16.
       [2] Ibid., hal.18.
       [3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hal.18.
       [4]  Ibid.
       [5] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2002), hal.2.
       [6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal.3.
       [7] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.44.
        [8]  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.3.
        [9]  Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.25.
       [10] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.3.
       [11] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.4.
       [12] H.M.Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), hal.248.
       [13] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.7.
       [14] Ibid.
       [15] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus:pondok Pesantren Tebuireng, (Malang:Kalimasahada Press, 1993), hal.35.
       [16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.44.
       [17] Ibid., hal.18.
       [18] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.6.
       [19] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.49.
       [20] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.20.
       [21] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.11.
       [22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.51-52.
       [23] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.8-9.
       [24] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.50.
       [25] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.38.
       [26] Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah Pusaran Politik Antara Petaka dan Kuasa, (Yogyakarta: IRCisoD, 2009), hal.20.
       [27] Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah…, hal.20.
       [28] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.13-14.
       [29] Ibid., hal.14.
       [30] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.20.
       [31]  Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah…, hal.19.
       [32]  Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.16.
       [33] M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, (Yogyakarta:LaksBang PRESSindo, 2006), hal.8.
       [34] In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren, (Malang,: Madani, 2010), hal. 4-5.
       [35] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.41.
       [36] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.29.
       [37] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.142.
       [38] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.117.
       [39] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.142-143.
       [40] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.28.
       [41] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.143.
       [42] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, hal.28.
       [43] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.119.
       [44] Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai…, hal.119-120.
       [45] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.147.
       [46] Ibid.
       [47] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.31-32.
       [48] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…,  hal.31
       [49] Ibid.
       [50] Ibid., hal.32.
       [51] Nana Syaodih S., dkk., Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, dan Instrumen), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hal.8.
       [52] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal.75.
diakses pada tanggal:13 April 2011, jam:09.28
[54] Arief Furchan, Transfurmasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal.35-36.
       [55] Nurani Sayomukti, Pendidikan Berperspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal.1.
diakses pada tanggal:13 April 2011, jam:09.55
       [57] Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Konsep, Strategi, dan Aplikasi, (Jakarta: PT.Grasindo, 2002), hal.14.
       [58] M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, Manajemen Pondok…, hal.34.
       [59] Ibid.
       [60] Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.78-79.
       [61] Binti Maunah, Tradisi Intelektual…, hal.33.
       [62] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.141.
       [63] Ibid., hal.82.
       [64] In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren, (Malang: Madani, 2010), hal.6.
       [65] Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi…, hal.150.
       [66] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai (NU, Pesantren dan Kekuasaan: Pencarian Tak Kunjung Usai), (Yogyakarta:Kutub, 2003), hal.44.
       [67] Mastuki HS, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hal.32-33.
       [68] Ibid., hal.33.
       [69] Ibid., hal.36.
       [70] M.Sulthon dan Moh.Khusnuridlo, Manajemen Pondok…, hal.35.
       [71] Yasmadi, Modernisasi Pesantren…, hal.107.
       [72]  Mastuki HS, dkk, Manajemen Pondok..., hal.92.

Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670