Monday, February 5, 2018

Agama Konghucu

Perbandingan Agama Konghucu

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang tercipta sempurna dengan akal, hati, dan perasaan dituntut untuk menjadi seorang khalifah di bumi. Kehidupan di dunia yang dinamis membuat manusia berlalu lalang di dalamnya untuk menjaga keeksisannya di dunia agar bisa survive dan terus mendayagunakan akalnya agar tercipta kesejahteraan bagi dirinya dan lingkungannya. Ilmu dan teknologi memang mampu mencapai segalanya yang di dunia, namun ketika manusia sudah mencapai di titik jenuh ada satu naluri yang harus dicermati dan dikaji lagi yaitu naluri beragama.
Manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu pada dasarnya dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau menghamba pada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi darinya atau menguasainya. Naluri ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an merupakan penyaluran dari dorongan yang berada jauh di alam bawah sadarnya, yaitu dorongan kembali kepada Tuhan.[1]Quraish Shihab menuturkan bahwa tidak mudah mendefinisikan agama ketika sekarang ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.[2]
Tidak bisa dipungkiri, agama berperan penting dalam kehidupan manusia. Ia memberikan ketenangan, solusi, pencerahan maupun kemajuan yang pesat dalam peradaban manusia. Akan tetapi fakta bahwa agama yang ada dunia sangat banyak sekali dan perbedaan antara yang satu dan yang lainnya tidak dapat terbantahkan. Perbedaan inilah yang dapat menyebabkan adanya ketidakcocokan diantara penganut dan pelaksana agama yang ada di dunia. Dan terkadang, ketidakcocokan itu menimbulkan perpecahan yang berujung dengan adu senjata. Ini memang ironis karena setiap agama secara substantif mengajarkan kebaikan tanpa kekerasan dan kedamaian kepada sesama manusia. Interpretasi dari para pengikut agama itulah yang menjadikan secara visual agama khususnya Islam tampak radikal, fanatis dan penuh pemberontakan yang berbau kekerasan.
Pada hakikatnya, antara agama yang satu dan yang lainnnya pasti memiliki kesamaan dan perbedaan dari berbagai apseknya, mulai dari aspek kepercayaan, peribadatan, tingkah laku, nilai-nilai, hingga aspek sosial yang mengajarkan cara berinteraksi dengan sesama manusia. Walaupun demikian, pemakalah merasa bahwa yang paling penting dari hal-hal yang telah dipaparkan di atas adalah memandang substansi agama sebagai suatu kesatuan, bukan monoteis, politeis, paganis, samawi, atau non-samawi. Berangkat dari hal tersebut, disini pemakalah akan menjabarkan tentang ilmu perbandingan agama secara keseluruhan ditinjau dari berbagai aspeknya serta garis besar dari ajaran pokok beberapa agama.
Memeluk suatu agama adalah salah satu bentuk Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, hal tersebut dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28 E ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 menyatakan adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Khonghucu adalah salah satu agama di Indonesia yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Agama Khonghucu sempat mengalami hambatan dalam perkembangannya. Pada masa pemerintahan orde baru, agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan umat Khonghucu menjadi terhambat. Umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif.
Sebagai akibatnya, banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa beralih menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha. Demikian juga dengan tempat ibadah yaitu Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Pada akhirnya mereka memilih agama Buddha atau Kristen untuk dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Umat agama Khonghucu kembali mendapatkan hak kebebasan beragamanya setelah rezim orde baru berakhir. Agama Khonghucu sekarang ini bebas untuk dianut oleh warga negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.
Berkembangnya kembali agama Khonghucu di Indonesia memberikan dampak positif bagi warga keturunan Tionghoa karena tidak hanya mendapatkan kembali hak kebebasan beragamanya tetapi juga kebebasan untuk mengekspresikan budaya aslinya. Di pihak lain, perkembangan agama Khonghucu memberikan dampak khusus terhadap agama Buddha, yaitu pindahnya sebagian umat Buddha untuk memeluk agama Khonghucu. Sebagai langkah yang wajar, agama Khonghucu berusaha mendapatkan kembali umatnya yang dulu beralih ke agama lain. Agama Buddha yang sangat berkaitan dengan umat Khonghucu merasakan dampak ini. Upaya pendekatan terhadap umat Buddha terwujud dalam kegiatankegiatan yang melibatkan umat Buddha dari vihara. Contoh kasus di Bekasi, umat khonghucu sering mengadakan kunjungan ke vihara Tri Dharma di daerah Teluk Buyung Bekasi, sampai suatu ketika mereka menyampaikan usul kepada umat setempat untuk bergabung ke MAKIN Bekasi. Bahkan salah satu pembina umat Khonghucu dalam forum FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) pernah menyatakan bahwa semua warga keturunan Tionghoa seharusnya beragama Khonghucu.
Kemudian ia mempertanyakan fungsi kelenteng, seharusnya kelenteng adalah tempat ibadah umat Khonghucu. Berdasarkan pernyataan dari pembina agama Buddha maupun pembina agama Khonghucu diketahui terdapat umat yang pindah agama dari Buddha menjadi Khonghucu. Permasalahan sengketa tempat ibadah juga terjadi di beberapa tempat. Kelenteng adalah tempat ibadah warga Tionghoa dengan dasar tiga ajaran yaitu Buddhisme, Khonghucu dan Taoisme. Kelenteng diinginkan oleh pembina agama Khonghucu untuk masuk ke dalam binaannya. Hal ini belum tentu disetujui oleh pemilik kelenteng karena pemilik kelenteng tidak selalu menganut agama Khonghucu.
Permasalahan penggunaan kelenteng juga terjadi di Pekalongan dimana terjadi sengketa antara umat Khonghucu dengan pengguna kelenteng yang masih dalam binaan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD). Dampak tersebut dapat mengganggu kerukunan antar umat agama. Pindah agama selalu menjadi fenomena yang mengguncang, mungkin bagi orang yang bersangkutan, keluarga, dan lingkungan tempat tinggal. Para tokoh agama pun sering terpukul dengan persoalan pindah agama. Bila seorang umatnya pindah agama maka berkuranglah umat dari tokoh agama tersebut.
Mereka seakan tidak rela bila umatnya pindah ke agama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai dampak yang ditimbulkan oleh adanya kebangkitan kembali agama Khonghucu terhadap umat Buddha. Lebih jauh untuk mengetahui alasan umat Buddha yang pindah agama, upaya-upaya yang dilakukan oleh pembina agama Khonghucu untuk mendapatkan umat, juga untuk mengetahui upaya yang sudah dilakukan oleh para pembina umat Buddha untuk mempertahankan penganut agama Buddha tidak pindah agama, serta kesulitan yang dihadapi.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian agama?
2.    Bagaimana sejarah purifikasi ajaran Agama Khonghucu?
3.    Bagaimana pokok-pokok ajaran dari agama Khonghucu?
4.    Bagaimana implikasi nilai humanisme dalam ajaran agama Khonghucu terhadap Interaksi Sosial?
5.    Bagaimana perbandingan agama Konghucu dengan Islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Agama
Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan. Pendapat lain, agama berasal dari dua kata yaitu a dan Gama (bahasa sansakerta) yang berarti tidak kacau. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa Gama berarti tuntunan.[3] Bisa berarti agama merupakan tuntutan hidup yang dapat menghindarkan manusia dari kekacauan.
Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda) religio/relegare (Latin) dan ad-din (Arab). Kata religion (bahasa Inggris) dan religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat.[4] Maknanya melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian yang berupa usaha atau sejenis peribadatan yang dilakukan berulang-ulang. Sedangkan dari bahasa Arab, ad-din mempunyai arti lebih dari satu yaitu hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan. Dengan demikian, ad-din merupakan pengabdian dan penyerahan mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan dengan upacara dan tingkah laku tertentu sebagai manifestasi ketaatan tersebut.[5]
Menurut Emile Durkheim, Agama diartikan sebagai suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi juga sebagai pola kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktik-praktik yang dipakai oleh sekelompok orang untuk mencoba memecahkan masalah dalam kehidupan, agama juga diartikan sebagai pengalaman dunia dalam diri seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan. E.B Tylor menambahkan bahwa Religion is belief in spiritual being (agama adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib).[6]
Dalam pengertian ilmu sosial dan sejarah agama, agama adalah gejala sosial umum yang memiliki dua segi yaitu segi kejiwaan (psychological state) dan segi objektif (objective state). Segi kejiwaan disini ialah kondisi subjektif yang ada dalam jiwa manusia berupa perasaan yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi ini disebut juga kondisi agama yaitu kondisi patuh kepada Yang disembah. Sedangkan kondisi objektif merupakan segi luar atau kejadian objektif yang dapat dipelajari dengan dilihat dari luar menggunakan metode ilmu sosial. Segi ini mencakup adat-istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, kepercayaan, cerita maupun prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.[7]
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa agama adalah suatu kepercayaan, keyakinan, a way of life, ajaran, doktrin, ritual, sikap-sikap emosional yang memposisikan dirinya sebagai rambu-rambu dalam kehidupan manusia serta sebagai suatu fitrah atau naluri yang dimiliki manusia yang dalam hal ini harus dipenuhi karena bisa memberikan solusi bagi permasalahan yang ada pada manusia.

B.       Sejarah Purifikasi Agama Khonghucu
          Agama Khonghucu dikenal pula sebagai Ji Kauw (dialek Hokian) atau Ru Jiao (Hua Yu), yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau agama bagi kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, lebih awal 2.500 tahun dibanding usia Kongzi sendiri.[8]
          Konfusianisme muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hong Kong dan Tiongkok. Dalam bahasa Tionghoa, agama Khonghucu seringkali disebut sebagai Kongjiao (孔教) atau Rujiao (å„’æ•™).[9] Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan ia hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya.
1.      Masa Kecil Nabi Khonghucu
          Khonghucu lahir di kota Tsou, di negeri Lu. Leluhurnya adalah Kung Fang Shu (yang merupakan generasi ke sembilan dari raja muda negeri Sung dan generasi ke empat sebelum Kong Hu Zu).[10] Khonghucu adalah keturunan bangsawan miskin lahir tahun 551 SM dan wafat tahun 479 SM (dalam usia 72 tahun) berasal dari propinsi Syantung.[11]
          Dari sebuah keluarga yang sederhana, jujur dan setia berbakti kepada Thian. Konon lahirnya di iringi oleh peristiwa-peristiwa ajaib, pada tubuhnya juga tampak juga tampak tanda-tanda yang luar biasa.[12] Hut adalah ayah Khonghucu, istrinya berasal dari seorang wanita dari keluarga Yen, muridmuridnya pada masa itu menyebut Khonghucu yang berarti “guru Kong”. Setelah Khonghucu lahir, ayahnya wafat dan dimakamkan di Fangshon. Yang terletak dibagian paling timur negeri Lo (di Shan-Tung). Khonghucu ragu atas lokasi kuburan bapaknya yang sebenarnya, sebab itu ibunya telah merahasiakan hal itu.
          Ketika Khonghucu masih kanak-kanak dia membuat mainan penyembahan untuk korban dan nyanyian upacara.[13] Pada waktu ayahnya meninggal usia Khonghucu 3 tahun, kemudian Khonghucu di asuh oleh ibu dan kakeknya.[14] Pada saat ibu Khonghucu wafat, dia dikuburkan sementara waktu, untuk kepentingan penyembahan. Ibunya wafat pada saat ibu dari Wanfu Tsau memberitahukan kepada Khonghucu tentang kuburan ayahnya yang sebenarnya. Setelah ia tahu mengenai lokasi kuburan tersebut, segeraKhonghucu memakamkan ibunya di dekat kuburan ayahnya di Fangshan. Ketika Khonghucu berusia 4 tahun, ia bermain dengan temanteman
sebayanya, dalam bermain ia senang memimpin teman-temannya dalam menirukan orang-orang dewasa melakukan upacara sembahyang. Pada ibunya, ia pernah meminta alat-alat sembahyang tiruan yang disebut Coo-Coo dan Too.[15]        Kedua alat tersebut selalu digunakan orang cina dalam melakukan sembahyang, ini menunjukkan sejak kecil Khonghucu telah memperlihatkan sifat-sifat yang mulia, yaitu sangat menghargai atau menghormati para leluhurnya.[16]
          Pada waktu itu Khonghucu sudah mulai membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan keuangan, Khonghucu terpaksa mencari nafkah sendiri, mula-mula dengan melakukan kerja kasar. Penderitaan dan kemiskinan sejak masa muda menyebabkan beliau merasa mempunyai ikatan dengan kebanyakan, yang akan terbayang dalam nada demokratis dari keseluruhan filsafatnya.[17]
          Pada usia 7 tahun, Khonghucu secara formal bersekolah di Perguruan Yan Ping Tiong sekolah yang dikelola oleh ayah Yan Ping Tiong. Yan Ping Tion adalah orang yang kemudian terkenal sebagai Perdana Menteri Negeri Cee. Di sekolah, Khonghucu dan teman-temannya diajari cara menyiram, membersihkan lantai, tanya jawab, budi pekerti, musik, naik kuda, memanah, bahasa dan berhitung. Pendidikan formal Khonghucu hanya berlangsung selama tujuh tahun dan setelah itu pada saat usia 17 taun ia terpaksa meninggalkan sekolah untuk bekerja demi meringankan pekerjaan ibunya.[18]
2.      Masa Muda Nabi Khonghucu
Pada usia 19 tahun, Khonghucu menikah dengan seorang gadis dari keluarga Kian-Kwan dari negeri Song. Acara pernikahan hanya dilakukan secara sederhana dan tidak terlalu mencolok seperti yang dilakukan orang pada saat itu. Dari pernikahan tersebut, ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama “Li” atau “Pik-Gi”, Li berarti “ikan gurami” sedangkan “Pik-Gi” adalah putra pertama yang bernama ikan. Pik-Gi tampaknya tidak secemerlang ayahnya namun anaknya (cucu Khonghucu) yang bernama Cu Su berhasil meneruskan kakeknya (Khonghucu) dengan membukukan kitab Tiong Yong (tengah sempurna). Kitab Tiong Yong tersebut dijadikan tuntunan keimanan bagi umat Khonghucu di Indonesia. Ketika Khonghucu berusia 20 tahun, ia bekerja kepada keluarga bangsawan besar Kwi-Sun. hal ini ia lakukan untuk membiayai kehidupan rumah tangganya.[19]
          Khonghucu sangat cerdas dan suka bergaul serta berminat pada pengetahuan. Umur 22 tahun Khonghucu telah dapat mendirikan sebuah sekolah untuk memberi pelajaran bagi anak-anak muda. Sekolahnya sangat disukai dan pelajarannya sendiri menarik perhatian masyarakat.[20]
          Di kepala keluarga bangsawan besar Kwin-Sun. Khonghucu diberi tugas sebagai kepala dinas pertanian. Meskipun pekerjaan ini kurang sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, namun Khonghucu tetap dapat melaksanakan itu sebaik-baiknya. Dalam menguasai seluruh pekerjaan pengumpulan hasil bumi kepala keluarga bangsawan besar Kwi-Sun, Khonghucu selalu menjaga jangan sampai ada kekurangan dan pemerasan yang dapat merugikan para petani. Disamping itu, mereka juga banyak berdialog dan beramah-tamah dengan para petani. Karena sikapnya yang ramah ini, ia jadi banyak tahu tentang persoalan yang dihadapi para petani.[21]
          Berkat ketekunan dan pandai bergaulnya Khonghucu akhirnya diberi kepercayaan oleh bangsawan besar Kwin-Sun untuk mengelola Dinas peternakan yang ada pada waktu itu mempunyai banyak masalah. Semasa kecilnya Khonghucu sudah ditinggalkan oleh ayahnya pada usia 3 tahun. Pada usia 26 tahun, ibu Khonghucu wafat. Jadi pada usia 26 tahun ia sudah tidak mempunyai kedua orang tua. Ayahnya bernama Siok-Ling Hut dan ibunya bernama Tien-cai. Untuk kepentingan berkabung, terpaksa Khonghucu melepaskan jabatannya sebagai pemimpin Dinas pertanian dan peternakan sebelum ibunya wafat. Baru setelah 27 bulan kemudian ia aktif kepada pekerjaannya.
          Selain melakukan perkabungan atas wafat orang tuanya, Khonghucu pada usia 29 tahun tersebut juga belajar musik dari Su Sing, si guru musik. Hal ini, di siapkan untuk melaksanakan tugas suci-nya nanti. Oleh karena itu pada usia 30 tahun ia telah teguh pendiriannya. Ketika Khonghucu berusia 30 tahun, Cee King Kong, raja muda generasi Cee dan perdana menterinya Yan Ing atau Yang Ping Tiong, berkunjung ke negeri Lo. Kepada Khonghucu ia bertanya, mengapa Chien Bok Kong, raja muda negerinya kecil dan terletak di daerah perbatasan barat diakui sebagai raja muda pemimpin. Khonghucu menjelaskan, meskipun negeri Chien itu kecil, terletak jauh dari pusat dan negeri-negeri yang besar, tetapi Chien Bok Kong mampu membina rakyat sehingga mempunyai keberanian, cinta tanah air, dapat menjalankan pemerintahan yang adil, bersih dan sejahtera. Setelah mengadakan pertemuan dengan Khonghucu di negeri Lo, Cee King Kong merasa terkesan dengan pertemuan itu.
          Untuk itulah tidak lama kemudian ia mengirim utusan ke negeri Lo untuk mengundang Khonghucu ke negerinya dan memberikan hadiah sawah yang terletak di daerah Liem Khiu kepada Khonghucu karena merasa belum pantas menerima pemberian dari Cee King Kong, Khonghucu terpaksa menolak pemberian tersebut.[22]
          Pada umur 31 tahun Khonghucu diangkat sebagai gubernur dari propinsi Tyung Tu, kemudian diangkat oleh raja sebagai menteri kehakiman setelah raja yang mengangkatnya wafat Khonghucu mengembara beserta tiga orang muridnya yang terkenal, Yen Hwei, Tse Kung dan Tse Lu. Pada tahun 484 SM (dalam umur 67 tahun), Khonghucu kembali menetap di kota Lu (mendirikan sekolah) dan menyebarkan ajarannya sehingga wafat.[23]
          Sejak berumur 35 tahun ia mulai terlihat dalam percaturan pemerintah yakni sejak raja muda Ciau. Pada usia antara 51-55 tahun Khonghucu aktif dalam pemerintahan dan terakhir menjabat sebagai menteri kehakiman merangkap perdana menteri. Dalam waktu relatif singkat, ia mampu mengangkat martabak negeri Lo sehingga dihormati oleh negeri-negeri lain. Ia berhasil dan berpengalaman dalam memperbaiki pemerintahan Lo yang kacau, penuh peperangan, korupsi dan kesengsaraan rakyat, melalui perbaikan sistem pemerintahan, filsafat dan etika, dengan tetap berakhir pada tradisi kepercayaannya.
          Pengalaman birokrasi pemerintahan dan politik itu tidak begitu lama, karena raja muda Tiang jatuh karena mengabaikan sistem pemerintahan yang telah lama dibina oleh Khonghucu. Dalam usia 56 tahun ia meninggalkan negeri Lo dan mengembara ke dalam dunia spiritual serta memposisikan sebagai BOK TOK (genta rohani). Selama 13 tahun Khonghucu mengembara dan menyampaikan ajaran ke berbagai negeri, sambil menyempurnakan agama Li Kau yang saat itu mulai pudar karena kekalutan zaman.[24]
          Ketika di izinkan ke negerinya, ia sudah berumur 68 tahun, sisa hidupnya dihabiskan untuk mengajarkan pahamnya dan meneliti warisan-warisan lama. Ia menghasilkan sebuah karya yang disebut Ch’un-Tsi’in, “Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur”.[25]
          Kemudian ia wafat pada usia 72 tahun. Tepatnya pada tanggal 18 bulan dua Imlek, 479 SM dan dimakamkan di kota Chii Fu, Shantung. Misi genta rohani (Bok Tok) dilanjutkan oleh murid-muridnya dan para penganut. Salah satu penganut yang terkenal berjasa ialah Bing Cu, seorang penulis terakhir kitab suci Khonghucu, yang diberi gelar A Sing (wakil Nabi). Penulis, serta penafsir, juga penerus ajaran Khonghucu. Ia lair 107 tahun sesudah Khonghucu meninggal atau tepatnya 375 SM. Ia berhasil menulis kitab suci Mencius (ajaran Bing Cu) dan berjuang dengan gigih menjaga kelurusan ajaran agama Khonghucu menanggapi berbagai ajaran yang muncul pada zaman peperangan antar negeri.[26]
          Meskipun orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Khonghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini.
          Agama Khonghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik di Indonesia. Agama Khonghucu lazim dikaburkan makna dan hakikatnya dengan Konfusianisme sebagai filsafat.[27]
          Kongzi (Hua Yu) atau Khongcu (dialek Hokian) atau Confucius (Latin) adalah nama nabi terakhir dalam agama Konghucu. Ia lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek atau 551 SM. Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama Konghucu dan oleh sebab itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao sebagai Confucianism, yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Agama Konghucu.
          Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (Kong Fu Tze) atau Konfusius dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Ru Jiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Dalam agama Khonghucu terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya.
          Agama Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut ‘Ren Dao’ dan bagaimana cara melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah ‘Tian’ atau ‘Shang Di’.

C. Sejarah Berkembangnya Agama Khonghucu di Indonesia
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu, lebih lebih sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan agama negara.
Di Tiongkok sejak tahun 136 SM, Khonghucu ditetapkan sebagai agama resmi, maka dengan demikian orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia membawa sistem dan nilai-nilai religius agama Khonghucu. Pada abad ke-17 sebutan resmi bagi agama Kong Fu Ji adalah agama Ru Jiao.
Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819. Di Surabaya didirikan tempat ibadah agama Khonghucu yang disebut mula-mula Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) Boen Bio Surabaya.
Di Solo didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara. MATAKIN menyatakan berdasarkan sensus penduduk yang diadakan lembaga resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti lebih dari 1 juta jiwa.[28]
Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha.[29]
Sementara data Biro Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk 2010, pemeluk agama Khonghucu di Indonesia berjumlah 117.091 jiwa atau sebesar 0,05% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.[30] Pembinaan di tingkat pusat dilakukan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan tingkat lokal oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) atau wadah umat Khonghucu lainnya.
Keberadaan organisasi ini bukanlah mendasarkan pada wilayah administratif kepemerintahan, tetapi berdasarkan pada konsentrasi umat dan tempat ibadah yang ada. MATAKIN berdasarkan Pancasila, independen dan tidak berafiliasi dengan atau kepada organisasi sosial politik manapun, baik di dalam maupun luar negeri. Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Agama Khonghucu sempat mengalami hambatan dalam perkembangannya. Pada masa pemerintahan orde baru, agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan umat Khonghucu menjadi terhambat. Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa. Kemudian disusul pada tahun 1978 diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, sehingga mulailah keberadaan umat Khonghucu dipinggirkan.
Umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif sehingga mempunyai dampak negatif bagi perkembangannya. Sebagai akibat dilarangnya agama Khonghucu, banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari lima agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha.
Demikian juga dengan tempat ibadah yaitu Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Pada akhirnya merekabiasanya memilih agama Buddha atau Kristen untuk dicantumkan dalam KTP.
Tri Dharma dalah salah satu aliran dalam agama Buddha di Indonesia. Tri Dharma berasal dari kata Tri dan Dharma. Tri berarti tiga dan Dharma berarti ajaran kebenaran. Jadi secara harfiah Tri Dharma berarti tiga ajaran kebenaran yang terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Karena alasan inilah banyak pemeluk agama Khonghucu bernaung dalam aliran agama Buddha Tri Dharma. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa umat Khonghucu juga masuk ke aliran agama Buddha lain.
Umat agama Khonghucu kembali mendapatkan hak kebebasan beragamanya setelah rezim orde baru berakhir atau memasuki era-reformasi. Reformasi secara bahasa berarti perubahan pada proses bergulirnya sejarah perpolitikan Indonesia. Masa reformasi di Indonesia terjadi setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Masa Reformasi dimulai di bawah pimpinan Presiden BJ Habibie, kemudian diteruskan oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudoyono. Di era-Reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya.
Keputusan tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000. Keppres ini mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP ini salah satu isinya diamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pasal 2 dan penjelasan undang-Undang ini mendefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia asli.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan, pasal 106 dinyatakan pencatatan perkawinan agama Khonghucu di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama Khonghucu. Para pemeluk agama Khonghucu mempunyai altar keluarga atau altar leluhurnya yang disebut Kongpo, Hiolo (Xiang Lu), Lingwei. Mereka juga beribadat di altar sembahyang Tuhan YME yang menghadap ke langit lepas di dalam keluarga masing masing.
Keluarga Khonghucu di Indonesia sudah memiliki tradisi beribadah kepada Tuhan YME yang disebut Thikong (Tian Gong), kepada para suci (Shen Ming), terutama leluhur masing masing. Tata ibadah agama ini diajarkan oleh Nabi Besar Kong Zi, yang dapat dilihat pada kitab suci Catatan Kesusilaan Li Ji. Ibadah telah menjadi bagian keseharian pemeluk agama Khonghucu, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebuah sistem altar di rumah ibadah Kelenteng (Miao), tempat kebaktian agama Khonghucu (Kong Miao Litang), bersumber pada sebuah Kong Zi Miao dan Wen Miao. Semua Kelenteng di seluruh dunia termasuk di Indonesia pasti mempunyai standar sistem altar dan perlengkapan, serta tata ibadah / ritual maupun ornamen keagamaan kompleks bangunan Kongzi Miao dan Wen Miao.



C.      Pokok-Pokok Ajaran Agama Khonghucu dan Implikasi Nilai Humanisme dalam Ajaran Agama Khonghucu terhadap Interaksi Sosial
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze atau Konfusius) Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan dia hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang dia sabdakan: "Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut".
Meskipun orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM.
          Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Gery mengemukakan intisari ajaran Khonghucu adalah Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
1)    Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2)    Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3)    Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4)    Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5)    Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
6)    Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
7)    Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)
8)    Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
              Di dalam budaya religius Ru Jiao diajarkan adanya Lima Hubungan Kemanusiaan (Wu Lun) yang dikenal juga sebagai Lima Jalan Suci Bermasyarakat (Wu Da Dao). Ke lima Jalan Suci Bermasyarakat tersebut meliputi:
1)    Jun Chen = hubungan Jalansuci antara atasan dan bawahan
2)    Fu Zi = hubungan Jalan suci antara orangtua dan anak
3)    Fu Fu = hubungan Jalan suci antara suami dan isteri
Metode ini menfokuskan penelitian pada tiga hal yaitu: tentang tokoh berpengaruh dalam suatu agama atau gerakan keagamaan, mengenai naskah atau buku, dan penelitian arsip.
Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tetapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya Mengzi ke seluruh Tiongkok dengan beberapa perubahan.Terlepas dari isu sosial di atas pemakalah menyadari bahwa manusia butuh sekali akan agama. Karena sebagai tuntunan dan pedoman manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik. Tanpa agama manusia bagaikan anak kecil yang terlantar. Tuhan dalam ajaran Khonghucu sering disebut dengan istilah Thisu atau Tee artinya tuhan yang maha besar atau tuhan yang menguasai langit dan bumi. Di dalam kitab Ngo King biasa diberi kata sifat sebagai berikut :
- Siang Thian artinya thisu yang maha tinggi
- Hoo Thian artinya thisu yang maha besar
- Chong thian artinya thisu yang maha suci
- Bien thisu artinya thisu yang maha pengasih
- Hong thisu artinya thisu yang maha kuasa, maha pencipta
- Sing tee artinya tee yang menciptakan alam semesta Khonghucu sendiri percaya adanya thisu yang selalu harus dihormati dan dipuja karena dialah yang menjaga alam semesta. Oleh karena itu, manusia harus melakukan upacara keagamaan sederhana dan senikmat mungkin akan mendapatkan berkah dari thisu. Dalam kaitan ini, umat manusia harus mencermati dan melandasi tingkah laku orang tua, karena menurut Khonghucu orang tua adalah wakil thisu.[31]
Selain kepercayaan terhadap thisu dalam ajaran Khonghucu terdapat juga terdapat kepercayaan terhadap malaikat (dewa-dewa), roh-roh suci dan para Nabi, para penganutnya perlu melakukan penghormatan, sesaji dna kepribadian pada mereka, pada prinsipnya manusia dilahirkan dalam kondisi yang baik. Manusia berkewajiban merealisasikan kodrat yang baik dan memelihara yang sudah mati. Selain itu manusia terdiri dari kehidupan jasad (phik) tempat berkembangnya nyawa (kwi) dan semangat (khi) sebagai tempat berkembangnya roh yang harmonis itulah yang hendak dicapai dalam bimbingan agung.[32]
Suatu ketika, Chung Yu, salah seorang muridnya bertanya kepada Khonghucu tentang jiwa, yang dijawabnya: “Jika kamu tidak dapat mengetahui orang bagaimana kamu dapat mengetahui jiwa?” Apabila ia ditanya tentang kematian; ia menjawab: “Jika kamu belum mengerti tentang hidup, bagaimana kamu bisa mengetahui tentang kematian?” Juga dikatakan tentang dia, bahwa dia tidak pernah berbicara tentang keajaiban, kekuatan, atau masalah ketuhanan. Tetap tidak ada keraguan bahwa Khonghucu percaya pada Tuhan dan ia adalah seorang monoteis yang etis. Ia menyatakan bahwa kehendak Tuhan telah dibukakan untuknya dan karena itu misinya adalah membuat kehendak tersebut berlaku di dunia ini.[33]
Ajaran Khonghucu juga sangat menekankan etika. Etika menempati posisi yang sangat sentral dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam dunia politik. Khonghucu selalu mengacu kepada etika yang dikembangkan oleh kaum bijak kuno (Nabi dan Raja Suci).[34]
Khonghucu percaya bahwa di dunia ii dibangun atas dasar moral. Jika masyarakat dan negara secara moral rusak, maka tatanan alam tersebut juga akan terganggu, sehingga terjadilah perang, banjir, gempa, kemarau panjang, penyakit dan sebagainya. Khonghucu memberi penghormatan yang sangat tinggi kepada manusia, yang diyakininya untuk diberkahi dengan cahaya ketuhanan. Ia berkata: “Orang-orang yang membuat sistem-sistem itu menjadi hebat, bukan sistem-sistem yang membuat mereka hebat.” Khonghucu percaya bahwa seseorang itu asalnya adalah baik dan akan kembali ke sifat yang baik. Ia percaya bahwa orang tidak memerlukan juru selamat. Apa yang diperlukan oleh manusia adalah guru berbudi, dengan melakukan sungguh-sungguh ajarannya, serta menjadi contoh teladan bagi orang lain.[35]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama dewasa ini sering disebut sebagai fenomena maupun sebagai budaya. Isu-isu sosial seperti adanya perang, adanya kemiskinan dan berbagai penderitaan memunculkan satu statement dari kaum pragmatis yaitu kemanakah agama itu? Mengapa masih ada peperangan, kemiskinan dan kerusuhan lainnya jika agama itu ada kenapa tidak mendamaikan, menentramkan dan mensejahterakan?.
Terlepas dari isu sosial di atas pemakalah menyadari bahwa manusia butuh sekali akan agama. Karena sebagai tuntunan dan pedoman manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik. Tanpa agama manusia bagaikan anak kecil yang terlantar.
Mengenai konflik atau terjadinya perselisihan karena agama. Misalnya adanya konflik internal dalam agama Islam yang sering menjadikan kerusuhan bahkan perpecahan adalah disebabkan oleh kesalahpahaman yang mendalam. Agama begitu dogmatis dan kadang pengikut dari agama itu terlalu fanatik sampai melupakan aspek sosialnya. Dalam Islam sumber ajarannya satu yaitu al Qur’an dan Hadits. Kedua sumber tadi sifatnya tekstual dan ada yang sangat butuh untuk diinterpretasikan. Dan dalam penafsiran tadi atau secara kontekstual terjadi perbedaan hasil mengingat manusia dibekali potensi yang berbeda-beda. Maka untuk itu ada baiknya kita memahami perbedaan ini sebagai suatu rahmat jangan dijadikan bahan untuk diperdebatkan maupun diperselisihkan.



Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only their own religion, know none, those who are not decisively committed to one faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”. Pada intinya dengan mengetahui perbedaan dan perasamaan berbagai agama kita mengetahui banyak hal dan akan sangat menghargai perbedaan itu sebagai perdamaian dan persatuan. Dan dengan mengetahui agama lain kita akan semakin memahami kebenaran agama kita yaitu Islam. Wallahu ‘alam.


Daftar Pustaka
Choiron. 2009. Perbandingan Agama KAjian Agama-agama dalam Perspektif Komparatif, Kudus: STAIN Kudus
Geddes & Grosset Ltd. 1990. Webster’s New Dictionary and Thesaurus. Scotland: New Lanark
Jirhanuddin. 2010. Perbandingan Agama.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar          
Kahmad, Dadang 2000. Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama: Pustaka Setia: Bandung
                         . 2002. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Moh Rifai. 1984. Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana
M. Quraish Shihab, 1996. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan
Rahman, Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yusuf, Syamsu. 2003. Psikologi Belajar Agama. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
M. Ikhsan Tanggok, 2005. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan
Bakry Hasbullah. 1986. Ilmu Perbandingan Agama, Bumirestu, Jakarta
A. Mukti Ali, dkk. 1988. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press
M. Nahar Nawawi. 2003. Memahami Khonghucu Sebagai Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Huston Smith. 2001. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
http//:bps.go.id
www.matakin.or.id



[1] Budhy Munawar Rahman,. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Raja Grafindo Persada, Jkarta, 2004, hlm. 17.
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, MIzan, Bandung, 1996, hlm. 366.
[3] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 1.
[4] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 13.
[5] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2003, hlm. 110
[6] Ibid.
[7]Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 22.
[8] www.matakin.or.id
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[10] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 12.
[11] Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Bumirestu, Jakarta, 1986, hlm. 95.
[12] A. Mukti Ali, dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.219
[13]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 13
[14] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 11
[15] Coo adalah sejenis kotak untuk menempatkan manisan dan Too adalah sejenis mangkok
[16] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 13-14
[17] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.
189.
[18] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 14
[19] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 14
[20] Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Bumirestu, Jakarta, 1986, hlm. 95.
[21] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 15.
[22] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 15-16
[23] Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Bumirestu, Jakarta, 1986, hlm. 95.
[24] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 11-12.
[25] A. Mukti Ali, dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.219
[26] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 12-13.
[27]https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[28] http//:matakin.or.id
[29] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[30] http//:bps.go.id
[31] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 37-38.
[32] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 41-42.
[33] A. Mukti Ali, dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.220.
[34] M. Nahar Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 43.
[35] A. Mukti Ali, dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.220.
Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670