Makalah Analisis Mutu PAI |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam yang terselenggara
di Indonesia sangat membantu mencerdasakan generasi bangsa.[1]
Karena Pendidikan Islam menjadi sarana untuk mendidik, memelihara, dan membina,
dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia agar manusia menjadi
manusia yang seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan ajaran Islam.[2]
Hal ini didukung dengan adanya undang-undang
SISDIKNAS UU No 20 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa prinsip dari
penyelenggaraan pendidikan adalah dengan adalah dengan demokratis, berkeadilan
tidak diskrimantif, menjunjung tinggi HAM, nilai kegamaan, nilai kultural, dan
kemajuan bangsa.[3]
dengan adanya pendidikan agama terlebih Pendidikan Agama Islam yang sekarang sebagai mata
pelajaran yang diberikan kepada seluruh siswa. Muatan yang terkandung
dalam pendidikan Pendidikan Agama Islam
memilki tiga memiliki tujuan untuk
membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi jasmani dan
rohani manusia, menumbuhkan hubungan yang harmon setiap individu dengan Allah
SWT, manusia dan alam semesta.[4]
Karena sebenarnya setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan memang memilki hak untuk mendapatakan pendidikan
Agama sesuai agama yang dianutnyadan diajarkan oleh pendidik yang segama.[5]
Kita mengetahui bahwa dunia
pendidikan sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan
pembaruan. Sekolah-sekolah yang ada di Indonesia terus berpacu memunculkan dan
mengejar keunggulannya. Maka pendidikan Agama Islam juga harus
selalu mengalami pembaruan atau up date sehingga sesuai dengan
keadaan zaman dan mampu menghadapi tantangan zaman. Pendidikan Agama
Islam sering dijadikan sebagai ruh dalam pendidikan. Karena pendidikan
agama Islam memiliki tiga meliputi tauhid, ibadah, dan akhlak yang sangat
penting dalam Islam sendiri. materi pendidikan agama Islam dalam dunia
pendidikan juga mencakup 3 aspek tersebut dengan adanya materi tauhid dalam
pelajaran Akidah, Fikih, dan Akhlak. Pendidikan Agama Islam dalam dunia
pendidikan memberikan sumbangsih yang sangat besar sehingga Indonesia termasuk
negara ketimuran. Artinya menganut pandangan hidup di Timur tengah..[6]
Semakin canggihnya ilmu pengetahuan,
semakin majunya peredaran zaman danmanusiapun beragam. kemewahan di bidang
harta tidak akan menjamin kebahagiaan seseorang jika orang tersebut tidak
bisa menikmati kekayaan itu, apalagi bagi orang yang serba kekuranganatau
merasa kurang cukup terus-menerus. Banyak anak-anak yang tidak patuh lagi
kepada orangtuanya, tentunya sangat dikhawatiran yang mengakibatkan perasaan
tidak tenang dan selalugelisah, bahkan banyak orang yang mengalami penyakit
stress yang mereka sendiri tidak tahuobatnya, mencari tempat berpegang kepada
siapa dan bagaimana cara menenangkan perasaanyang stress itu, bahkan mereka
sering bingung, dihinggapi rasa takut dan rasa bersalah yang tidaktahu
sebabnya.
Oleh karena itu, tentu sangat perlu
dijelaskan bagaimana pendidikan anak sebelum lahir,masa bayi, masa kanak-kanak,
dewasa, bahkan sampai mereka tua. Pendidikan anak pada usiadini juga sangat
dianjurkan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidakdiinginkan.
Karena pendidikan agama islam sejak dini sengat berpengaruh
terhadap pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Proses
belajar dan pembelajaran bisadilakukan pada jalur formal maupun informal.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dan urgensi PAI?
2.
Bagaimana Realitas PAI dalam keseimbangan Negara?
3.
Bagaimana Purifikasi PAI dan
Transformasinya?
4.
Bagaimana Implikasi dan Kebijakan
Pemerintah terhadap PAI?
5.
Bagaimana Prospektif PAI terhadap kebutuhan
Negara?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Pengertian dan Urgensi PAI
2.
Mengetahui Realitas PAI dalam keseimbangan
Negara
3.
Mengetahui Purifikasi PAI dan
Transformasinya
4.
Mengetahui Implikasi dan Kebijakan
Pemerintah terhadap PAI
5.
Mengetahui Prospektif PAI terhadap
kebutuhan Negara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan
Langgulung setidak –tidaknya tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al
diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al- din (pengajaran agama), ta’lim
al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman),
tarbiyah al- muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam
(pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan dikalangan
orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam).[7]
Dalam GBPP PAI di sekolah umum,
dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan
siswa/ peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan
agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan
memperthatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan
antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[8]
Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan
menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan
dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah
kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah
di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[9]
B. Urgensi dan Tujuan Pendidikan
Agama Islam
Visi
dasar pendidikan nasional adalah bagaimana agar manusia Indonesia cerdas
dan memiliki keunggulan dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan
nasional yang dirumuskan dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual
(olah Hati) dirumuskan dengan beraktualisasi diri melalui hati/
kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia
termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. .
Kedua,
cerdas emosional dan social (olah rasa). Beraktualisasi diri melalui olah rasa
untuk meningkatkan sensivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni
dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Beraktualisasi diri
melalui interaksi social yang membina dan memupuk hubungan timbal balik,
demokrasi, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,eria dan
percaya diri, menghargai kebinekaa dalam bermasyarakat dan bernegara serta
berwawasan serta kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.
Ketiga,
cerdas intelektual (olah piker). Beraktualisasi diri melalui olah
piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Aktualisasi insane intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
Keempat,
kompetitif berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan dan bersemangat
juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangunan dan pembinaan
jejaring,bersahabat dengan perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi
global, pembelajaran spanjang hayat.[10]Adapun
secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk “Meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peseerta didik tentang agama
Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah
swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.[11] Dari
tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan
dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:
1. Dimensi
keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2. Dimensi
pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap
ajaran agama Islam
3. Dimensi
penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam
menjalankan ajaran Islam dan
4. Dimensi
pengamalannya, dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah diimani,
pahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu
menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan
menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta mengaktualisasikan dan
merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Singkatnya
dari uraian diatas adalah agar siswa/ peserta didik memahami, menghayati,
meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang
beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.
Proses
pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Praksis
pendidikan yang merupakan kesatuan antarteori dan praktik meliputi
unsur-unsur sebagai berikut: dalam lingkup teori dirumuskan gambaran
manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan
visi dan misi tersebut. Disamping aspek-aspek teoritis terdapat aspek
pelaksanaan atau praktik dari tindakan pendidikan.[12]
M.
Tholhah Hasan mengatakan, bahwa tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Untuk
meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia
2) Untuk
mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia
3) Untuk
menyelaraskan perjalanan fitrah mukhallaqah (fitrah yang diciptakan
oleh Allah swt pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah,
aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (fitrah yang
diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek
kehidupan, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur yang benar, atau
di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”[13]
C. Realitas
Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Dalam sejarah panjangnya, eksistensi
pendidikan Islam sering kali harus berhadapan dengan negara. Artinya, kebijakan
politik pemerintah tentang pendidikan Islam dapat dikatakan tidak kondusif.
Pendidikan Islam barulah mendapat perhatian yang cukup signifikan setelah
lahirnya Undang-Undang Republik IndonesiaNo. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan lebih dikukuhkan lagi oleh lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[14]
Dalam undang-undang yang terakhir ini
secara jelas terasa kesan kuat adanya pengakuan pemerintah secara eksplisit
terhadap keberadaan berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari jenjang taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, pengakuan pemerintah yang
lebih bersifat normatif ini masih dicederai oleh tidak berimbangnya alokasi
dana pendidikan untuk lembaga pendidikan yang berada di bawah pengelolaan
Departemen Agama dibandingkan dengan yang berada di bawah pengelolaan
Departemen Pendidikan Nasional.[15]
Jika dilihat dari kebijakan politik
pendidikan pemerintahan Indonesia, maka realitas pendidikan Islam dapat dipetakan
ke dalam empat periode, yaitu:kebijakan politik pemerintahan pada masa
prakemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi.[16]
Untuk kebutuhan makalah ini hanya akan dijelaskan ciri-ciri pendidikan Islam
pada periode keempat atau masa reformasi. Periode ini di antaranya ditandai
oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Sebagai contoh dapat dilihat dari
lenyapnya berbagai aturan yang dipandang sangat memasung kebebasan mahasiswa
dalam melakukan berbagai kreativitasnya. Mereka dapat merancang berbagai
program sesuai dengan aspirasi yang berkembang. Walaupun begitu, harus pula
diakui bahwa masih ada sejumlah kebijakan yang pernah diterapkan oleh orde
sebelumnya belum sepenuhnya dihapus. Sentralisasi pendidikan seperti dalam hal
kurikulum, ujian, akreditasi, anggaran, dan berbagai aturan lainnya belum jauh
berbeda dengan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Orde Baru.[17]
Secara keseluruhan dapat dikatakan
bahwa pendidikan Islam, sepanjang sejarahnya, senantiasa mengalami
marginalisasi di masa lalu. Oleh karena itu, diperlukan political will dari
pemerintah dan usaha maksimal dari umat Islam sendiri, terutama dari
tokoh-tokoh pendidikan Islam, untuk melakukan pembaruan pendidikan Islam, baik
dari segi epistemologi keilmuannya maupun kelembagaannya tanpa
mengenyampingkan komponen-komponen pendidikan Islam lainnya, seperti tujuan,
kurikulum, metodologi pengajaran, tenaga kependidikan (guru dan dosen), dan
manajemen.
D. Purifikasi Pendidikan
Agama Islam dan Transformasinya
1.
Pembaruan
Epistemologi Keilmuan Pendidikan Islam
Berangkat dari pembidangan keilmuan
yang sudah baku―ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora―dipandang perlu
menempatkan etika Islam yang bersumber pada nilai-nilai universal Alquran dan
hadis Nabi untuk menjiwai seluruh bidang keilmuan tersebut[18].
Pandangan semacam ini menjadi visibel bila dilihat dari sisi teori perubahan
sosial yang lebih dikenal dengan shifting paradigm,yaitu suatu
teori yang menjelaskan bahwa hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan,
baik natural sciences maupun social sciences,
bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang disebut
dengan shifting paradigm. Yang dimaksud dengan shifting
paradigm di sini adalah adanya pergeseran gugusan pemikiran keilmuan
yang memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan
kembali, nasikh–mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun
epistemologi keilmuan.[19] Dengan begitu, maka usaha untuk melakukan
integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah lembaga pendidikan secara utuh
bukanlah sesuatu yang tabu.
Memadukan ilmu agama dan ilmu umum
dalam dinamika pendidikan Islam dimaknai Azyumardi Azra sebagai upaya
memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya seluruh ilmu itu berasal dari Yang
Maha Esa, sedangkan usaha pendalaman dan pengembangan terhadap keduanya merupakan
manifestasi ibadah.[20]
Boleh jadi kemunduran pendidikan
Islam lebih disebabkan oleh adanya pandangan dikotomis tentang ilmu umum dan
ilmu agama. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, Islam sebenarnya tidak
mengenal adanya dikotomi tersebut. Pandangan ini sejalan dengan firman Allah
dalam QS al-‘Alaq/96: 1-5, yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang
dikerjakan hendaklah dimulai dengan menyebut nama Allah, sebab inilah yang
menjadi kunci, apakah suatu pekerjaan memiliki ruh keislaman atau tidak. Selanjutnya
dengan tegas Allah mengatakan bahwa Dia telah mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. Di sini Allah tidak membedakan bahwa yang
diajarkan-Nya itu adalah ilmu agama atau ilmu umum. Dengan begitu, maka
dipahami bahwa asal ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, pastilah berasal
dari sumber yang satu yaitu Allah. Artinya, kalau umat Islam mau memajukan
pendidikan Islam, maka perilaku mendikotomikan ilmu agama dan ilmu umum
haruslah ditinggalkan, karena akan membawa kemunduran bagi umat Islam.
2.
Pembaruan
Kelembagaan Pendidikan Islam
Setiap
akademisi perlu menyadari adanya sinyalemen umum di kalangan stakeholder
pendidikan bahwa kuliah di perguruan tinggi luar negeri lebih mudah, lulusan perguruan tinggi luar negeri lebih
marketable dalam mendapatkan lapangan pekerjaan,kuliah di perguruan tinggi
dalam negeri lebih “sulit” karena banyaknya mata kuliah yang tidak relevan, dan
lulusan perguruan tinggi dalam negeri sulit mendapatkan lapangan pekerjaan.
Untuk itulah, barangkali perlu
disambut positif apa yang disampaikan oleh Suwito dalam pidato pengukuhan
guru-besarnya bahwa sikap kritis dan/atau ketidakpuasan dalam dunia pendidikan
sangat diperlukan karena sikap serupa ini akan dapat melahirkan
keputusan-keputusan atau aksi-aksi baru yang dinilai dapat mengatasi
permasalahan yang muncul. Oleh karena menyangkut hidup, maka keputusan atau
aksi baru yang ditetapkan tidak dapat dianggap sesuatu yang final.[21]
Sebuah penelitian yang dilakukan di
Makassar menemukan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang selama
ini paling kental mengakomodasi materi pendidikan agama ternyata tidak lagi
berbasis MTs dan MA, tetapi sudah berbasis SMP dan SMU. Ini artinya, para
alumni dari lembaga pendidikan Islam ini, secara vertikal, tentu membutuhkan
lembaga pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya berbasis jurusan agama semata,
tetapi juga berbasis jurusan ilmu umum.
3.
Isu-Isu
Kontemporer Pendidikan
Berbagai isu pendidikan, termasuk di dalamnya
pendidikan Islam, dapat dipaparkan sebagai berikut:
a.
Undang-Undang
Guru dan Dosen
Kelahiran Undang-Undang Guru dan
Dosen pada Desember 2005 dimaksudkan untuk memperbaiki wajah pendidikan di
Indonesia melalui perbaikan nasib guru dan dosen. Undang-Undang ini diperlukan
untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan dosen, termasuk perlindungan
profesi dan kesejahteraannya.[22]
Ketika Undang-Undang RI Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut lahir, komunitas guru dan dosen
berharap banyak kepada pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah
yang mengatur perihal akreditasi, sertifikasi, kualifikasi, tunjangan dan
lain-lain, sehingga Undang-Undang ini menjadi efektif dan bermanfaat bagi guru
dan dosen serta memberi implikasi positif bagi dunia pendidikan secara
keseluruhan. Pemerintah memberikan waktu sepuluh tahun, mulai 2007, bagi para
guru untuk memenuhi persyaratan sertifikasi profesi pendidikan dengan memiliki
gelar sarjana serta lulus uji sertifikasi.[23]
Klausul inilah yang membuat Fakultas Tarbiyah dan Keguruan pada lingkungan IAIN
dan UIN menjadi sibuk luar biasa karena harus melaksanakan program yang menjadi
implikasi dari kelahiran Undang-Undang Guru dan Dosen tersebut..
Untuk mensarjanakan para calon guru
dan guru dalam jabatan yang belum sarjana, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
melaksanakan berbagai program seperti: Program Peningkatan Kualifikasi Guru
PAIS pada Sekolah, Program Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI, Program
Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI/PAIS melalui Program Dual Mode System,
Program Peningkatan Kualifikasi Guru PAIS pada Sekolah ke Jenjang Sarjana
Reguler, dan Program Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI Non-PAI.
Sedangkan untuk mensertifikasi guru
PAI dan guru madrasah, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan diberi berbagai
kegiatan seperti: Sertifikasi Guru Jalur Portofolio, Sertifikasi Guru Jalur
Pendidikan, Sertifikasi Guru Jalur PLPG, Peningkatan Kompetensi Guru, dan
paling mutakhir adalah proyek Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun. Proyek
yang terakhir ini sudah memasuki masa penyelesaian dan akan berakhir bulan September
2013. Walaupun begitu, sejumlah program yang berkaitan dengan peningkatan
kualifikasi dan Dual Mode System (DMS) agaknya perlu dikritisi. Program ini
memang merupakan konsekuensi dari lahirnya Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Gosen, tetapi dalam implementasinya banyak hal yang tidak
sejalan dengan teori-teori pendidikan. Secara sederhana 10 x 1 sama jumlahnya
dengan 1 x 10, tetapi dalam perspektif pendidikan 10 x 1 dianggap benar dari
sisi proses, sedangkan 1 x 10 dianggap tidak benar karena kurang manusiawi.
Proyek Peningkatan Kualifikasi Guru
dengan segala variannya, walaupun terlaksana dengan baik, tetapi sesungguhnya
program ini dilaksanakan dengan format minimalis. Dikatakan demikian, karena
pihak LPTK terpaksa harus menjalankan program tersebut walaupun dengan
menganut teori 1 x 10 yang berkonsekuensi ketidakefisienan. Bagi kalangan
pendidikan yang memahami teori-teori pembelajaran tentunya akan mengkritisi
model minimalis tersebut, tetapi inilah kenyataan empirik dunia pendidikan
bangsa ini, apalagi jika dikaitkan wilayah Indonesia Bagian Timur.
b.
Lembaga
Pendidikan dan Mall
Tema ini kelihatannya tidak memiliki
relevansi satu sama lain, tetapi jika ditelaah dari perspektif pendidikan
terlihat bahwa kedua variabel tersebut ternyata memiliki kaitan. Maraknya
aktivitas pembangunan mall dewasa ini sangat kontras dengan aktivitas
pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah. Begitu banyak gedung sekolah atau
lembaga pendidikan yang ambruk karena dimakan usia, tetapi tidak mendapatkan
perhatian serius dari pihak yang berwenang. Usaha untuk membangun lembaga
pendidikan unggulan berjalan sangat lamban, sesuai teori deret hitung,
sedangkan pembangunan mall berjalan begitu cepat, sesuai teori deret ukur.
Maraknya pembangunan mall dipastikan
akan mendorong masyarakat menjadi sangat konsumtif. Sementara itu, usaha
mencerdaskan bangsa melalui lembaga pendidikan unggulan semakin jauh
tertinggal. Kenyataan ini sangat menyedihkan masyarakat pendidikan apalagi
amanat undang-undang agar mengalokasikan APBN danAPBD minimal sebesar 20 %
untuk sektor pendidikan masih jauh dari harapan.[24]
c.
Guru
Ideal Versus Kecurangan Ujian Nasional
Guru bermoral adalah guru yang
memegang teguh kejujuran dalam setiap interaksi sosialnya. Kejujuran seorang
guru akan meretas kejujuran lainnya dan ketidakjujuraan seorang guru akan
menyeret ketidakjujuran lainnya sehingga sangat berbahaya bagi peserta didik,
karena boleh jadi nilai-nilai kejujuran yang diajarkan orang tuanya di rumah
ternyata berbeda dengan kejujuran yang berlaku di sekolah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini
sangat banyak kecurangan yang dilakukan guru bahkan sekolah secara kelembagaan
ketika ujian nasional diselenggarakan. Berbagai ekses UN terus saja muncul ke
permukaan dan yang paling gaduh terkait dengan pelaksanaan UN terjadi pada
tahun 2011, yaitu isu contek massal di SDN Gadel 2 Surabaya. Dalam kaitan ini,
seorang siswa peserta UN bernama Alif Ahmad Maulana bersama kedua orang tuanya,
Siami dan Widodo, melaporkan kepada pihak berwajib bahwa anaknya, Alif Ahmad
Maulana, diminta oleh gurunya untuk memberikan kunci jawaban kepada
teman-temannya. Alif diminta melakukan itu karena ia dianggap sebagai siswa
yang paling pintar di antara siswa lainnya. Perbuatan Alif membantu
teman-temannya, sebagai bentuk ketaatannya kepada guru itu, ternyata selalu
menghantui perasaannya karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran
yang selama ini diajarkan oleh orang tuanya.[25]
Guru dari Alif Ahmad Maulana ini yang
telah mengakibatkan ia bersama kedua orang tuanyaterusir dari kampung
halamannya bukanlah sosok guru yang baik. Guru seperti ini mestinya dipecat
karena akan menyebabkan kerusakan moral peserta didik secara masif di kemudian
hari. Akibatnya, akan lahir generasi yang tidak dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, karena semuanya dianggap baik dan hal ini akan merugikan,
bukan saja negara melainkan juga agama.
Kasus serupa terjadi juga pada
seorang peserta didik bernama Muhammad Abrari Pulungan dari SD 06 Petang
Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang dipaksa gurunya untuk turut serta dalam
permufakatan jahat untuk melakukan penyontekan massal pada saat Ujian Nasional
dan permufakatan jahat ini tidak boleh diberitahukan kepada siapapun termasuk
orang tua. Hal ini telah menyebabkan Abrari mengalami tekanan psikologis yang
luar biasa, sehingga ia ditemani ibunya melakukan komplain kepada gurunya
terhadap permufakatan jahat ini. Hal ini telah dilaporkan kepada berbagai pihak
termasuk kepada KOMNAS Perlindungan Anak dan telah pula dibuat film
dokumenternya berjudul “Temani Abu Bunda”. Berbagai media menulis bahwa kasus
Muhammad Abrari Pulungan ini melengkapai kasus Alif Ahmad Maulana yang
mengakibatkan orang tuanya, Siami dan Widodo, terusir dari kampung Gadel,
Tandel, Surabaya.[26]
E. Implikasi dan Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan
Agama Islam
Pendidikan agama Islam untuk umum
mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu
pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak
zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan
tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama
dimulai pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu
keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut
belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak
yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis
Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen
Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran
pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan
Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama
untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia
bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi
dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan
pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan),
Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
1. Pendidikan
agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2. Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai
diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak
berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai
pada kelas IV SR.
3. Di
sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak
dua jam dalam seminggu.
4. Pendidikan
agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua atau wali.
5. Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh
Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya,
maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor
Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan
Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang
mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap
warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta
menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I) Dalam ayat 3 dari pasal tersebut
dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah
umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa
murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa
tidak menyatakan keberatannya”.
Pada
tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan
sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama
telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari
keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama
menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh Indonesia.[27]
Dari beberapa pemaparan di atas
tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama,
seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua
menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi
kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa pemerintah pada masa
itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan agama juga dapat dilihat dalam PP 55 TAHUN
2007 Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:
(1) Kurikulum pendidikan
agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama
diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3) Pendidikan agama
mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan
sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam
kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama
mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama
yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama
membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur,
amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan agama
menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong
peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup
sukses.
(8) Satuan pendidikan
dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan
kedalaman materi.
Paparan ayat-ayat dari pasal 5 UU no
55 tahun 2007, merupakan perhatian pemerintah terhadap agama yang ada di Negara
Indonesia dalam memberikan kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran
serta pendidikan agama bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa
bangsa Indonesia harus meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar
Negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demikian pula kebijakan
pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam, yang melingkupi
kebanyakan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun 2007 pada
pasal 14; ayat 1,2,3:
(1) Pendidikan
keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2) Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren dapat
menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada
jalur formal, nonformal, dan informal.
Adapun kebijakan pemerintah terhadap
pendidikan agama Islam untuk jalur formal dapat dilihat dari pasal 15;pasal 16;
ayat 1, 2, 3 dan pasal 17; ayat 1, 2, 3, 4
pasal 18; ayat 1, 2 pasal 19; ayat 1, 2 dan pasal 20; ayat 1, 2, 3, 4 :
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam
pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1) Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan
pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan
pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3
(tiga) tingkat.
(2) Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan
pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga)
tingkat.
(3) Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak
penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 17
(1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
tahun.
(2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan
masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima
sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan
diniyah dasar atau yang sederajat.
(4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik
pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah
menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18
(1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib
belajar.
(2) Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Pasal 19
(1) Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan
menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta
didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional
pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri
Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan sangat penting bagi kehidupan. Pendidikan
merubah budaya dan peradaban umat manusia. Pembicaraan seputar Islam dan
pendidikan tetapi
menarik dan tak ada habis-habisnya selagi sejarah umat manusia masih ada.
Pendidikan Islam sering manjadi perbincangan dalam skala besar maupun kecil,
dimeja makan maupun di seminar-seminar, tetap tidak membuat jenuh yang mendiskusikannya,
karena senantiasa berkembang dan akan selalu eksis, terutama terkait dengan
upaya membangun sumber daya manusia
muslim.
Pendidikan Islam sebagai sub dari pendidikan Nasional
yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual
dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia
indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan pendidikan
Nasional.
Pemerintah telah banyak memberikan fasilitas, walaupun
dari sisi lain masih kurang mengena. Namun telah kita rasakan dari berbagai
kebijakan-kebijakan yang ada, baik itu berupa SKB maupun UU tentang pendidikan
agama dan keagamaan. Inilah kesempatan bagi umat beragama lebih khusus lagi
umat Islam untuk memanfaatkan dan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang
telah disediakan.
Meyakini pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar
dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam pembangunan
(dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk
Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi pelopor.
Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:
1. Dari segi
ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai
instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati
oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang bukan Islam. Yaitu untuk
meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih dari itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu pengetahuan
itu sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus, yaitu
kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk
kepada sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus
dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu.
Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu
(HR. Ahmad)
2. Dalam
perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan
ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di
bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia Islam.
Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula menyebarkan pemikiran
Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam oleh dunia
Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para sarjana Islam
terhadap karya Yunani klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya
pemurtadan terhadap filosof Islam lantaran menggandrungi pemikiran Yunani
klasik tersebut.
3. Umat Islam
Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya. Lembaga yang
dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai
harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh
mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan lembaga-lembaga
pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan. Untuk itu,
kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari akan posisinya
dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan dirinya sebagai
“Bank” sumber daya manusia itu.
Disamping itu dalam era
globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih
terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan
globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam
aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.
Adapun peluang sistim
pendidikan Islam di Indonesia, antara lain:
1. Sistim
pendidikan Islam Indonesia tidak mendominasi sistim pendidikan Nasional, karena
ajaran Islam secara filosofis tidak bertentang dengan filosofis hidup bangsa
Indonesia. Dalam konsep penyusunan sistim pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
dan peraturan pemerintah yang menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk
mengembangkan diri.
2. Pancasila
sebagai asa bernegara secara filosofis menjadi landasan filsafat pendidikan.
3. Semakin
berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI
secara politis dijadikan sarana baru untuk memperkokoh wacana tersebut.
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun
sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim
pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik
pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini
adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana
yang telah dicapai pada zaman klasik.
Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy
Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only
their own religion, know none, those who are not decisively committed to one
faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”.
Pada intinya dengan mengetahui agama,
kita akan mengetahui banyak hal.
Wallahu ‘alam.
Daftar Pustaka
Munir Abdullah. 2010. Catatan
Cinta Seorang Guru. Yogyakarta: Pedagogia.
Ajat Sudrajat. 2008. et.all. Din
al-Islam Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Un Press.
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem
pendidikan Nasional)
Prof, Dr. Haidar Putra Daulay. MA. 2004.
Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Muhaimin. 2001. paradigma
pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah. Bandung:
Rosda.
Shaleh Abdul Rachman. 2000. pendidikan
agama dan keagamaan; visi, missi dan aksi. Jakarta: Gemawindu.
Sudjarwo dan Basrowi. 2008. pranata
dan system pendidikan. Kediri: Jenggala Pustaka Utama.
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho.
2008. Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan
dan kebijakan sebagai kebijakan public. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2009. rekonstruksi
pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Azyumardi Azra. 2002. Masalah dan
Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah Jakarta: Hotel Indonesia.
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Amin Abdullah. M. 1996. Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koran Harian KOMPAS. 2005
UU Guru dan Dosen 2015: Diberi
Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian MEDIA INDONESIA.
www.fajar.co.id/read-20120427221821-2013.
ujian-nasional-dalam-sorotan.
http://news.detik.com/read/2011/06/16/111058/1661566/10/
http://mpiuika.wordpress.com.kebijakan-pendidikan-islam.
http://cucumashaikalhikam.blogspot.co.id/2015/05/prospek-dan-tantangan-pendidikan-agama.html
[2] Ajat Sudrajat,
et.all. Din al-Islam Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi Umum, Un
Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 130
[3] Undang-Undang
SISDIKNAS (Sistem pendidikan Nasional) UU RI No. 20 Tahun
2003, Bab III Prinsip penyelenggaran Pendidikan pasal 4 ayat
1
[4] Prof,
Dr. Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam dalam Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia, Fajar Interpratama
Offset, Jakarta., 2004, hlm. 153
[5] Undang-Undang
SISDIKNAS (Sistem pendidikan Nasional) UU RI No. 20 Tahun 2003, Bab V Peserta
Didik, pasal 12 ayat 1a
[7] Muhaimin,
paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di
sekolah, (Bandung, Rosda, 2001), h.
36
[8] Muhaimin, paradigm
pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung,
Rosda, 2001), h. 75
[9] Abdul Rachman Shaleh, pendidikan
agama dan keagamaan; visi, missi dan aksi, (Jakarta, GEmawindu, 2000),
h. 2
[10] Sudjarwo
dan Basrowi, pranata dan system pendidikan, (Kediri, Jenggala Pustaka
Utama, 2008), h. 86
[11] Muhaimin,
paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di
sekolah, (Bandung, Rosda, 2001), h.
78
[12] H.A.R.
Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami
kebijakan pendidikan dan kebijakan sebagai kebijakan public, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008), h. 137
[14] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dan
Peraturan Pelaksanaannya, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1999; lihat juga
Undang-Undang Rebublik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS), Bandung: Citra Umbara, 2003.
[15] Azyumardi
Azra, “Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah”, Makalah,dipresentasikan
pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan di Hotel Indonesia, Jakarta, 8–10
Agustus 2002, h. 1
[16] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia,Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 11.
[18] Lihat “Program Pengembangan IAIN
Alauddin Makassar menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar”, Executive Summary, Makassar: IAIN Alauddin Makassar,
2005, h. 4.
[19] M.
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet.
I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 102.
[20] Azyumardi
Azra, “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Gagasan dan Solusi”, Makalah,disampaikan
pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar, 25 Agustus 2004, h. 2.
[21] Suwito,
“Pendidikan yang Memberdayakan”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, h. 24.
[22] Lihat “Undang-undang
Guru Disahkan”, Harian KOMPAS, 7 Desember 2005, h. 12.
[23] Lihat
“UU Guru dan Dosen: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian
MEDIA INDONESIA, 7 Desember 2005, h. 1.
[24] Lihat Undang-undang
Rebublik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), Bandung: Citra Umbara, 2003, h. 31
[26]
http://news.detik.com/read/2011/06/16/111058/1661566/10/dipaksa-sebarkan-contekan-un-siswa-sd-tak-takut-paparkan-kronologi,
diakses tanggal 16 Mei 2013.
No comments:
Post a Comment