المبادئ السياسى
NDP
(Nilai Dasar Perjuangan)
NDP merupakan landasan
perjuangan, dan ini perlu disosialisikan pada setiap kader/anggota. Tujuan NDP
merupakan filsafat sosial dalam melakukan perubahan sesuai tujuan. Maka NDP
merupakan filsafat sosial yang bersumber dari ajaran Islam. Filsafat sosial ini
diturunkan menjadi teori-teori sosial yang teori-teori ini akan memberikan
konsepsi yang jelas pada arah gerak perubahan sosial yang dilakukan oleh
Jam’iyah. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain :
1.
Tauhid, Ilmu dan Amal.
2.
Ilmu, Amal dan Ikhlas.
3.
Iman, Islam dan Ihsan.
4. Sufistisk,
Intelektual dan Nasionalis.
A. Pengertian
tentang Dasar-Dasar
Keyakinan
Manusia
memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan sebuah
keyakinan yang membentuk tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap
tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi
selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus
merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah bukan saja menimbulkan keyakinan yang tidak
dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan
kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk
kepercayaan itu berbeda satu dengan yang
lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah
satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk
kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur
baur.
Sekalipun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan yang di yakini itu melahirkan
nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang
diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.
Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap
kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi
sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia.
Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai
guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi
yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh
karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia
harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan
kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah
kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan.
Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan (Allah).
Perumusan
kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain
Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak
ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan dan keyakinan,
sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu
keyakinan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia
membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala
akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk
pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti
tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk
manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.[1]
Tuhan
itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan
akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang
bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena
kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri
kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan
kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang
Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan
sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan
indera.
Mengutip filsafat Neopythagoris, “bahwa yang Ilahi
adalah yang ada, yang tak tergerak, realitas yang sempurna, subtansi yang tak
berjasad, sedang benda pada dirinya adalah gerak yang tak teratur,
kemungkinan murni, yang menjadi
pengandaian eksistensi segala sesuatau. Di dalam yang Ilahi itu hadirlah
idea-idea sebagai gagasan-gagasan yang Ilahi, sebagai pola-asal segala
kenyataan, sehingga segala yang ada di bentuk sesuai dengannya. Yang Ilahi
sendiri tidak terhampiri dan oleh karenannya juga berada jauh lebih tinggi dari
pada yang bendawi. Hakekatnya tidak dapat dikenal, namanya tidak dapat di
ucapkan, sifat-sifatnya tidak dapat dimengerti, ketinggianya tidak mungkin
dapat di ketahui”.[2]
Sesuatu
yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi
sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi
tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian
juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada
manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para
Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk
menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah
lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa atau Yesus anak
Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada
Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu
Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan"
atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis
besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan
manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan
cara lain.[3]
Jadi
untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus
berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan
Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari
kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian
di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha
Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti
diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan
secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu
adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada
pula berbapa”.[4] Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan
seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha
Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir
dan Yang Bathin,[5] dan "kemanapun manusia berpaling maka
disanalah wajah Tuhan".[6] Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu
berada".[7] Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai
"yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan
adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya;
sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan
kecintaan kepadaNya, Ia pun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada
"persetujuan" atau "ridhanya". Inilah
kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan
hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan
menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti.[8] Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti
hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari pada sebaik-baiknya
penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara
harmonis.[9] Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan
peradabannya.[10] Maka alam dapat dijadikan obyek penyelidikan guna
dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya.
Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.[11]
Jadi
kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan
semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran dari pada dunia
lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana.[12] Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme
yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun
filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan
obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan
bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan
adalah satu sudut dari pada filsafat materialisme.
Manusia
adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi.[13] Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah"
atau wakil Tuhan di bumi.[14] Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk
memakmurkannya.[15] Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada
manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia.
Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah".
Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya
terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai
sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan
alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia
karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu
tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri.[16] Ketidak patuhan itu disebabkan karena sikap menentang
atau kebodohan.
Hukum
dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan",
sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam
suatu proses yang tiada henti-hentinya.[17] Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan
menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah
Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu.[18] Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat
sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti
bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus
mengetahui jalan menuju kebenaran itu.[19] Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja
nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.[20]
Oleh
karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi
oleh ilmu.[21] Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang
wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi
tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia
harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan
padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana
diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif
sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian
atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan
(sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha
Esa.[22]
Ini
disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik"
artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka
jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban
kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan
sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat
merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau
duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama",
atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja.[23] Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis,
seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah
pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi
atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.[24] Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama",
maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam
wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang
non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui
kejadian-kejadiannya.[25]
B.
Pengertian tentang Dasar Kemanusiaan
dan ke-Tuhanan
Telah
disebutkan di atas, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia
yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya,
mulainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan
yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia
berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).[26] "Dhomier" atau hati nurani adalah
pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia
ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa.[27] Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan
prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati
nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan
dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya.[28] Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti
sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit.[29] Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya.
Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai
dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya
di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad)
ia menderita kepedihan.[30]
Hidup
yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan
sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang
mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya.[31]
Dia
diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran.[32] Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga
sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban
dan berkebudayaan.[33] Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan
(wisdom, hikmah).[34] Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan
lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya.[35] Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang
benar, penahan amarah dan pemaaf.[36] Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi
milik dari pada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh
kearah yang lebih baik.
Seorang
manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan fisiknya
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua
kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan
kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan
melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,
menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan
wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan
individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai
anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya
adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya
tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan
jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran
niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran.[37]
Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal
perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran
langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni.[38] Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai
pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh
tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih).[39] Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan
pelakunya dan memberinya kebahagiaan.[40] Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis
pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang
paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada
kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari
hati nurani yang hanief atau suci.
Telah
jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab
penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas
pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah
kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari
dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada
kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian
kepada-Nya.
Jadi
kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai
dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah
kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri.
Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan
mutlak dari pada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate)
dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam
perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu
"Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian, Tuhan itu menyatakan diri
kepada manusia sebagai Allah.[41] Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala
kebenaran.[42] Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang
maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh
sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa.
Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan
kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau
"ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya
kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata.
Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai
kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho
kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang
bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.[43]
Kata
"iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan
sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap
menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi
nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME.[44] Pelakunya disebut "Muslim". Tidak
lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia
sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan
menyembahkan diri kepada Tuhan YME.[45] Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada
Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan
kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan
terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang
kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia
adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas)
dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata
mengambil bagian sepenuh mungkin dalam
menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian
kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human
totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan
moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban
dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada
dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan
dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan
kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya
sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh
karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak
dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan
nyata.[46] Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan
dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan
sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha
yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan
kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan
yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari pada iman
(lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x
pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan.
Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka
tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan
adalah tidak sejati.[47] Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat
mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar
selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban.[48]
"Syirik"
merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan,
dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri
kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan.[49] Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan
orang karena syirik.[50] Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan
diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik
seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil,
yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena
nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan
kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik"
adalah pelaku dari pada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu
selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan
menjadi setingkat dengan Tuhan.[51] Demikian pula seseorang yang menghambakan
(sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat
dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.[52] Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap
kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Maka
sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan
sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang
memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya.
Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ihsan). Maka ketuhanan
menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia.[53] Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan
adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak
asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan
itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan
tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin
memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya
dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka
dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi
dengan lainnya.[54] Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk
kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa
kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang
berbeda-beda.[55]
Pemenuhan
suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja.[56] Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari
satu lingkungan ke lingkungan lainnya.[57] Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa
memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya
melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun
inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna
dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya,
tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan
keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah
merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti
hawa nafsu.[58]
Ancaman
atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap
kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu
tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah
esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan
membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu
orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak
dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan
orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian
kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala
bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan.
Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga
diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan
kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota
masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.[59]
Sejarah
dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang
benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah
ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat
buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil
ditanggung manusia.[60] Manusia merasakan akibat amal perbuatannya
sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian-sesudah
sejarah.[61] Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan
yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan.[62]
Manusia
mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya
dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri
tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan
masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan
sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap
orang.[63]
Dari
seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa
inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau
Amal Saleh.[64]
Iman
dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri
yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada
kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri
kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang
bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah
yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan
manusia?.
Sebagaimana
setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula
perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua
nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu
tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala
yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).[65] Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau
dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.[66]
Oleh
karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu
tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis,
tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner.[67] Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan
dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai
kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu
menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.
C.
Ilmu Pengetahuan dan Kesetaraan di
Hadapan Tuhan
Ilmu
pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran
dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak
sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak.
Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai
oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan
sejarahnya sendiri.[68]
Jadi
ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang
dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang
menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.[69] Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia
mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.[70]
Ilmu
pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang
dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan
alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam
dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan
kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab
alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal
itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau
rasio.[71]
Demikian pula manusia harus memahami sejarah
dengan hukum-hukum yang tetap.[72] Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk
sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika
setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang
daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.[73]
Tetapi
cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik
sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik
dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa
yang akan datang.[74] Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti
kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.
“Prinsip keadilan adalah kreteria Islam”,
demikian yang dikatakan oleh Muthahhari.[75] Pernyataan tersebut tidak lain adalah menegaskan
bahwa Islam adalah agama keadilan sebagaimana yang seringkali dikatakan. Memang
sejarah kehidupan Nabi Muhamad sebagai pembawa Islam menunjukkan betapa beliau
senantiasa berusaha mewujudkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan dalam
Al-Qur’an.[76] Sejarah juga menunjukkan jika kedatangan Nabi SAW
membawa ajaran yang membawa pembaruan secara sangat revolusioner terhadap
nasib, harkat dan martabat.[77]
Tentang ke-imanan, yang telah disebutkan di muka dapat
ditarik kembali menjadi sebuah kesadaran akan kesetaraan dalam Islam. Iman
kepada Allah, yang menumbuhkan rasa aman dan kesadaran mengemban amanat Ilahi
itu, menyatakan diri keluar dalam sikap-sikap terbuka, percaya kepada diri
sendiri (karena bersandar [yakni tawakkal kepada Tuhan], dan karena ketentraman
yang diperoleh dari orientasi hidup kepada-Nya). Dan karena iman
mengimplikasikan pemutlakan hanya kepada Tuhan serta penisbian segala sesuatu
selain dari pada-Nya, maka salah satu wujud nyata iman yaitu sikap tidak
memutlakkan sesama manusia atau pun sesama makhluk (yang justeru membawa
syirik), sehingga tidak ada alasan untuk takut kepada sesama manusia dan sesama
makhluk itu. Sebaliknya, kesadaran sebagai sesama manusia dan sesama makhluk
akan menumbuhkan pada pribadi seseorang beriman rasa saling menghargai dan
menghormati, berbentuk hubungan sosial yang saling mengingatkan tentang apa
yang benar tanpa hendak memaksakan pendirian sendiri.[78]
Islam sebagai agama universal telah mengimplikasikan
adanya paham banyak pintu menuju Tuhan, menekankan perlunya pemahaman yang baik
mengenai persaudaraan antar umat beragama bahwa setiap manusia itu setara
dihadapan Tuhan, hanya saja tingkat kepatuhan dan penghambaan yang berbedalah
yang membedakannya. Islam universal telah meniscayakan untuk saling kompromi,
toleransi, dan menjauhkan diri dari klaim dan menganggap diri sebagai yang
paling benar.[79] Adalah menarik apa yang dikatakan Jalaludin
Ar-Rumy sebagaimana dikutip oleh Harold Coward: “Meskipun ada
bermacam-macam cara, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa banyak
jalan menuju Ka’bah? Oleh karena itu, apabila yang anda pertimbangkan adalah
jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun
apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya
pada satu tujuan.”[80]
D.
Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan
Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan
yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti
kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan
dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan
sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan
manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari pada kemauan baiknya.
Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari pada kehidupan manusia sejati.
Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah
mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan
baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus.[81] Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi
melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari
amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat
pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan
yang mutlak.[82] Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat
sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi
individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada
kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri.
Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak dari pada awal
perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi
individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada
kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu
dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah
alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah
bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.
Oleh
karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup
ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari pada kemanusiaan,
tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas
dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan
adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai
benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak
pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya
"keharusan universal" atau
"kepastian umum" dan “takdir”.[83]
Jadi
kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan
masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka
apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah
tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap
kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang
diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti
perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya
batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada
kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif
manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar"
artinya pilih merdeka.
Ikhtiar
adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia
merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat
sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak
diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan
kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti
untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan
merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri.[84] Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau
takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan
menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia
tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu
menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa
tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan
diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada
dirinya sendiri, mulainkan juga kepada keharusan yang universal itu.[85]
E.
Kesejatian Pancasila dan Islam sebagai
Ideologi Pembebasan
Dalam kamus Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary
susunan AS Hornby, ideologi didefinisikan sebagai “seperangkat ide-ide
yang mendasari teori-teori tertentu yang di anut oleh suatu kelompok yang
diyakini kebenarannya.” Bertolak dari definisi ini dapatlah ditegaskan bahwa
suatu ideologi memiliki arti yang sangat signifikan bagi daya tahan dan
kelangsungan hidup suatu kelompok atau bangsa karena ia memberikan identitas
yang khas, suatu jatidiri khusus, kebanggaan dan kekuatan tersendiri yang
memberikan inspirasi kepada mereka untuk mencapai tujuan yang mereka
perjuangkan. Dengan demikian, dapat ditekankan bahwa dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi, dan agama. Ideologi menjadi sebuah motor penggerak utama (primer
mover) baik dalam kehidupan sebuah organisasi atau institusi politik maupun
dalam seluruh tatanan kehidupan suatu negara atau bangsa.[86]
Signifikansi sebuah ideologi ini ditegaskan pula oleh Reo
M. Christenson dalam bukunya, Ideologi and Modern Politic, yang mengatakan
bahwa sebuah ideologi berfungsi untuk mempersatukan orang-orang dalam suatu
kehidupan organisasi untuk melakukan suatu tindakan yang efektif secara
bersama-sama. Dengan begitu, tujuan suatu ideologi adalah untuk membangkitkan
gelombang perasaan dan mengerahkan solidaritas tindakan masa, dan kekuatan dari
sebuah ideologi terletak pada kemampuannya untuk menggerakkan arus imajinasi
para penganutnya dan sekaligus ia bisa memobilisasi riak-riak energi para
pendukungnya secara maksimal.
Sentralitas dimensi-dimensi kesejatian sebuah ideologi
akan terletak pada kapasitas dan vitalitas daya tahannya yang akan menampilkan
sosok dirinya sebagai sebuah pandangan hidup yang di anut secara konsisten dan
gigih oleh suatu bangsa. Berangkat dari prespektif seperti ini, kita bisa
mencermati paradigma dan diensi-dimensi dari kesejatian Pancasila, ideologi dan
dasar falsafah negara kita.
Kesaksian-kesaksian sejarah telah menuturkan secara jelas
bahwa Pancasila adalah suatu pilihan atau alternatif sebagai dasar falsafah dan
ideologi negara bagi bangsa Indonesia yang bercorak pluraristik dalam kehidupan
agama, sosial, budaya dan politik. Baik dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 maupun dalam
sidang-sidang Konstituante (1956-1959), Pancasila yang diusulkan sebagai dasar
falsafah dan ideologi negara memperoleh dukungan suara paling banyak dari para
peserta sidang dibandingkan dengan dukungan terhadap dasar-dasar atau paham
lain yang di usulkan ketika itu.
Setelah dinyatakan secara resmi sebagai dasar falsafah
negara pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dipertahankan dan ditegakkan
bersamaan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membawa dan mempertahankan
kelansungan hidup serta eksistensi
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dibuktiakan oleh
para pemimpin bangsa. Dalam mana telah dapat dibuktikan pada masa kecamuk
Revolusi Fisik (1945-1950) telah berhasil mempertahankan Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dari upaya-upaya kaum penjajah yang hendak
menancapkan kembali kuku penjajahan mereka di negeri tercinta ini.
Keberhasilan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rong-rongan kaum penjajah
ini di susul pula oleh keberhasilan mereka dalam mempertahankan Pancasila dari
gerakan-gerakan ekstrem yang terjadi antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-an
seperti gerakan yang terjadi di Aceh DI/TII (pimpinan Daud Beureueh) dan
gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan (pimpinan Kahar Muzakkar), serta
gerakan-gerakan kaum komunis tahun 1948 di Madiun dan gerakan G30S/PKI di tahun
1965.
Semua gerakan ini mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu
hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan dasar falsafah dan ideologi Pancasila yang ketika itu baru
berumur muda mampu memperlihatkan daya tahan dan resistensinya yang sangat
tangguh dalam menghadapi gerakkan-gerakan anti Pancasila yang ditujukan
kepadanya. Kesaksian-kesaksian sejarah menunjukkan kepada kita bahwa segala
gerakan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain selalu gagal
total, dan gerakan-gerakan semacam ini baik dulu, sekarang maupun di waktu yang
akan datang untuk meminjam ungkapan presiden Sueharto “akan selalu terhempas
kandas dan akan selalu menemui kehancurannya sendiri.
Daya tahan dan kelangsungan hidup Pancasila telah
teruji sepanjang sejarah. Pancasila terus dan terus survive. Pancasila telah
berhasil dalam mempertahankan sosok dan jati dirinya sebagai sebuah ideologi
yang kuat dan tangguh. Paradigma dan dimensi-dimensi ideologi yang terkandung
dalam Pancasila bisa berhasil dan bertahan hidup ditentukan paling tidak oleh
tiga dimensi.
Pertama, dimensi
realita. Dimensi ini sangat penting karena sebuah ideologi pada hakekatnya
adalah merupakan suatu refleksi dari situasi yang benar-benar ada dalam
kehidupan masyarakat ketika ideologi tersebut pertama kalinya dirumuskan dan
diperkenalkan kepada mereka. Pancasila mencerminkan secara jelas situasi
semacam ini. Ketika para pemimpin Indonesia pada tahun 1945 mendiskusikan
tentang apa ideologi yang pantas untuk dipakai sebagai dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia, mereka mencoba untuk memahami sifat dasar konfigurasi
masyarakat Indonesia yang bercorak pluralistik dalam kehidupan agama, sosial
budaya dan politik. Pancasila jelas merangkum semua karakter dasar yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia karena itu ia diterima sebagai common
platform oleh semua kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia sehingga
tercipta konsistensi damai di antara mereka.
Kedua, sebuah ideologi harus mempunyai dimensi
idealisme dalam arti bahwa ia harus mengandung seperangkat aspirasi dan
cita-cita yang jelas yang dapat memberikan motivasi, kapasitas dan kekuatan
kepada para pendukungnya untuk bisa bekerja secara bersama-sama dalam membangun
kehidupan yang lebih baik. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,
memiliki arti yang sangat strategis dan bisa memenuhi semua persyaratan ini.
Itulah sebabnya, sosok masyarakat yang dicita-citakan oleh segenap masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur, bahagia lahir bathin yang
berdasarkan Pancasila. Pendekatan yang bersifat parsial terhadap Pancasila,
yaitu dengan menekankan pentingnya sila yang satu atas sila yang lain,
hendaknya tidak dipakai. Pancasila harus dilihat sebagai suatu kebulatan, suatu
totalitas dan kesatupaduan dari seperangkat ide dan konfigurasi nilai yang erat
saling berkaitan dalam dirinya.
Ketiga, dimensi fleksibilitas. Dimensi ini
merekflesikan kemampuan sebuah ideologi untuk menyesuaikan diri dengan proses
pertumbuhan dan perubahan sosial. Sementara ideologi tadi dapat mengadaptasikan
diri dengan dinamika perkembangan sosial, ia pun dapat mewarnai dan mengarahkan
proses perubahan sosial yang tengah terjadi sesuai dengan cita-cita dasar
masyarakat atau bangsa pendukung ideologi itu. Pancassila dapat memenuhi semua
syarat dan karena itu dapat
mengakomodasi perubahan-perubahan sosio-kultural seperti ini. Sebagai contoh,
UUD 1945 dapat dijabarkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan undang-undang,
keputusan, ketetapan, peraturan, dan lain-lain yang jiwa semangatnya sejalan
dengan prinsip-prinsip Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara.
Dalam kaitannya dengan dimensi fleksibilitas ini,
Kepala Negara sering menekankan pentingnya untuk melihat dan mengembangkan
Pancasila sebagai sebuah ideologi terbuka dalam arti ide-ide yang dinamis dan
kreatif.
Selanjutnya, Islam sebagai ideologi Pembebasan.
Ziaul Haque dalam bukunya Revalation and Revolution in Islam menjelaskan
bahwa terdapat tiga raison d’etre di utusnya para Nabi kepada manusia, pertama,
untuk menyatakan kebenaran; kedua, untuk melawan kepalsuan (bathil)
dan penindasan (dzalim); dan ketiga, untuk membangun komunitas yang
hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang.[87] Tiga hal tersebut secara eksplisit dan jelas
disebutkan dalam Al-Qur’an. Berdasarkan perspektif tersebut dapat dikatakan
bahwa para Nabi adalah sosok-sosok revolusioner yang dilahirkan dari rahin
sejarah manusia. Merekalah pengemban misi-misi sosial-religius yang
mengedepankan transformasi bagi pembebasan dan pembelaan kepada kaum yang
terlemahkan dan tertindas.
Revolusi yang dilakukan oleh para Nabi bertujuan untuk
melawan kekuatan-kekuatan diskriminasi, penindasan, dan tahayul. Mereka
merupakan sosok avant garde dalam memberontak terhadap kelompok-kelompok
dan kelas-kelas penguasa yang korup dan lalim. Al-Qur’an memberikan gambaran
yang jelas tentang hal ini. Fenomena nabi Musa misalnya merupakan ibrah dari
perjuangan sosok revolusioner. Dua representasi kekuatan yang antagonistik
ditunjukkan dalam Al-Qur’an. Fir’aun sebagai representasi kekuatan kelas
penguasa (the rulling class) yang kaya, arogan, korup, dan lalim.
Sedangkan pada sisi lain Nabi Musa AS beserta kaumnya, Bani Israil, adalah
representasi sosok kekuatan pembela orang-orang yang lemah, para budak, para
pekerja yang teraniaya, janda-janda, anak-anak yatim dan manusia yang tak
berdaya.[88]
Tidak jauh berbeda dengan fenomena di atas, Nabi Muhamad
SAW dengan Islamnya adalah sosok revolusioner. “Islam adalah agama
pembebasan”,[89] demikian yang dikatakanya. Kalau kita meruntut akar
geneo-historis Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW ini, maka akan tampak
jelas bahwa klaim tersebut tidaklah berlebihan. Di antara misi penting Islam
adalah membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan dan melindungi
orang-orang tertindas, yang miskin, dan para budak. Hanya sebagian kecil saja
dari mereka yang berasal dari kelompok bangsawan kaya dan itupun orang-orang
yang nota bene mempunyai kepedulian terhadap rakyat yang tertindas.
Islam lahir dari miliu perdagangan Mekkah. Sebuah kota
yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan internasional yang besar. Situasi
masyarakat Mekkah pada saat itu bsnysk diwarnai dengan realitas pengedepanan
monopoli dalam perdagangan, penumpukan dan berlomba-lomba mencari harta
sebanyak-banyaknya. Etos kapitalisme yang menjadi keniscayaan bagi mereka telah menciptakan
kesenjangan, gap antara si kaya dan si miskin yang nenganga dan tak terelakkan
dalam realitas sosial Mekkah. Tak ayal lagi, ketika Nabi diutus dengan
tawaran-tawaran ajaran yang mengedepankan etos egalitarian, keadilan, dan
pembelaan kepada kaum tertindas, mendapat perlawanan yang luar biasa kerasnya
dari kaum kapitalis Mekkah, dari para saudagar berpengaruh yang berasal dari
suku Quraisy dan suku-suku lainnya.[90]
Islam adlah sebuah agama dalam pengertian teknis dan
sosial revolutif yang tujuan dasarnya adalah pengedepanan nilai-nilai
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality),
dan keadilan sosial (social justice).[91] Adalah benar jika ada analisa yang mengatakan bahwa
sebenarnya tentangan dan perlawanan kepada Nabi SAW. Bukan terletak pada
ajaranya tentang Tuhan, karena sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa
mereka telah mengenal Tuhan.[92] Tetapi ketakutan mereka lebih pada efek ajaran-ajaran
yang mengedepankan reformasi sosial-ekonomi dalam masyarakat.[93] Muhamad memang tidak mengenalkan Tuhan baru bagi
masyarakat Mekkah, tetapi bagaimana cara
bertuhan itulah yang menjadi sentral tugas kerasulanya. Fazlur Rahman dalam hal
ini ini menjelaskan bahwa sesuatu yang sangat monumental dari ajaran yang
dibawa Nabi Muhamad SAW tidak lain adalah konsep korelasinya dengan suatu
humanisme dan rasa keadilan ekonomi dan sosial yang instensitasnya tidak kurang
dari ide monotheistik ketuhanannya.[94] Ajaran-ajaran inilah yang secara masih dianggap
sebagai ancaman serius bagi eksistensi status quo para kapitalis Mekkah
baik secara sosio-politis maupun ekonomi.
Performa Islam sebagai agama revolusioner yang telah
mampu melakukan perubahan yang sangat monumental baik dalam domain sosial,
ekonomi maupun keyakinan teologis, dalam sejarahnya merupakan etos paradigmatik
yang mesti digali kembali dalam konteks
kekinian. “asal-usul historis Islam bisa membantu kita untuk memahami potensi
revolusionernya”,[95] penggalian kembali etos paradigma revolusioner Islam
adalah sesuatu yang penting sebagai upaya menumbuhkan kesadaran revolusioner
dalam realitas sejarah ke-Islaman. Namun kendati demikian, kesadaran sejarah
saja belumlah mencukupi untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan revolusioner.
Terdapat hal lain yang lebih penting lagi yaitu bagaimana Islam dipahami
sebagai suatu kesadaran praksis. Dalam konteks ini, menjadikan Islam sebagai
ideologi berarti memahami islam sebagai suatu gerakan kemanusiaan (harrakah
al-insaniyah), historis dan intelektual. Hal inilah yang natinya akan
memberikan elan progesivitas praksis bagi penganutnya dan sekaligus akan
menjalankan misinya dalam memberi pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana
praksis sebagai dasar perubahan (change) dan kemajuan kondisi sosial
yang diharapkan.[96]
Menjadikan Islam sebagai kesadaran Ideologis adalah
sebuah keniscayaan untuk sebuah revolusioner, yang menjadi kekuatan praksis
bagi upaya pembebasan manusia dari relitas yang a-humanis dan menindas.
Berkaitan dengan hal ini adalah menarik apa yang dikatakan oleh Aloysius
Pieris, “Tidak ada ide betapapun kuasanya, tak ada visi betapapun besarnya, tak
ada spiritualitas betapapun membebaskanya yang dapat mengakibatkan perubahan
berarti dalam sejarah manusia jika tidak dirumuskan dan disajikan ke dalam
Ideologi”.[97]
Kesadaran agama yang hanya berhenti pada tataran dogmatis
tidak akan memanifestasikan revolusioner, ideologi yang membebaskan. Karena
pada tataran inilah ideologi akan mampu menjadi kukuatan revolusioner untuk
menuju perubahan dalam konteks sosial. Teologi
yang mampu menjadi perangkat ideologi inilah yang akan bisa melakukan
gerak perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi, penindasan dan
pemarginalan.
Struktur sosial sekarang ini yang amat deterministik
sehingga membuat mereka tetap terbelakang, sama sekali tidak membuat mereka
antusias terhadap pendekatan rasional atau intelektual terhadap agama. Hal ini
berarti, teologi pembebasan harus membatasi diri pada area pemikiran murni dan
spekulatif yang ambigu dan mesti melebarkan paradigma praksis sosial sebagai
instrumen paling kokoh untuk membebaskan belenggu umat Islam dari
doktrin-doktrin mistisisme.
Jika agama secara serius dianggap sebagai kebaikan dan
berpihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan
dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis. Haruslah diingat, bahwa
ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma
yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruhndari
ajaran-ajaran teologisini, maka diskursus teologi ini harus ditafsirkan kembali
dalam-terma-terma sosial, politik dan ekonomi modern.[98]
[1] Penjelasan yang sering di
ulang-ulang Drs. KH. Moh. Mansjur, SH. (Alm) Pengasuh Pon. Pes. PPAI
An-Nahdliyah kepada santri-santrinya mengenai kedalaman pemaknaan kalimat
Tauhid dalam kehidupan.
[3] QS. An-Nahl (16:89),
artinya : "Dan kami menurunkan kepada engkau (Muhamad) sebuah kitab
(Al-Qur'an) sebagai keterangan tentang sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang muslim."
[4] QS. Al-Ikhlas (112: 1-4).
[10] QS. Al-Luqman (31:20). Artinya : “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa
Allah menyediakan bagimu segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu
yang ada di bumi dan melimpahkahnya kepada kami karunia-karunia mendatar-Nya
baik yang nampak maupun yang tidak nampak.”
[11] QS. Yunus (10:101).
Artinya : “Katakanlah : perhatikan olehmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi, tanda-tanda dan peringatan itu tidak ada berguna bagi
golongan manusia yang tidak percaya."
[12] QS. As-Shad (38:27). Artinya : “Tidaklah
kami (Tuhan) menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya itu
secara palsu, hal itu hanyalah prasangka orang-orang kafir saja."
[13] QS. At-Tin dan Al-Isra (95:4).
Artinya : “Sesungguhnya kami (Tuhan) telah menciptakan manusia-manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya." (17:70). Artinya : “Dan kami lebih
mereka itu (umat manusia) di atas banyak dari segala sesuatu yang kami ciptakan
dengan kelebihan yang nyata."
[14] QS. Al-An’am (6:165). Artinya : “Dan dialah (Tuhan) yang menjadikan kamu
sekalian (umat manusia) sebagai khalifah-khalifah bumi, serta melebihkan
sebagian dari kamu atas sebagian yang lain bertingkat-tingkat untuk menguji
kamu dalam hal-hal yang telah diuraikan kepada kamu. Sesungguhnya Tuhan cepat
siksanya (akibat buruk dari padanya perbuatan manusia yang salah) dan dia
pastilah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (memberikan akibat baik atas
perbuatan manusia yang benar)."
[15] QS. Hud (11:61). Artinya
: “Dia (Tuhan) menumbuhkan kamu (umat Islam) dari bumi dan menyuruh kamu
memakmurkannya."
[16] QS. Al-Ahzab (33:72). Artinya : “Sesungguhnya kami (Tuhan) menawarkan
semua amanah (akal pikiran) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka
itu menolak untuk menanggungnya dan merasakan keberatan atas amanah itu.
Manusialah yang menanggungnya, sesungguhnya manusia mempersulit diri sendiri
dan bodoh."
[17] QS. Al-Ankabut (29:20). Artinya : “Katakanlah ; mengembaralah kamu ke
muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan-Nya
kemudian mengembangkan pertumbuhannya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
[18] QS. Al-Qashash (28:88).
Artinya : “Janganlah kamu menyembah selain Allah, Tuhan apapun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap segala sesuatu pasti
sirna, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah
kamu di kembalikan.”
[19] QS. Al-Isra (17:72).
Artinya : “Dan barang siapa disini (dunia) buta (tidak berilmu), maka di
akhirat nati akan buta pula dan lebih sesat lagi jalannya."
[20] QS. Al-Isra (17:26). Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu
yang tidak kamu mempunyai pengertian tentang hal itu, sebab sesungguhnya
pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani itu semuanya akan dipertanggung
jawabkan atas hal tersebut."
[21] QS. Al-Mujadalah (58:11).
Artinya : “Allah mengankat orang-orang beriman dan berilmu diantara kamu bertingkat-tingkat
(beberapa derajat)."
[22] QS. Al-Fushilat (41:37).
Artinya : “Janganlah kamu menyembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah
Allah yang menciptakanya.”
[24] QS. Al-Baqarah (2:48).
Artinya : "Dan berjaga-jagalah kamu
sekalian terhadap masa dimana seseorang tidak sedikitpun membela orang-orang
lain dan dimana tidak diterima suatu pertolongan dan tidak suatu tebusan serta
tidak pula itu akan dibantunya."
[25] QS. Al-A’raf (7:187).
Artinya : "Mereka bertanya kepada engkau (Muhamad) tentang hari kiamat
kapan akan terjadi ? Jawablah : Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat
itu hanya ada pada Tuhan. Tidak seorang pun dapat menjelaskan selain dari Dia
Sendiri."
[26] QS. Ar-Rum (30:30).
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
[28] QS. At-Taubah (19:105).
QS. An-Najm (53:39). Artinya : “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang
memperoleh, selain apa yang telah di usahakan-nya.”
[29] QS. As-Shaff (61:2-3).
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan ? AMat besar kebencian di sisi Allah, jika kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
[31] QS. Al-Ankabut (29:6).
Artinya : “Barang siapa berjuang, maka sebenarnya ia berjuang untuk dirinya
sendiri."
[32] QS. An-Nisa’ (4:125). Artinya : "Siapakah yang lebih baik agama
dari pada orang yang menyerahkan diri dengan agama dari seluruh pribadinya
kepada Tuhan yang dia berbuat baik (cinta kebaikan) serta mengikuti ajaran
Ibrahim secara Hanief."
[33] QS.Az-Zumar (39:18).
Artinya : "Mereka yang mendengarkan perkataan (pendapat) berusaha mengikuti yang terbaik (paling
benar) dari padanya. Mereka itulah yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai fikiran."
[34] QS. Al-Baqarah (2:269). Artinya : "Allah menganugrahkan
al-Hikmah(kebijaksanaan) kepada siapa yang ia kehendaki. Dan barang siapa yang
di anugerahi hikmah, ia benar-benar telah diberi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang ber-akal-lah yang dapat mengambil pelajaran."
[35] QS. Al-An’am (6:125).
Artinya : “Barang siapa yang Allah kehendaki diberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia (Allah) melapangkan dadanya. Dan barang siapa yang dikehendaki
kesesatannya, niscaya dadanya dijadikan sempit dan sesak, seakan-akan ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.”
[37] QS. Al-Bayyinah (98:5). Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.”
[75] AN Baqirshani, Teologi
Baru dan Keadilan: Perbandingan dengan Pemikiran Barat”, (Jurnal Al-Huda,
no 3 2001), 81.
[87] Ziaul Haque, Revalation
and Revolution in Islam (New Delhi: International Islamic Publisher, 1992),
30.
[89] Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. Imam Aziz dan Jadul
Maula (Yogyakarta: LkiS, 2000), 130.
[90] Tentang hal ini lebih
lanjut baca Ashar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam (Bombay:
Orient and Longman, 1980).
[93] W. Mongomery Watt, Muhamad
Nabi dan Negarawan, terj. Djohan effendi (Jakarta: Kuning Mas, 1984), 59-84.
[95] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus S. Dan Imam
Baehaqy (Yogyakarta: Lkis, 1993), 84.
[96] Ali Syari’ati, Islam
Madzab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasullah dan Afif Muhamad (Bandung: Mizan,
1995), 18.
[97] Aloysius Pieris, Berteologi
dalam Konteks Asia, terj. A. M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 62.
[98] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus S. Dan Imam
Baehaqy (Yogyakarta: Lkis, 1993), 8.
No comments:
Post a Comment