Tuesday, February 6, 2018

Mabadi' As-siyasi Jam'iyah KOMPAS


المبادئ السياسى

NDP
(Nilai Dasar Perjuangan)
NDP merupakan landasan perjuangan, dan ini perlu disosialisikan pada setiap kader/anggota. Tujuan NDP merupakan filsafat sosial dalam melakukan perubahan sesuai tujuan. Maka NDP merupakan filsafat sosial yang bersumber dari ajaran Islam. Filsafat sosial ini diturunkan menjadi teori-teori sosial yang teori-teori ini akan memberikan konsepsi yang jelas pada arah gerak perubahan sosial yang dilakukan oleh Jam’iyah. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain :

1.      Tauhid, Ilmu dan Amal.
2.      Ilmu, Amal dan Ikhlas.
3.      Iman, Islam dan Ihsan.
4.      Sufistisk, Intelektual dan Nasionalis.



A. Pengertian tentang Dasar-Dasar Keyakinan
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan sebuah keyakinan yang membentuk tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja menimbulkan keyakinan yang tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan yang di yakini itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan (Allah).
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan dan keyakinan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu keyakinan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.[1]
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tata nilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
            Mengutip filsafat Neopythagoris, “bahwa yang Ilahi adalah yang ada, yang tak tergerak, realitas yang sempurna, subtansi yang tak berjasad, sedang benda pada dirinya adalah gerak yang tak teratur, kemungkinan  murni, yang menjadi pengandaian eksistensi segala sesuatau. Di dalam yang Ilahi itu hadirlah idea-idea sebagai gagasan-gagasan yang Ilahi, sebagai pola-asal segala kenyataan, sehingga segala yang ada di bentuk sesuai dengannya. Yang Ilahi sendiri tidak terhampiri dan oleh karenannya juga berada jauh lebih tinggi dari pada yang bendawi. Hakekatnya tidak dapat dikenal, namanya tidak dapat di ucapkan, sifat-sifatnya tidak dapat dimengerti, ketinggianya tidak mungkin dapat di ketahui”.[2]
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain.[3]
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”.[4] Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin,[5] dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan".[6] Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada".[7] Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Ia pun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain). 
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti.[8] Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan dari pada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis.[9] Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya.[10] Maka alam dapat dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.[11]
Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran dari pada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana.[12] Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut dari pada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi.[13] Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi.[14] Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya.[15] Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri.[16] Ketidak patuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan oleh-Nya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya.[17] Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu.[18] Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu.[19] Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.[20]
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu.[21] Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa.[22]
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja.[23] Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.[24] Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya/kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.[25]

B.      Pengertian tentang Dasar Kemanusiaan dan ke-Tuhanan
Telah disebutkan di atas, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, mulainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).[26] "Dhomier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.[27] Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya.[28] Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit.[29] Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan.[30]
Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya.[31]
Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran.[32] Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan.[33] Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah).[34] Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya.[35] Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf.[36] Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik dari pada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran.[37] Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni.[38] Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih).[39] Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan.[40] Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan. Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak dari pada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah.[41] Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran.[42] Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.[43]
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME.[44] Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME.[45] Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata.[46] Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung dari pada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati.[47] Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban.[48]
"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan.[49] Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik.[50] Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku dari pada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan.[51] Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.[52] Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ihsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia.[53] Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya.[54] Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda.[55]
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja.[56] Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.[57] Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu.[58]
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.[59]
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia.[60] Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian-sesudah sejarah.[61] Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan.[62]
Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.[63]
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh.[64]
Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?. 
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).[65] Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.[66] 
Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner.[67]  Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.

C.      Ilmu Pengetahuan dan Kesetaraan di Hadapan Tuhan
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.[68]
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.[69] Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.[70] 
Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio.[71]
  Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap.[72] Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.[73] 
Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang.[74] Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.
                Prinsip keadilan adalah kreteria Islam”, demikian yang dikatakan oleh Muthahhari.[75] Pernyataan tersebut tidak lain adalah menegaskan bahwa Islam adalah agama keadilan sebagaimana yang seringkali dikatakan. Memang sejarah kehidupan Nabi Muhamad sebagai pembawa Islam menunjukkan betapa beliau senantiasa berusaha mewujudkan keadilan sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an.[76] Sejarah juga menunjukkan jika kedatangan Nabi SAW membawa ajaran yang membawa pembaruan secara sangat revolusioner terhadap nasib, harkat dan martabat.[77]
                Tentang ke-imanan, yang telah disebutkan di muka dapat ditarik kembali menjadi sebuah kesadaran akan kesetaraan dalam Islam. Iman kepada Allah, yang menumbuhkan rasa aman dan kesadaran mengemban amanat Ilahi itu, menyatakan diri keluar dalam sikap-sikap terbuka, percaya kepada diri sendiri (karena bersandar [yakni tawakkal kepada Tuhan], dan karena ketentraman yang diperoleh dari orientasi hidup kepada-Nya). Dan karena iman mengimplikasikan pemutlakan hanya kepada Tuhan serta penisbian segala sesuatu selain dari pada-Nya, maka salah satu wujud nyata iman yaitu sikap tidak memutlakkan sesama manusia atau pun sesama makhluk (yang justeru membawa syirik), sehingga tidak ada alasan untuk takut kepada sesama manusia dan sesama makhluk itu. Sebaliknya, kesadaran sebagai sesama manusia dan sesama makhluk akan menumbuhkan pada pribadi seseorang beriman rasa saling menghargai dan menghormati, berbentuk hubungan sosial yang saling mengingatkan tentang apa yang benar tanpa hendak memaksakan pendirian sendiri.[78]
                Islam sebagai agama universal telah mengimplikasikan adanya paham banyak pintu menuju Tuhan, menekankan perlunya pemahaman yang baik mengenai persaudaraan antar umat beragama bahwa setiap manusia itu setara dihadapan Tuhan, hanya saja tingkat kepatuhan dan penghambaan yang berbedalah yang membedakannya. Islam universal telah meniscayakan untuk saling kompromi, toleransi, dan menjauhkan diri dari klaim dan menganggap diri sebagai yang paling benar.[79] Adalah menarik apa yang dikatakan Jalaludin Ar-Rumy sebagaimana dikutip oleh Harold Coward: “Meskipun ada bermacam-macam cara, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa banyak jalan menuju Ka’bah? Oleh karena itu, apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; namun apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”[80]

D.     Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang dari pada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting dari pada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus.[81] Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak.[82] Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak dari pada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari pada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir”.[83]
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih merdeka. 
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri.[84] Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, mulainkan juga kepada keharusan yang universal itu.[85]

E.      Kesejatian Pancasila dan Islam sebagai Ideologi Pembebasan
       Dalam kamus Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary susunan AS Hornby, ideologi didefinisikan sebagai “seperangkat ide-ide yang mendasari teori-teori tertentu yang di anut oleh suatu kelompok yang diyakini kebenarannya.” Bertolak dari definisi ini dapatlah ditegaskan bahwa suatu ideologi memiliki arti yang sangat signifikan bagi daya tahan dan kelangsungan hidup suatu kelompok atau bangsa karena ia memberikan identitas yang khas, suatu jatidiri khusus, kebanggaan dan kekuatan tersendiri yang memberikan inspirasi kepada mereka untuk mencapai tujuan yang mereka perjuangkan. Dengan demikian, dapat ditekankan bahwa dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan agama. Ideologi menjadi sebuah motor penggerak utama (primer mover) baik dalam kehidupan sebuah organisasi atau institusi politik maupun dalam seluruh tatanan kehidupan suatu negara atau bangsa.[86]
            Signifikansi sebuah ideologi ini ditegaskan pula oleh Reo M. Christenson dalam bukunya, Ideologi and Modern Politic, yang mengatakan bahwa sebuah ideologi berfungsi untuk mempersatukan orang-orang dalam suatu kehidupan organisasi untuk melakukan suatu tindakan yang efektif secara bersama-sama. Dengan begitu, tujuan suatu ideologi adalah untuk membangkitkan gelombang perasaan dan mengerahkan solidaritas tindakan masa, dan kekuatan dari sebuah ideologi terletak pada kemampuannya untuk menggerakkan arus imajinasi para penganutnya dan sekaligus ia bisa memobilisasi riak-riak energi para pendukungnya secara maksimal.
            Sentralitas dimensi-dimensi kesejatian sebuah ideologi akan terletak pada kapasitas dan vitalitas daya tahannya yang akan menampilkan sosok dirinya sebagai sebuah pandangan hidup yang di anut secara konsisten dan gigih oleh suatu bangsa. Berangkat dari prespektif seperti ini, kita bisa mencermati paradigma dan diensi-dimensi dari kesejatian Pancasila, ideologi dan dasar falsafah negara kita.
            Kesaksian-kesaksian sejarah telah menuturkan secara jelas bahwa Pancasila adalah suatu pilihan atau alternatif sebagai dasar falsafah dan ideologi negara bagi bangsa Indonesia yang bercorak pluraristik dalam kehidupan agama, sosial, budaya dan politik. Baik dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945 maupun dalam sidang-sidang Konstituante (1956-1959), Pancasila yang diusulkan sebagai dasar falsafah dan ideologi negara memperoleh dukungan suara paling banyak dari para peserta sidang dibandingkan dengan dukungan terhadap dasar-dasar atau paham lain yang di usulkan ketika itu.
            Setelah dinyatakan secara resmi sebagai dasar falsafah negara pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dipertahankan dan ditegakkan bersamaan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membawa dan mempertahankan kelansungan hidup serta  eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dapat dibuktiakan oleh para pemimpin bangsa. Dalam mana telah dapat dibuktikan pada masa kecamuk Revolusi Fisik (1945-1950) telah berhasil mempertahankan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari upaya-upaya kaum penjajah yang hendak menancapkan kembali kuku penjajahan mereka di negeri tercinta ini.
            Keberhasilan bangsa Indonesia dalam mempertahankan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rong-rongan kaum penjajah ini di susul pula oleh keberhasilan mereka dalam mempertahankan Pancasila dari gerakan-gerakan ekstrem yang terjadi antara tahun 1950-an hingga tahun 1960-an seperti gerakan yang terjadi di Aceh DI/TII (pimpinan Daud Beureueh) dan gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan (pimpinan Kahar Muzakkar), serta gerakan-gerakan kaum komunis tahun 1948 di Madiun dan gerakan G30S/PKI di tahun 1965.
            Semua gerakan ini mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar falsafah dan ideologi Pancasila yang ketika itu baru berumur muda mampu memperlihatkan daya tahan dan resistensinya yang sangat tangguh dalam menghadapi gerakkan-gerakan anti Pancasila yang ditujukan kepadanya. Kesaksian-kesaksian sejarah menunjukkan kepada kita bahwa segala gerakan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain selalu gagal total, dan gerakan-gerakan semacam ini baik dulu, sekarang maupun di waktu yang akan datang untuk meminjam ungkapan presiden Sueharto “akan selalu terhempas kandas dan akan selalu menemui kehancurannya sendiri.
                Daya tahan dan kelangsungan hidup Pancasila telah teruji sepanjang sejarah. Pancasila terus dan terus survive. Pancasila telah berhasil dalam mempertahankan sosok dan jati dirinya sebagai sebuah ideologi yang kuat dan tangguh. Paradigma dan dimensi-dimensi ideologi yang terkandung dalam Pancasila bisa berhasil dan bertahan hidup ditentukan paling tidak oleh tiga dimensi.
                Pertama, dimensi realita. Dimensi ini sangat penting karena sebuah ideologi pada hakekatnya adalah merupakan suatu refleksi dari situasi yang benar-benar ada dalam kehidupan masyarakat ketika ideologi tersebut pertama kalinya dirumuskan dan diperkenalkan kepada mereka. Pancasila mencerminkan secara jelas situasi semacam ini. Ketika para pemimpin Indonesia pada tahun 1945 mendiskusikan tentang apa ideologi yang pantas untuk dipakai sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka mencoba untuk memahami sifat dasar konfigurasi masyarakat Indonesia yang bercorak pluralistik dalam kehidupan agama, sosial budaya dan politik. Pancasila jelas merangkum semua karakter dasar yang berkembang dalam masyarakat Indonesia karena itu ia diterima sebagai common platform oleh semua kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia sehingga tercipta konsistensi damai di antara mereka.
            Kedua, sebuah ideologi harus mempunyai dimensi idealisme dalam arti bahwa ia harus mengandung seperangkat aspirasi dan cita-cita yang jelas yang dapat memberikan motivasi, kapasitas dan kekuatan kepada para pendukungnya untuk bisa bekerja secara bersama-sama dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, memiliki arti yang sangat strategis dan bisa memenuhi semua persyaratan ini. Itulah sebabnya, sosok masyarakat yang dicita-citakan oleh segenap masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur, bahagia lahir bathin yang berdasarkan Pancasila. Pendekatan yang bersifat parsial terhadap Pancasila, yaitu dengan menekankan pentingnya sila yang satu atas sila yang lain, hendaknya tidak dipakai. Pancasila harus dilihat sebagai suatu kebulatan, suatu totalitas dan kesatupaduan dari seperangkat ide dan konfigurasi nilai yang erat saling berkaitan dalam dirinya.
            Ketiga, dimensi fleksibilitas. Dimensi ini merekflesikan kemampuan sebuah ideologi untuk menyesuaikan diri dengan proses pertumbuhan dan perubahan sosial. Sementara ideologi tadi dapat mengadaptasikan diri dengan dinamika perkembangan sosial, ia pun dapat mewarnai dan mengarahkan proses perubahan sosial yang tengah terjadi sesuai dengan cita-cita dasar masyarakat atau bangsa pendukung ideologi itu. Pancassila dapat memenuhi semua syarat  dan karena itu dapat mengakomodasi perubahan-perubahan sosio-kultural seperti ini. Sebagai contoh, UUD 1945 dapat dijabarkan oleh pemerintah dengan mengeluarkan undang-undang, keputusan, ketetapan, peraturan, dan lain-lain yang jiwa semangatnya sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
                Dalam kaitannya dengan dimensi fleksibilitas ini, Kepala Negara sering menekankan pentingnya untuk melihat dan mengembangkan Pancasila sebagai sebuah ideologi terbuka dalam arti ide-ide yang dinamis dan kreatif.
                Selanjutnya, Islam sebagai ideologi Pembebasan. Ziaul Haque dalam bukunya Revalation and Revolution in Islam menjelaskan bahwa terdapat tiga raison d’etre di utusnya para Nabi kepada manusia, pertama, untuk menyatakan kebenaran; kedua, untuk melawan kepalsuan (bathil) dan penindasan (dzalim); dan ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang.[87] Tiga hal tersebut secara eksplisit dan jelas disebutkan dalam Al-Qur’an. Berdasarkan perspektif tersebut dapat dikatakan bahwa para Nabi adalah sosok-sosok revolusioner yang dilahirkan dari rahin sejarah manusia. Merekalah pengemban misi-misi sosial-religius yang mengedepankan transformasi bagi pembebasan dan pembelaan kepada kaum yang terlemahkan dan tertindas.
                Revolusi yang dilakukan oleh para Nabi bertujuan untuk melawan kekuatan-kekuatan diskriminasi, penindasan, dan tahayul. Mereka merupakan sosok avant garde dalam memberontak terhadap kelompok-kelompok dan kelas-kelas penguasa yang korup dan lalim. Al-Qur’an memberikan gambaran yang jelas tentang hal ini. Fenomena nabi Musa misalnya merupakan ibrah dari perjuangan sosok revolusioner. Dua representasi kekuatan yang antagonistik ditunjukkan dalam Al-Qur’an. Fir’aun sebagai representasi kekuatan kelas penguasa (the rulling class) yang kaya, arogan, korup, dan lalim. Sedangkan pada sisi lain Nabi Musa AS beserta kaumnya, Bani Israil, adalah representasi sosok kekuatan pembela orang-orang yang lemah, para budak, para pekerja yang teraniaya, janda-janda, anak-anak yatim dan manusia yang tak berdaya.[88]
            Tidak jauh berbeda dengan fenomena di atas, Nabi Muhamad SAW dengan Islamnya adalah sosok revolusioner. “Islam adalah agama pembebasan”,[89] demikian yang dikatakanya. Kalau kita meruntut akar geneo-historis Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad SAW ini, maka akan tampak jelas bahwa klaim tersebut tidaklah berlebihan. Di antara misi penting Islam adalah membela, menyelamatkan, membebaskan, memuliakan dan melindungi orang-orang tertindas, yang miskin, dan para budak. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berasal dari kelompok bangsawan kaya dan itupun orang-orang yang nota bene mempunyai kepedulian terhadap rakyat yang tertindas.
            Islam lahir dari miliu perdagangan Mekkah. Sebuah kota yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan internasional yang besar. Situasi masyarakat Mekkah pada saat itu bsnysk diwarnai dengan realitas pengedepanan monopoli dalam perdagangan, penumpukan dan berlomba-lomba mencari harta sebanyak-banyaknya. Etos kapitalisme yang menjadi  keniscayaan bagi mereka telah menciptakan kesenjangan, gap antara si kaya dan si miskin yang nenganga dan tak terelakkan dalam realitas sosial Mekkah. Tak ayal lagi, ketika Nabi diutus dengan tawaran-tawaran ajaran yang mengedepankan etos egalitarian, keadilan, dan pembelaan kepada kaum tertindas, mendapat perlawanan yang luar biasa kerasnya dari kaum kapitalis Mekkah, dari para saudagar berpengaruh yang berasal dari suku Quraisy dan suku-suku lainnya.[90]
            Islam adlah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial revolutif yang tujuan dasarnya adalah pengedepanan nilai-nilai persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice).[91] Adalah benar jika ada analisa yang mengatakan bahwa sebenarnya tentangan dan perlawanan kepada Nabi SAW. Bukan terletak pada ajaranya tentang Tuhan, karena sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa mereka telah mengenal Tuhan.[92] Tetapi ketakutan mereka lebih pada efek ajaran-ajaran yang mengedepankan reformasi sosial-ekonomi dalam masyarakat.[93] Muhamad memang tidak mengenalkan Tuhan baru bagi masyarakat  Mekkah, tetapi bagaimana cara bertuhan itulah yang menjadi sentral tugas kerasulanya. Fazlur Rahman dalam hal ini ini menjelaskan bahwa sesuatu yang sangat monumental dari ajaran yang dibawa Nabi Muhamad SAW tidak lain adalah konsep korelasinya dengan suatu humanisme dan rasa keadilan ekonomi dan sosial yang instensitasnya tidak kurang dari ide monotheistik ketuhanannya.[94] Ajaran-ajaran inilah yang secara masih dianggap sebagai ancaman serius bagi eksistensi status quo para kapitalis Mekkah baik secara sosio-politis maupun ekonomi.
                Performa Islam sebagai agama revolusioner yang telah mampu melakukan perubahan yang sangat monumental baik dalam domain sosial, ekonomi maupun keyakinan teologis, dalam sejarahnya merupakan etos paradigmatik yang mesti  digali kembali dalam konteks kekinian. “asal-usul historis Islam bisa membantu kita untuk memahami potensi revolusionernya”,[95] penggalian kembali etos paradigma revolusioner Islam adalah sesuatu yang penting sebagai upaya menumbuhkan kesadaran revolusioner dalam realitas sejarah ke-Islaman. Namun kendati demikian, kesadaran sejarah saja belumlah mencukupi untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan revolusioner. Terdapat hal lain yang lebih penting lagi yaitu bagaimana Islam dipahami sebagai suatu kesadaran praksis. Dalam konteks ini, menjadikan Islam sebagai ideologi berarti memahami islam sebagai suatu gerakan kemanusiaan (harrakah al-insaniyah), historis dan intelektual. Hal inilah yang natinya akan memberikan elan progesivitas praksis bagi penganutnya dan sekaligus akan menjalankan misinya dalam memberi pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praksis sebagai dasar perubahan (change) dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.[96]
                Menjadikan Islam sebagai kesadaran Ideologis adalah sebuah keniscayaan untuk sebuah revolusioner, yang menjadi kekuatan praksis bagi upaya pembebasan manusia dari relitas yang a-humanis dan menindas. Berkaitan dengan hal ini adalah menarik apa yang dikatakan oleh Aloysius Pieris, “Tidak ada ide betapapun kuasanya, tak ada visi betapapun besarnya, tak ada spiritualitas betapapun membebaskanya yang dapat mengakibatkan perubahan berarti dalam sejarah manusia jika tidak dirumuskan dan disajikan ke dalam Ideologi”.[97]
            Kesadaran agama yang hanya berhenti pada tataran dogmatis tidak akan memanifestasikan revolusioner, ideologi yang membebaskan. Karena pada tataran inilah ideologi akan mampu menjadi kukuatan revolusioner untuk menuju perubahan dalam konteks sosial. Teologi  yang mampu menjadi perangkat ideologi inilah yang akan bisa melakukan gerak perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi, penindasan dan pemarginalan.
            Struktur sosial sekarang ini yang amat deterministik sehingga membuat mereka tetap terbelakang, sama sekali tidak membuat mereka antusias terhadap pendekatan rasional atau intelektual terhadap agama. Hal ini berarti, teologi pembebasan harus membatasi diri pada area pemikiran murni dan spekulatif yang ambigu dan mesti melebarkan paradigma praksis sosial sebagai instrumen paling kokoh untuk membebaskan belenggu umat Islam dari doktrin-doktrin mistisisme.
                Jika agama secara serius dianggap sebagai kebaikan dan berpihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan, maka agama harus dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis. Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruhndari ajaran-ajaran teologisini, maka diskursus teologi ini harus ditafsirkan kembali dalam-terma-terma sosial, politik dan ekonomi modern.[98]





[1] Penjelasan yang sering di ulang-ulang Drs. KH. Moh. Mansjur, SH. (Alm) Pengasuh Pon. Pes. PPAI An-Nahdliyah kepada santri-santrinya mengenai kedalaman pemaknaan kalimat Tauhid dalam kehidupan.
[2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1980), 60-62.
[3] QS. An-Nahl (16:89), artinya : "Dan kami menurunkan kepada engkau (Muhamad) sebuah kitab (Al-Qur'an) sebagai keterangan tentang sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim."
[4] QS. Al-Ikhlas (112: 1-4).
[5] QS. Al-Hadid (57:3).
[6] QS. Al-Baqarah (2:115).
[7] QS. Al-Hadid (57:4).
[8] QS. Al-An’am dan Al-Furqon (6:73, 25:2).
[9] QS. Al-Mu’minun (23:14). Artinya : "Maka Maha Mulialah Tuhan, sebaik-baiknya pencipta".
[10] QS. Al-Luqman (31:20). Artinya : “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah menyediakan bagimu segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi dan melimpahkahnya kepada kami karunia-karunia mendatar-Nya baik yang nampak maupun yang tidak nampak.”
[11] QS. Yunus (10:101). Artinya : “Katakanlah : perhatikan olehmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tanda-tanda dan peringatan itu tidak ada berguna bagi golongan manusia yang tidak percaya."
[12] QS. As-Shad (38:27). Artinya : “Tidaklah kami (Tuhan) menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya itu secara palsu, hal itu hanyalah prasangka orang-orang kafir saja."
[13] QS. At-Tin dan Al-Isra (95:4). Artinya : “Sesungguhnya kami (Tuhan) telah menciptakan manusia-manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (17:70). Artinya : “Dan kami lebih mereka itu (umat manusia) di atas banyak dari segala sesuatu yang kami ciptakan dengan kelebihan yang nyata."
[14] QS. Al-An’am (6:165). Artinya : “Dan dialah (Tuhan) yang menjadikan kamu sekalian (umat manusia) sebagai khalifah-khalifah bumi, serta melebihkan sebagian dari kamu atas sebagian yang lain bertingkat-tingkat untuk menguji kamu dalam hal-hal yang telah diuraikan kepada kamu. Sesungguhnya Tuhan cepat siksanya (akibat buruk dari padanya perbuatan manusia yang salah) dan dia pastilah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (memberikan akibat baik atas perbuatan manusia yang benar)."
[15] QS. Hud (11:61). Artinya : “Dia (Tuhan) menumbuhkan kamu (umat Islam) dari bumi dan menyuruh kamu memakmurkannya."
[16] QS. Al-Ahzab (33:72). Artinya : “Sesungguhnya kami (Tuhan) menawarkan semua amanah (akal pikiran) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka itu menolak untuk menanggungnya dan merasakan keberatan atas amanah itu. Manusialah yang menanggungnya, sesungguhnya manusia mempersulit diri sendiri dan bodoh."
[17] QS. Al-Ankabut (29:20). Artinya : “Katakanlah ; mengembaralah kamu ke muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan-Nya kemudian mengembangkan pertumbuhannya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
[18] QS. Al-Qashash (28:88). Artinya : “Janganlah kamu menyembah selain Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap segala sesuatu pasti sirna, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu di kembalikan.”
[19] QS. Al-Isra (17:72). Artinya : “Dan barang siapa disini (dunia) buta (tidak berilmu), maka di akhirat nati akan buta pula dan lebih sesat lagi jalannya."
[20] QS. Al-Isra (17:26). Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu mempunyai pengertian tentang hal itu, sebab sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani itu semuanya akan dipertanggung jawabkan atas hal tersebut."
[21] QS. Al-Mujadalah (58:11). Artinya : “Allah mengankat orang-orang beriman  dan berilmu diantara kamu bertingkat-tingkat (beberapa derajat)."
[22] QS. Al-Fushilat (41:37). Artinya : “Janganlah kamu menyembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakanya.”
[23] QS. Al-Fatihah (1:4). QS. Al-Hajj (22:56). QS. Al-Mu’min (40:16).
[24] QS. Al-Baqarah (2:48). Artinya : "Dan berjaga-jagalah kamu sekalian terhadap masa dimana seseorang tidak sedikitpun membela orang-orang lain dan dimana tidak diterima suatu pertolongan dan tidak suatu tebusan serta tidak pula itu akan dibantunya."
[25] QS. Al-A’raf (7:187). Artinya : "Mereka bertanya kepada engkau (Muhamad) tentang hari kiamat kapan akan terjadi ? Jawablah : Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu hanya ada pada Tuhan. Tidak seorang pun dapat menjelaskan selain dari Dia Sendiri."
[26] QS. Ar-Rum (30:30). Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
[27] QS. Ad-Dhzariat (51:56). QS. Ali ‘Imron (3:156).
[28] QS. At-Taubah (19:105). QS. An-Najm (53:39). Artinya : “Dan bahwasanya seorang manusia tiada yang memperoleh, selain apa yang telah di usahakan-nya.”
[29] QS. As-Shaff (61:2-3). Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ? AMat besar kebencian di sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
[30] QS. An-Nahl (16:97). QS. An-Nisa’ (4:111).
[31] QS. Al-Ankabut (29:6). Artinya : “Barang siapa berjuang, maka sebenarnya ia berjuang untuk dirinya sendiri."
[32] QS. An-Nisa’ (4:125). Artinya : "Siapakah yang lebih baik agama dari pada orang yang menyerahkan diri dengan agama dari seluruh pribadinya kepada Tuhan yang dia berbuat baik (cinta kebaikan) serta mengikuti ajaran Ibrahim secara Hanief."
[33] QS.Az-Zumar (39:18). Artinya : "Mereka yang mendengarkan perkataan  (pendapat) berusaha mengikuti yang terbaik (paling benar) dari padanya. Mereka itulah yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai fikiran."
[34] QS. Al-Baqarah (2:269). Artinya : "Allah menganugrahkan al-Hikmah(kebijaksanaan) kepada siapa yang ia kehendaki. Dan barang siapa yang di anugerahi hikmah, ia benar-benar telah diberi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang ber-akal-lah yang dapat mengambil pelajaran."
[35] QS. Al-An’am (6:125). Artinya : “Barang siapa yang Allah kehendaki diberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia (Allah) melapangkan dadanya. Dan barang siapa yang dikehendaki kesesatannya, niscaya dadanya dijadikan sempit dan sesak, seakan-akan ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
[36] QS. Ali Imron (3:134).
[37] QS. Al-Bayyinah (98:5). Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
[38] QS. Al-Baqarah (2:207). QS. Al-Insan (76:89).
[39] QS. Al-Baqarah (2:264).
[40] QS. Al-Fathir (35:10).
[41] QS. Al-Luqman (31:30).
[42] QS. Ali Imron (3:60).
[43] QS. Al-Lail (92:19-21).
[44] QS. Ali Imron (3:19).
[45] QS. Al-Ahzab (33:39).
[46] QS. Asy-Syu’ara’ (26:226).
[47] QS. An-Nur (24:39).
[48] QS. At-Taubah (9:109).
[49] QS. Luqman (31:13).
[50] QS. Al-An’am (6:82).
[51] QS. Ali Imron (3:64).
[52] QS. Al-Qhasash (28:4).
[53] QS. An-Nahl (16:90).
[54] QS. Az-Zukhruf (43:32).
[55] QS. Al-Ma’idah (5:48).
[56] QS. Al-Lail (92:4).
[57] QS. Al-Isra (17:84). QS. Az-Zumar (39:39).
[58] QS. Yusuf (12:53). QS. Ar-Rum (30:29).
[59] QS. Al-Ma’idah (5:2).
[60] QS. Az-Zalzalah (99:7-8).
[61] QS. At-Taubah (9:74). QS. An-Nahl (16:30).
[62] QS. Al-Ankabut (29:69).
[63] QS. Al-Hujurat (49:13). QS. Al-Hujurat (49:10).
[64] QS. At-Tin (95:6).
[65] QS. Al-Qhasash (28:88).
[66] QS. Al-An’am (6:57).
[67] QS. Al-Isra (17:36).
[68] QS. Al-Fussilat (41:53).
[69] QS. Al-Fathir (35:28).
[70] QS. Al-Mujadilah (58:11).
[71] QS. Al-Jasiyah (45:13).
[72] QS. Ali Imron (3:137).
[73] QS. Asy-Syams (91:9-10).
[74] QS. Yusuf (12:111).
[75] AN Baqirshani, Teologi Baru dan Keadilan: Perbandingan dengan Pemikiran Barat”, (Jurnal Al-Huda, no 3 2001), 81.
[76] QS. An-Nahl (16:90).
[77] In’am Esha, Falsafah Kalam Sosial (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 147.
[78] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 191.
[79] In’am Esha, Falsafah Kalam Sosial (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 180.
[80] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 113.
[81] QS. Al-Anfal (8:25).
[82] QS. Al-Baqarah (2:48). QS. Luqman (31:33).
[83] QS. Al-Hadid (57:22).
[84] QS. Ar-Ra’d (13:11).
[85] QS. Al-Hadid (57:23).
[86] Faisal Ismail, Idealisme Versus Realisme (Jakarta: Bakti Aksara Persada, 2003), 21.
[87] Ziaul Haque, Revalation and Revolution in Islam (New Delhi: International Islamic Publisher, 1992), 30.
[88] Ibid, 30.
[89] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme, terj. Imam Aziz dan Jadul Maula (Yogyakarta: LkiS, 2000), 130.
[90] Tentang hal ini lebih lanjut baca Ashar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam (Bombay: Orient and Longman, 1980).
[91] Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, 22.
[92] QS. Luqman (31: 25).
[93] W. Mongomery Watt, Muhamad Nabi dan Negarawan, terj. Djohan effendi (Jakarta: Kuning Mas, 1984), 59-84.
[94] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2000), 2-3.
[95] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus S. Dan Imam Baehaqy (Yogyakarta: Lkis, 1993), 84.                                                                                                                                                                                                  
[96] Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasullah dan Afif Muhamad (Bandung: Mizan, 1995), 18.
[97] Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia, terj. A. M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 62.
[98] Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus S. Dan Imam Baehaqy (Yogyakarta: Lkis, 1993), 8.
Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670