Perbandingan Agama Konghucu |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk yang tercipta
sempurna dengan akal, hati, dan perasaan dituntut untuk menjadi seorang khalifah
di bumi. Kehidupan di dunia yang dinamis membuat manusia berlalu lalang di
dalamnya untuk menjaga keeksisannya di dunia agar bisa survive dan terus
mendayagunakan akalnya agar tercipta kesejahteraan bagi dirinya dan
lingkungannya. Ilmu dan teknologi memang mampu mencapai segalanya yang di
dunia, namun ketika manusia sudah mencapai di titik jenuh ada satu naluri yang
harus dicermati dan dikaji lagi yaitu naluri beragama.
Manusia menurut fitrahnya adalah
makhluk agama. Sifat itu pada dasarnya dari naluri alamiahnya untuk menyembah
atau menghamba pada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi
darinya atau menguasainya. Naluri ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an
merupakan penyaluran dari dorongan yang berada jauh di alam bawah sadarnya,
yaitu dorongan kembali kepada Tuhan.[1]Quraish
Shihab menuturkan bahwa tidak mudah mendefinisikan agama ketika sekarang ini
kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap
agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.[2]
Tidak bisa dipungkiri, agama berperan
penting dalam kehidupan manusia. Ia memberikan ketenangan, solusi, pencerahan
maupun kemajuan yang pesat dalam peradaban manusia. Akan tetapi fakta bahwa
agama yang ada dunia sangat banyak sekali dan perbedaan antara yang satu dan
yang lainnya tidak dapat terbantahkan. Perbedaan inilah yang dapat menyebabkan
adanya ketidakcocokan diantara penganut dan pelaksana agama yang ada di dunia.
Dan terkadang, ketidakcocokan itu menimbulkan perpecahan yang berujung dengan
adu senjata. Ini memang ironis karena setiap agama secara substantif mengajarkan
kebaikan tanpa kekerasan dan kedamaian kepada sesama manusia. Interpretasi dari
para pengikut agama itulah yang menjadikan secara visual agama khususnya Islam
tampak radikal, fanatis dan penuh pemberontakan yang berbau kekerasan.
Pada hakikatnya, antara agama yang
satu dan yang lainnnya pasti memiliki kesamaan dan perbedaan dari berbagai
apseknya, mulai dari aspek kepercayaan, peribadatan, tingkah laku, nilai-nilai,
hingga aspek sosial yang mengajarkan cara berinteraksi dengan sesama manusia.
Walaupun demikian, pemakalah merasa bahwa yang paling penting dari hal-hal yang
telah dipaparkan di atas adalah memandang substansi agama sebagai suatu
kesatuan, bukan monoteis, politeis, paganis, samawi, atau non-samawi. Berangkat
dari hal tersebut, disini pemakalah akan menjabarkan tentang ilmu perbandingan agama
secara keseluruhan ditinjau dari berbagai aspeknya serta garis besar dari
ajaran pokok beberapa agama.
Memeluk suatu agama adalah salah satu
bentuk Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, hal tersebut dijamin dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28 E ayat (1)
menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 menyatakan adanya enam agama di Indonesia yaitu:
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Khonghucu adalah salah
satu agama di Indonesia yang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Agama
Khonghucu sempat mengalami hambatan dalam perkembangannya. Pada masa
pemerintahan orde baru, agama Khonghucu dilarang oleh pemerintah, sehingga
aktivitas keagamaan umat Khonghucu menjadi terhambat. Umat Khonghucu di Indonesia
hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif.
Sebagai akibatnya, banyak pemeluk
kepercayaan tradisional Tionghoa beralih menjadi pemeluk agama Kristen atau
Buddha. Demikian juga dengan tempat ibadah yaitu Klenteng yang merupakan tempat
ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan
diri menjadi vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Pada akhirnya
mereka memilih agama Buddha atau Kristen untuk dicantumkan dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Umat agama Khonghucu kembali mendapatkan hak kebebasan beragamanya
setelah rezim orde baru berakhir. Agama Khonghucu sekarang ini bebas untuk
dianut oleh warga negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi
yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.
Berkembangnya kembali agama Khonghucu
di Indonesia memberikan dampak positif bagi warga keturunan Tionghoa karena
tidak hanya mendapatkan kembali hak kebebasan beragamanya tetapi juga kebebasan
untuk mengekspresikan budaya aslinya. Di pihak lain, perkembangan agama
Khonghucu memberikan dampak khusus terhadap agama Buddha, yaitu pindahnya
sebagian umat Buddha untuk memeluk agama Khonghucu. Sebagai langkah yang wajar,
agama Khonghucu berusaha mendapatkan kembali umatnya yang dulu beralih ke agama
lain. Agama Buddha yang sangat berkaitan dengan umat Khonghucu merasakan dampak
ini. Upaya pendekatan terhadap umat Buddha terwujud dalam kegiatankegiatan yang
melibatkan umat Buddha dari vihara. Contoh kasus di Bekasi, umat khonghucu
sering mengadakan kunjungan ke vihara Tri Dharma di daerah Teluk Buyung Bekasi,
sampai suatu ketika mereka menyampaikan usul kepada umat setempat untuk
bergabung ke MAKIN Bekasi. Bahkan salah satu pembina umat Khonghucu dalam forum
FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) pernah menyatakan bahwa semua warga
keturunan Tionghoa seharusnya beragama Khonghucu.
Kemudian ia mempertanyakan fungsi
kelenteng, seharusnya kelenteng adalah tempat ibadah umat Khonghucu.
Berdasarkan pernyataan dari pembina agama Buddha maupun pembina agama Khonghucu
diketahui terdapat umat yang pindah agama dari Buddha menjadi Khonghucu.
Permasalahan sengketa tempat ibadah juga terjadi di beberapa tempat. Kelenteng
adalah tempat ibadah warga Tionghoa dengan dasar tiga ajaran yaitu Buddhisme,
Khonghucu dan Taoisme. Kelenteng diinginkan oleh pembina agama Khonghucu untuk
masuk ke dalam binaannya. Hal ini belum tentu disetujui oleh pemilik kelenteng
karena pemilik kelenteng tidak selalu menganut agama Khonghucu.
Permasalahan penggunaan kelenteng
juga terjadi di Pekalongan dimana terjadi sengketa antara umat Khonghucu dengan
pengguna kelenteng yang masih dalam binaan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD). Dampak
tersebut dapat mengganggu kerukunan antar umat agama. Pindah agama selalu
menjadi fenomena yang mengguncang, mungkin bagi orang yang bersangkutan, keluarga,
dan lingkungan tempat tinggal. Para tokoh agama pun sering terpukul dengan
persoalan pindah agama. Bila seorang umatnya pindah agama maka berkuranglah
umat dari tokoh agama tersebut.
Mereka seakan tidak rela bila umatnya
pindah ke agama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai
dampak yang ditimbulkan oleh adanya kebangkitan kembali agama Khonghucu
terhadap umat Buddha. Lebih jauh untuk mengetahui alasan umat Buddha yang pindah
agama, upaya-upaya yang dilakukan oleh pembina agama Khonghucu untuk
mendapatkan umat, juga untuk mengetahui upaya yang sudah dilakukan oleh para
pembina umat Buddha untuk mempertahankan penganut agama Buddha tidak pindah
agama, serta kesulitan yang dihadapi.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian agama?
2.
Bagaimana sejarah purifikasi ajaran Agama
Khonghucu?
3.
Bagaimana pokok-pokok ajaran dari agama Khonghucu?
4.
Bagaimana implikasi nilai humanisme dalam
ajaran agama Khonghucu terhadap Interaksi Sosial?
5.
Bagaimana perbandingan agama Konghucu
dengan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama
Agama berasal dari bahasa Sansekerta
yang bermakna haluan, peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan. Pendapat
lain, agama berasal dari dua kata yaitu a dan Gama (bahasa
sansakerta) yang berarti tidak kacau. Selanjutnya ada pula yang mengatakan
bahwa Gama berarti tuntunan.[3]
Bisa berarti agama merupakan tuntutan hidup yang dapat menghindarkan manusia
dari kekacauan.
Ada beberapa istilah lain dari agama,
antara lain religi, religion (Inggris), religie (Belanda) religio/relegare
(Latin) dan ad-din (Arab). Kata religion (bahasa Inggris)
dan religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua
bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang
berarti mengikat.[4]
Maknanya melakukan suatu perbuatan dengan penuh penderitaan atau mati-matian
yang berupa usaha atau sejenis peribadatan yang dilakukan berulang-ulang.
Sedangkan dari bahasa Arab, ad-din mempunyai arti lebih dari satu
yaitu hukum, perhitungan, kerajaan, kekuasaan, tuntutan, keputusan, dan pembalasan.
Dengan demikian, ad-din merupakan pengabdian dan penyerahan
mutlak dari seorang hamba kepada Tuhan dengan upacara dan tingkah laku tertentu
sebagai manifestasi ketaatan tersebut.[5]
Menurut Emile Durkheim, Agama
diartikan sebagai suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan
perasaan-perasaan pribadi juga sebagai pola kepercayaan-kepercayaan,
sikap-sikap emosional dan praktik-praktik yang dipakai oleh sekelompok orang
untuk mencoba memecahkan masalah dalam kehidupan, agama juga diartikan sebagai
pengalaman dunia dalam diri seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan
peribadatan. E.B Tylor menambahkan bahwa Religion is belief in spiritual being
(agama adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib).[6]
Dalam pengertian ilmu sosial dan
sejarah agama, agama adalah gejala sosial umum yang memiliki dua segi yaitu
segi kejiwaan (psychological state) dan segi objektif (objective
state). Segi kejiwaan disini ialah kondisi subjektif yang ada dalam jiwa
manusia berupa perasaan yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi ini disebut
juga kondisi agama yaitu kondisi patuh kepada Yang disembah. Sedangkan kondisi
objektif merupakan segi luar atau kejadian objektif yang dapat dipelajari
dengan dilihat dari luar menggunakan metode ilmu sosial. Segi ini mencakup
adat-istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan,
kepercayaan, cerita maupun prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.[7]
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
agama adalah suatu kepercayaan, keyakinan, a way of life, ajaran, doktrin,
ritual, sikap-sikap emosional yang memposisikan dirinya sebagai rambu-rambu
dalam kehidupan manusia serta sebagai suatu fitrah atau naluri yang dimiliki
manusia yang dalam hal ini harus dipenuhi karena bisa memberikan solusi bagi
permasalahan yang ada pada manusia.
B. Sejarah Purifikasi Agama
Khonghucu
Agama
Khonghucu dikenal pula sebagai Ji Kauw (dialek Hokian) atau Ru Jiao (Hua Yu),
yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau agama bagi kaum terpelajar.
Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, lebih awal 2.500 tahun
dibanding usia Kongzi sendiri.[8]
Konfusianisme
muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea, Jepang, Taiwan,
Hong Kong dan Tiongkok. Dalam bahasa Tionghoa, agama Khonghucu seringkali
disebut sebagai Kongjiao (å”æ•™)
atau Rujiao (å„’æ•™).[9]
Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan ia hanya menyempurnakan
agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya.
1. Masa Kecil Nabi Khonghucu
Khonghucu
lahir di kota Tsou, di negeri Lu. Leluhurnya adalah Kung Fang Shu (yang
merupakan generasi ke sembilan dari raja muda negeri Sung dan generasi ke empat
sebelum Kong Hu Zu).[10]
Khonghucu adalah keturunan bangsawan miskin lahir tahun 551 SM dan wafat tahun 479
SM (dalam usia 72 tahun) berasal dari propinsi Syantung.[11]
Dari
sebuah keluarga yang sederhana, jujur dan setia berbakti kepada Thian. Konon
lahirnya di iringi oleh peristiwa-peristiwa ajaib, pada tubuhnya juga tampak
juga tampak tanda-tanda yang luar biasa.[12]
Hut adalah ayah Khonghucu, istrinya berasal dari seorang wanita dari keluarga
Yen, muridmuridnya pada masa itu menyebut Khonghucu yang berarti “guru Kong”. Setelah
Khonghucu lahir, ayahnya wafat dan dimakamkan di Fangshon. Yang terletak
dibagian paling timur negeri Lo (di Shan-Tung). Khonghucu ragu atas lokasi
kuburan bapaknya yang sebenarnya, sebab itu ibunya telah merahasiakan hal itu.
Ketika
Khonghucu masih kanak-kanak dia membuat mainan penyembahan untuk korban dan
nyanyian upacara.[13]
Pada waktu ayahnya meninggal usia Khonghucu 3 tahun, kemudian Khonghucu di asuh
oleh ibu dan kakeknya.[14]
Pada saat ibu Khonghucu wafat, dia dikuburkan sementara waktu, untuk
kepentingan penyembahan. Ibunya wafat pada saat ibu dari Wanfu Tsau memberitahukan
kepada Khonghucu tentang kuburan ayahnya yang sebenarnya. Setelah ia tahu
mengenai lokasi kuburan tersebut, segeraKhonghucu memakamkan ibunya di dekat
kuburan ayahnya di Fangshan. Ketika Khonghucu berusia 4 tahun, ia bermain
dengan temanteman
sebayanya, dalam bermain ia senang
memimpin teman-temannya dalam menirukan orang-orang dewasa melakukan upacara
sembahyang. Pada ibunya, ia pernah meminta alat-alat sembahyang tiruan yang
disebut Coo-Coo dan Too.[15] Kedua alat tersebut selalu digunakan
orang cina dalam melakukan sembahyang, ini menunjukkan sejak kecil Khonghucu
telah memperlihatkan sifat-sifat yang mulia, yaitu sangat menghargai atau menghormati
para leluhurnya.[16]
Pada
waktu itu Khonghucu sudah mulai membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan
keuangan, Khonghucu terpaksa mencari nafkah sendiri, mula-mula dengan melakukan
kerja kasar. Penderitaan dan kemiskinan sejak masa muda menyebabkan beliau merasa
mempunyai ikatan dengan kebanyakan, yang akan terbayang dalam nada demokratis
dari keseluruhan filsafatnya.[17]
Pada
usia 7 tahun, Khonghucu secara formal bersekolah di Perguruan Yan Ping Tiong
sekolah yang dikelola oleh ayah Yan Ping Tiong. Yan Ping Tion adalah orang yang
kemudian terkenal sebagai Perdana Menteri Negeri Cee. Di sekolah, Khonghucu dan
teman-temannya diajari cara menyiram, membersihkan lantai, tanya jawab, budi
pekerti, musik, naik kuda, memanah, bahasa dan berhitung. Pendidikan formal Khonghucu
hanya berlangsung selama tujuh tahun dan setelah itu pada saat usia 17 taun ia
terpaksa meninggalkan sekolah untuk bekerja demi meringankan pekerjaan ibunya.[18]
2. Masa Muda Nabi Khonghucu
Pada usia 19 tahun, Khonghucu menikah
dengan seorang gadis dari keluarga Kian-Kwan dari negeri Song. Acara pernikahan
hanya dilakukan secara sederhana dan tidak terlalu mencolok seperti yang
dilakukan orang pada saat itu. Dari pernikahan tersebut, ia mendapatkan seorang
anak laki-laki yang diberi nama “Li” atau “Pik-Gi”, Li berarti “ikan gurami” sedangkan
“Pik-Gi” adalah putra pertama yang bernama ikan. Pik-Gi tampaknya tidak
secemerlang ayahnya namun anaknya (cucu Khonghucu) yang bernama Cu Su berhasil
meneruskan kakeknya (Khonghucu) dengan membukukan kitab Tiong Yong (tengah
sempurna). Kitab Tiong Yong tersebut dijadikan tuntunan keimanan bagi umat
Khonghucu di Indonesia. Ketika Khonghucu berusia 20 tahun, ia bekerja kepada
keluarga bangsawan besar Kwi-Sun. hal ini ia lakukan untuk membiayai kehidupan rumah
tangganya.[19]
Khonghucu
sangat cerdas dan suka bergaul serta berminat pada pengetahuan. Umur 22 tahun
Khonghucu telah dapat mendirikan sebuah sekolah untuk memberi pelajaran bagi
anak-anak muda. Sekolahnya sangat disukai dan pelajarannya sendiri menarik
perhatian masyarakat.[20]
Di
kepala keluarga bangsawan besar Kwin-Sun. Khonghucu diberi tugas sebagai kepala
dinas pertanian. Meskipun pekerjaan ini kurang sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya, namun Khonghucu tetap dapat melaksanakan itu sebaik-baiknya. Dalam
menguasai seluruh pekerjaan pengumpulan hasil bumi kepala keluarga bangsawan
besar Kwi-Sun, Khonghucu selalu menjaga jangan sampai ada kekurangan dan
pemerasan yang dapat merugikan para petani. Disamping itu, mereka juga banyak berdialog
dan beramah-tamah dengan para petani. Karena sikapnya yang ramah ini, ia jadi
banyak tahu tentang persoalan yang dihadapi para petani.[21]
Berkat
ketekunan dan pandai bergaulnya Khonghucu akhirnya diberi kepercayaan oleh
bangsawan besar Kwin-Sun untuk mengelola Dinas peternakan yang ada pada waktu
itu mempunyai banyak masalah. Semasa kecilnya Khonghucu sudah ditinggalkan oleh
ayahnya pada usia 3 tahun. Pada usia 26 tahun, ibu Khonghucu wafat. Jadi pada usia
26 tahun ia sudah tidak mempunyai kedua orang tua. Ayahnya bernama Siok-Ling
Hut dan ibunya bernama Tien-cai. Untuk kepentingan berkabung, terpaksa
Khonghucu melepaskan jabatannya sebagai pemimpin Dinas pertanian dan peternakan
sebelum ibunya wafat. Baru setelah 27 bulan kemudian ia aktif kepada pekerjaannya.
Selain
melakukan perkabungan atas wafat orang tuanya, Khonghucu pada usia 29 tahun
tersebut juga belajar musik dari Su Sing, si guru musik. Hal ini, di siapkan
untuk melaksanakan tugas suci-nya nanti. Oleh karena itu pada usia 30 tahun ia
telah teguh pendiriannya. Ketika Khonghucu berusia 30 tahun, Cee King Kong,
raja muda generasi Cee dan perdana menterinya Yan Ing atau Yang Ping Tiong, berkunjung
ke negeri Lo. Kepada Khonghucu ia bertanya, mengapa Chien Bok Kong, raja muda
negerinya kecil dan terletak di daerah perbatasan barat diakui sebagai raja
muda pemimpin. Khonghucu menjelaskan, meskipun negeri Chien itu kecil, terletak
jauh dari pusat dan negeri-negeri yang besar, tetapi Chien Bok Kong mampu
membina rakyat sehingga mempunyai keberanian, cinta tanah air, dapat
menjalankan pemerintahan yang adil, bersih dan sejahtera. Setelah mengadakan
pertemuan dengan Khonghucu di negeri Lo, Cee King Kong merasa terkesan dengan
pertemuan itu.
Untuk
itulah tidak lama kemudian ia mengirim utusan ke negeri Lo untuk mengundang Khonghucu
ke negerinya dan memberikan hadiah sawah yang terletak di daerah Liem Khiu
kepada Khonghucu karena merasa belum pantas menerima pemberian dari Cee King
Kong, Khonghucu terpaksa menolak pemberian tersebut.[22]
Pada
umur 31 tahun Khonghucu diangkat sebagai gubernur dari propinsi Tyung Tu,
kemudian diangkat oleh raja sebagai menteri kehakiman setelah raja yang
mengangkatnya wafat Khonghucu mengembara beserta tiga orang muridnya yang
terkenal, Yen Hwei, Tse Kung dan Tse Lu. Pada tahun 484 SM (dalam umur 67
tahun), Khonghucu kembali menetap di kota Lu (mendirikan sekolah) dan
menyebarkan ajarannya sehingga wafat.[23]
Sejak
berumur 35 tahun ia mulai terlihat dalam percaturan pemerintah yakni sejak raja
muda Ciau. Pada usia antara 51-55 tahun Khonghucu aktif dalam pemerintahan dan
terakhir menjabat sebagai menteri kehakiman merangkap perdana menteri. Dalam
waktu relatif singkat, ia mampu mengangkat martabak negeri Lo sehingga
dihormati oleh negeri-negeri lain. Ia berhasil dan berpengalaman dalam
memperbaiki pemerintahan Lo yang kacau, penuh peperangan, korupsi dan kesengsaraan
rakyat, melalui perbaikan sistem pemerintahan, filsafat dan etika, dengan tetap
berakhir pada tradisi kepercayaannya.
Pengalaman
birokrasi pemerintahan dan politik itu tidak begitu lama, karena raja muda
Tiang jatuh karena mengabaikan sistem pemerintahan yang telah lama dibina oleh
Khonghucu. Dalam usia 56 tahun ia meninggalkan negeri Lo dan mengembara ke
dalam dunia spiritual serta memposisikan sebagai BOK TOK (genta rohani). Selama
13 tahun Khonghucu mengembara dan menyampaikan ajaran ke berbagai negeri,
sambil menyempurnakan agama Li Kau yang saat itu mulai pudar karena kekalutan
zaman.[24]
Ketika
di izinkan ke negerinya, ia sudah berumur 68 tahun, sisa hidupnya dihabiskan
untuk mengajarkan pahamnya dan meneliti warisan-warisan lama. Ia menghasilkan
sebuah karya yang disebut Ch’un-Tsi’in, “Sejarah Musim Semi dan Musim Gugur”.[25]
Kemudian
ia wafat pada usia 72 tahun. Tepatnya pada tanggal 18 bulan dua Imlek, 479 SM
dan dimakamkan di kota Chii Fu, Shantung. Misi genta rohani (Bok Tok)
dilanjutkan oleh murid-muridnya dan para penganut. Salah satu penganut yang
terkenal berjasa ialah Bing Cu, seorang penulis terakhir kitab suci Khonghucu, yang
diberi gelar A Sing (wakil Nabi). Penulis, serta penafsir, juga penerus ajaran
Khonghucu. Ia lair 107 tahun sesudah Khonghucu meninggal atau tepatnya 375 SM.
Ia berhasil menulis kitab suci Mencius (ajaran Bing Cu) dan berjuang dengan
gigih menjaga kelurusan ajaran agama Khonghucu menanggapi berbagai ajaran yang
muncul pada zaman peperangan antar negeri.[26]
Meskipun
orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat
untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Ajaran falsafah ini
diasaskan oleh Khonghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang
saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal
dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak
menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak
diikuti oleh penganut ajaran ini.
Agama
Khonghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik di
Indonesia. Agama Khonghucu lazim dikaburkan makna dan hakikatnya dengan
Konfusianisme sebagai filsafat.[27]
Kongzi
(Hua Yu) atau Khongcu (dialek Hokian) atau Confucius (Latin) adalah nama nabi
terakhir dalam agama Konghucu. Ia lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek
atau 551 SM. Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama Konghucu dan oleh sebab
itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao sebagai Confucianism, yang
kemudian di Indonesia dikenal sebagai Agama Konghucu.
Ajaran
Konfusianisme atau Kong Hu Cu (Kong Fu Tze) atau Konfusius dalam bahasa
Tionghoa, istilah aslinya adalah Ru Jiao yang berarti agama dari orang-orang
yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Dalam agama Khonghucu terdapat
ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya.
Agama
Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau
disebut ‘Ren Dao’ dan bagaimana cara melakukan hubungan dengan Sang
Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah ‘Tian’ atau
‘Shang Di’.
C. Sejarah
Berkembangnya Agama Khonghucu di
Indonesia
Keberadaan umat beragama Khonghucu
beserta lembaga-lembaga keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada
sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau
pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang
berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu
di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu, lebih lebih sejak zaman dinasti
Han, atau tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan agama negara.
Di Tiongkok sejak tahun 136 SM,
Khonghucu ditetapkan sebagai agama resmi, maka dengan demikian orang-orang
Tionghoa datang ke Indonesia membawa sistem dan nilai-nilai religius agama
Khonghucu. Pada abad ke-17 sebutan resmi bagi agama Kong Fu Ji adalah agama Ru Jiao.
Kehadiran Agama Khonghucu di
Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di
Manado didirikan pada tahun 1819. Di Surabaya didirikan tempat ibadah agama
Khonghucu yang disebut mula-mula Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali dan
disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang Boen Bio yang
terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah
asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) Boen Bio Surabaya.
Di Solo didirikan Khong Kauw Hwee
sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918. Pada tahun 1923 telah diadakan
Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta
dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25
September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas
tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara. MATAKIN
menyatakan berdasarkan sensus penduduk yang diadakan lembaga resmi pemerintah
yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang
beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti lebih dari 1 juta jiwa.[28]
Di zaman Orde Baru, pemerintahan
Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan tradisi
Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional
Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5 agama yang
diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan
komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu
agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau
Kristen. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa
juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan
tempat ibadah agama Buddha.[29]
Sementara data Biro Pusat Statistik
dalam Sensus Penduduk 2010, pemeluk agama Khonghucu di Indonesia berjumlah
117.091 jiwa atau sebesar 0,05% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.[30]
Pembinaan di tingkat pusat dilakukan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia (MATAKIN) dan tingkat lokal oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia
(MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) atau wadah umat Khonghucu
lainnya.
Keberadaan organisasi ini bukanlah
mendasarkan pada wilayah administratif kepemerintahan, tetapi berdasarkan pada
konsentrasi umat dan tempat ibadah yang ada. MATAKIN berdasarkan Pancasila,
independen dan tidak berafiliasi dengan atau kepada organisasi sosial politik
manapun, baik di dalam maupun luar negeri. Seusai Orde Baru, pemeluk
kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan atas
identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama yang banyak
pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu.
Agama Khonghucu sempat mengalami
hambatan dalam perkembangannya. Pada masa pemerintahan orde baru, agama
Khonghucu dilarang oleh pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan umat Khonghucu
menjadi terhambat. Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau
Tionghoa. Kemudian disusul pada tahun 1978 diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 antara lain
menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Buddha, sehingga mulailah keberadaan umat Khonghucu
dipinggirkan.
Umat Khonghucu di Indonesia hidup
dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan
diskriminatif sehingga mempunyai dampak negatif bagi perkembangannya. Sebagai
akibat dilarangnya agama Khonghucu, banyak pemeluk kepercayaan tradisional
Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari lima agama
yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan
komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu
agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha.
Demikian juga dengan tempat ibadah
yaitu Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa
juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan
tempat ibadah agama Buddha. Hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga
dilanggar. Penganut agama Khonghucu tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dengan agama Khonghucu. Pada akhirnya merekabiasanya memilih agama Buddha
atau Kristen untuk dicantumkan dalam KTP.
Tri Dharma dalah salah satu aliran
dalam agama Buddha di Indonesia. Tri Dharma berasal dari kata Tri dan Dharma.
Tri berarti tiga dan Dharma berarti ajaran kebenaran. Jadi secara harfiah Tri
Dharma berarti tiga ajaran kebenaran yang terdiri dari Buddhisme,
Konfusianisme, dan Taoisme. Karena alasan inilah banyak pemeluk agama Khonghucu
bernaung dalam aliran agama Buddha Tri Dharma. Namun tidak tertutup kemungkinan
bahwa umat Khonghucu juga masuk ke aliran agama Buddha lain.
Umat agama Khonghucu kembali
mendapatkan hak kebebasan beragamanya setelah rezim orde baru berakhir atau
memasuki era-reformasi. Reformasi secara bahasa berarti perubahan pada proses bergulirnya
sejarah perpolitikan Indonesia. Masa reformasi di Indonesia terjadi setelah
berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Masa
Reformasi dimulai di bawah pimpinan Presiden BJ Habibie, kemudian diteruskan
oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang
Yudoyono. Di era-Reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya
Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat
Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung
sebelumnya.
Keputusan tersebut berlaku sejak 17
Januari 2000. Keppres ini mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap
perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Agama Konghuchu
sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan
pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan
etnis Tionghoa.
Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang
lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP ini
salah satu isinya diamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan
di jalur pendidikan formal. Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis
Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pasal 2 dan
penjelasan undang-Undang ini mendefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang
Indonesia asli.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan, pasal 106 dinyatakan pencatatan
perkawinan agama Khonghucu di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil
tidak mau mencatat pernikahan agama Khonghucu. Para pemeluk agama Khonghucu
mempunyai altar keluarga atau altar leluhurnya yang disebut Kongpo, Hiolo
(Xiang Lu), Lingwei. Mereka juga beribadat di altar sembahyang Tuhan YME yang
menghadap ke langit lepas di dalam keluarga masing masing.
Keluarga Khonghucu di Indonesia sudah
memiliki tradisi beribadah kepada Tuhan YME yang disebut Thikong (Tian Gong),
kepada para suci (Shen Ming), terutama leluhur masing masing. Tata ibadah agama
ini diajarkan oleh Nabi Besar Kong Zi, yang dapat dilihat pada kitab suci
Catatan Kesusilaan Li Ji. Ibadah telah menjadi bagian keseharian pemeluk agama
Khonghucu, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebuah sistem altar di
rumah ibadah Kelenteng (Miao), tempat kebaktian agama Khonghucu (Kong Miao
Litang), bersumber pada sebuah Kong Zi Miao dan Wen Miao. Semua Kelenteng di
seluruh dunia termasuk di Indonesia pasti mempunyai standar sistem altar dan
perlengkapan, serta tata ibadah / ritual maupun ornamen keagamaan kompleks bangunan
Kongzi Miao dan Wen Miao.
C. Pokok-Pokok Ajaran Agama Khonghucu dan Implikasi Nilai
Humanisme dalam Ajaran Agama Khonghucu terhadap Interaksi Sosial
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu
(juga: Kong Fu Tze atau Konfusius) Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini
melainkan dia hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum
kelahirannya seperti apa yang dia sabdakan: "Aku bukanlah pencipta
melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut".
Meskipun orang kadang mengira bahwa
Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral
dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan
utuh tentang Ru Jiao atau Agama Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam
agama Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para
penganutnya. Agama Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar
sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan
hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut
dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh
Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia
17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran
ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku
moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut
ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM.
Konfusianisme
mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit
dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat
nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan
susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Gery
mengemukakan intisari ajaran Khonghucu adalah Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng
Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
1) Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2) Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen
Jie De)
3) Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang
(Cheng Li Ming Ming)
4) Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh
(Cheng Zhi Gui Shen)
5) Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng
Yang Xiao Shi)
6) Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi
Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
7) Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu
Jing (Cheng Qin Jing Shu)
8) Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing
Da Dao)
Di dalam budaya religius Ru Jiao
diajarkan adanya Lima Hubungan Kemanusiaan (Wu Lun) yang dikenal juga sebagai
Lima Jalan Suci Bermasyarakat (Wu Da Dao). Ke lima Jalan Suci Bermasyarakat
tersebut meliputi:
1) Jun Chen = hubungan Jalansuci antara atasan
dan bawahan
2)
Fu Zi = hubungan Jalan suci antara
orangtua dan anak
3)
Fu Fu = hubungan Jalan suci antara
suami dan isteri
Metode ini menfokuskan penelitian pada tiga hal
yaitu: tentang tokoh berpengaruh dalam suatu agama atau gerakan keagamaan,
mengenai naskah atau buku, dan penelitian arsip.
Konfusius tidak menghalangi orang
Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tetapi hanya yang patut disembah, bukan
menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang
dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha
memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya
Mengzi ke seluruh Tiongkok dengan beberapa perubahan.Terlepas dari isu sosial
di atas pemakalah menyadari bahwa manusia butuh sekali akan agama. Karena
sebagai tuntunan dan pedoman manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik. Tanpa
agama manusia bagaikan anak kecil yang terlantar. Tuhan dalam ajaran Khonghucu
sering disebut dengan istilah Thisu atau Tee artinya tuhan yang maha besar atau
tuhan yang menguasai langit dan bumi. Di dalam kitab Ngo King biasa diberi kata
sifat sebagai berikut :
- Siang Thian artinya thisu yang maha
tinggi
-
Hoo Thian artinya thisu yang maha besar
-
Chong thian artinya thisu yang maha suci
-
Bien thisu artinya thisu yang maha pengasih
-
Hong thisu artinya thisu yang maha kuasa, maha pencipta
- Sing tee artinya tee yang
menciptakan alam semesta Khonghucu sendiri percaya adanya thisu yang selalu
harus dihormati dan dipuja karena dialah yang menjaga alam semesta. Oleh karena
itu, manusia harus melakukan upacara keagamaan sederhana dan senikmat mungkin
akan mendapatkan berkah dari thisu. Dalam kaitan ini, umat manusia harus
mencermati dan melandasi tingkah laku orang tua, karena menurut Khonghucu orang
tua adalah wakil thisu.[31]
Selain kepercayaan terhadap thisu
dalam ajaran Khonghucu terdapat juga terdapat kepercayaan terhadap malaikat
(dewa-dewa), roh-roh suci dan para Nabi, para penganutnya perlu melakukan
penghormatan, sesaji dna kepribadian pada mereka, pada prinsipnya manusia
dilahirkan dalam kondisi yang baik. Manusia berkewajiban merealisasikan kodrat yang
baik dan memelihara yang sudah mati. Selain itu manusia terdiri dari kehidupan
jasad (phik) tempat berkembangnya nyawa (kwi) dan semangat (khi) sebagai tempat
berkembangnya roh yang harmonis itulah yang hendak dicapai dalam bimbingan
agung.[32]
Suatu ketika, Chung Yu, salah seorang
muridnya bertanya kepada Khonghucu tentang jiwa, yang dijawabnya: “Jika kamu
tidak dapat mengetahui orang bagaimana kamu dapat mengetahui jiwa?” Apabila ia ditanya
tentang kematian; ia menjawab: “Jika kamu belum mengerti tentang hidup,
bagaimana kamu bisa mengetahui tentang kematian?” Juga dikatakan tentang dia,
bahwa dia tidak pernah berbicara tentang keajaiban, kekuatan, atau masalah
ketuhanan. Tetap tidak ada keraguan bahwa Khonghucu percaya pada Tuhan dan ia
adalah seorang monoteis yang etis. Ia menyatakan bahwa kehendak Tuhan telah
dibukakan untuknya dan karena itu misinya adalah membuat kehendak tersebut
berlaku di dunia ini.[33]
Ajaran Khonghucu juga sangat
menekankan etika. Etika menempati posisi yang sangat sentral dalam semua aspek
kehidupan, termasuk dalam dunia politik. Khonghucu selalu mengacu kepada etika
yang dikembangkan oleh kaum bijak kuno (Nabi dan Raja Suci).[34]
Khonghucu percaya bahwa di dunia ii
dibangun atas dasar moral. Jika masyarakat dan negara secara moral rusak, maka
tatanan alam tersebut juga akan terganggu, sehingga terjadilah perang, banjir,
gempa, kemarau panjang, penyakit dan sebagainya. Khonghucu memberi penghormatan
yang sangat tinggi kepada manusia, yang diyakininya untuk diberkahi dengan
cahaya ketuhanan. Ia berkata: “Orang-orang yang membuat sistem-sistem itu
menjadi hebat, bukan sistem-sistem yang membuat mereka hebat.” Khonghucu
percaya bahwa seseorang itu asalnya adalah baik dan akan kembali ke sifat yang
baik. Ia percaya bahwa orang tidak memerlukan juru selamat. Apa yang diperlukan
oleh manusia adalah guru berbudi, dengan melakukan sungguh-sungguh ajarannya,
serta menjadi contoh teladan bagi orang lain.[35]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agama dewasa ini sering disebut sebagai fenomena
maupun sebagai budaya. Isu-isu sosial seperti adanya perang, adanya kemiskinan
dan berbagai penderitaan memunculkan satu statement dari kaum pragmatis yaitu
kemanakah agama itu? Mengapa masih ada peperangan, kemiskinan dan kerusuhan
lainnya jika agama itu ada kenapa tidak mendamaikan, menentramkan dan
mensejahterakan?.
Terlepas dari isu sosial di atas pemakalah menyadari
bahwa manusia butuh sekali akan agama. Karena sebagai tuntunan dan pedoman
manusia untuk menuju ke arah yang lebih baik. Tanpa agama manusia bagaikan anak
kecil yang terlantar.
Mengenai konflik atau terjadinya perselisihan karena
agama. Misalnya adanya konflik internal dalam agama Islam yang sering
menjadikan kerusuhan bahkan perpecahan adalah disebabkan oleh kesalahpahaman
yang mendalam. Agama begitu dogmatis dan kadang pengikut dari agama itu terlalu
fanatik sampai melupakan aspek sosialnya. Dalam Islam sumber ajarannya satu
yaitu al Qur’an dan Hadits. Kedua sumber tadi sifatnya tekstual dan ada yang
sangat butuh untuk diinterpretasikan. Dan dalam penafsiran tadi atau secara
kontekstual terjadi perbedaan hasil mengingat manusia dibekali potensi yang
berbeda-beda. Maka untuk itu ada baiknya kita memahami perbedaan ini sebagai
suatu rahmat jangan dijadikan bahan untuk diperdebatkan maupun diperselisihkan.
Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy
Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only
their own religion, know none, those who are not decisively committed to one
faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”.
Pada intinya dengan mengetahui perbedaan dan perasamaan berbagai agama kita
mengetahui banyak hal dan akan sangat menghargai perbedaan itu sebagai
perdamaian dan persatuan. Dan dengan mengetahui agama lain kita akan semakin
memahami kebenaran agama kita yaitu Islam. Wallahu ‘alam.
Daftar Pustaka
Choiron.
2009. Perbandingan Agama KAjian Agama-agama dalam Perspektif Komparatif,
Kudus: STAIN Kudus
Geddes
& Grosset Ltd. 1990. Webster’s New Dictionary and Thesaurus.
Scotland: New Lanark
Jirhanuddin.
2010. Perbandingan Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kahmad,
Dadang 2000. Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama:
Pustaka Setia: Bandung
.
2002. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Moh
Rifai. 1984. Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana
M.
Quraish Shihab, 1996. Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan
Rahman,
Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yusuf,
Syamsu. 2003. Psikologi Belajar Agama. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
M. Ikhsan Tanggok, 2005. Mengenal
Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan
Bakry Hasbullah. 1986. Ilmu
Perbandingan Agama, Bumirestu, Jakarta
A. Mukti Ali, dkk. 1988. Agama-agama
di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press
M. Nahar Nawawi. 2003. Memahami
Khonghucu Sebagai Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Huston Smith. 2001. Agama-Agama
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
http//:bps.go.id
www.matakin.or.id
[1] Budhy Munawar Rahman,. Islam
Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Raja Grafindo Persada, Jkarta,
2004, hlm. 17.
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, MIzan,
Bandung, 1996, hlm. 366.
[3] Jirhanuddin, Perbandingan
Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 1.
[4] Dadang Kahmad,
Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 13.
[6] Ibid.
[7]Dadang Kahmad, Metode
Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia,
Bandung, 2000, hlm. 22.
[8] www.matakin.or.id
[10]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm.
12.
[12]
A. Mukti Ali,
dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.219
[13]M. Ikhsan Tanggok, Mengenal
Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 13
[14]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 11
[16]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm.
13-14
[17]
Huston Smith,
Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.
189.
[18]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 14
[19]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm. 14
[21]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm.
15.
[22]
M. Ikhsan
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2005, hlm.
15-16
[24]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 11-12.
[25]
A. Mukti Ali,
dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.219
[26]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 12-13.
[27]https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[29] https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
[31]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 37-38.
[32]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 41-42.
[33]
A. Mukti Ali,
dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.220.
[34]
M. Nahar
Nawawi, Memahami Khonghucu Sebagai Agama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003, hlm. 43.
[35]
A. Mukti Ali,
dkk, Agama-agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm.220.
No comments:
Post a Comment