Monday, February 5, 2018

Makalah Prospektif PAI dalam Ujian Negara

Makalah Analisis Mutu PAI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan Islam yang terselenggara di Indonesia sangat membantu mencerdasakan generasi bangsa.[1] Karena Pendidikan Islam menjadi sarana untuk mendidik, memelihara, dan membina, dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia agar manusia menjadi manusia yang seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan ajaran Islam.[2] Hal ini  didukung dengan adanya undang-undang SISDIKNAS UU No 20 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa prinsip dari penyelenggaraan pendidikan adalah dengan adalah dengan demokratis, berkeadilan tidak diskrimantif, menjunjung tinggi HAM, nilai kegamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa.[3] dengan adanya pendidikan agama terlebih Pendidikan   Agama Islam yang sekarang sebagai mata pelajaran yang diberikan kepada seluruh siswa. Muatan yang terkandung dalam  pendidikan Pendidikan Agama Islam memilki tiga  memiliki tujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi jasmani dan rohani manusia, menumbuhkan hubungan yang harmon setiap individu dengan Allah SWT, manusia dan alam semesta.[4] Karena  sebenarnya setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan memang memilki hak untuk mendapatakan pendidikan Agama sesuai agama yang dianutnyadan diajarkan oleh pendidik yang segama.[5]
Kita mengetahui bahwa dunia pendidikan sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaruan. Sekolah-sekolah yang ada di Indonesia terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya. Maka pendidikan Agama  Islam juga harus selalu mengalami pembaruan atau up date sehingga sesuai dengan keadaan zaman dan mampu menghadapi tantangan zaman. Pendidikan Agama Islam sering dijadikan sebagai ruh dalam pendidikan. Karena  pendidikan agama Islam memiliki tiga meliputi tauhid, ibadah, dan akhlak yang sangat penting dalam Islam sendiri.  materi pendidikan agama Islam dalam dunia pendidikan juga mencakup 3 aspek tersebut dengan adanya materi tauhid dalam pelajaran Akidah, Fikih, dan Akhlak. Pendidikan Agama Islam dalam dunia pendidikan memberikan sumbangsih yang sangat besar sehingga Indonesia termasuk negara ketimuran. Artinya menganut pandangan hidup di Timur tengah..[6]
Semakin canggihnya ilmu pengetahuan, semakin majunya peredaran zaman danmanusiapun beragam. kemewahan di bidang harta tidak akan menjamin kebahagiaan seseorang jika orang tersebut tidak bisa menikmati kekayaan itu, apalagi bagi orang yang serba kekuranganatau merasa kurang cukup terus-menerus. Banyak anak-anak yang tidak patuh lagi kepada orangtuanya, tentunya sangat dikhawatiran yang mengakibatkan perasaan tidak tenang dan selalugelisah, bahkan banyak orang yang mengalami penyakit stress yang mereka sendiri tidak tahuobatnya, mencari tempat berpegang kepada siapa dan bagaimana cara menenangkan perasaanyang stress itu, bahkan mereka sering bingung, dihinggapi rasa takut dan rasa bersalah yang tidaktahu sebabnya.
Oleh karena itu, tentu sangat perlu dijelaskan bagaimana pendidikan anak sebelum lahir,masa bayi, masa kanak-kanak, dewasa, bahkan sampai mereka tua. Pendidikan anak pada usiadini juga sangat dianjurkan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidakdiinginkan. Karena pendidikan agama islam sejak dini sengat berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Proses belajar dan pembelajaran bisadilakukan pada jalur formal maupun informal.



B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian dan urgensi PAI?
2.    Bagaimana Realitas PAI dalam keseimbangan Negara?
3.    Bagaimana Purifikasi PAI dan Transformasinya?
4.    Bagaimana Implikasi dan Kebijakan Pemerintah terhadap PAI?
5.    Bagaimana Prospektif PAI terhadap kebutuhan Negara?

C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui Pengertian dan Urgensi PAI
2.      Mengetahui Realitas PAI dalam keseimbangan Negara
3.      Mengetahui Purifikasi PAI dan Transformasinya
4.      Mengetahui Implikasi dan Kebijakan Pemerintah terhadap PAI
5.      Mengetahui Prospektif PAI terhadap kebutuhan Negara



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung setidak –tidaknya tercakup dalam 8 pengertian, yaitu al-tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al- din (pengajaran agama), ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islami (pengajaran keislaman), tarbiyah al- muslimin (pendidikan orang-orang islam), al tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam islam), al tarbiyah ‘indza al muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islam).[7]
Dalam GBPP PAI di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa/ peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan memperthatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.[8] Dan menurut Abdul Rahman Shaleh dalam bukunya pendidikan agama dan keagamaan menyatakan pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggungjawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdian kepada Allah.[9]

B.       Urgensi dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
          Visi dasar pendidikan nasional adalah bagaimana agar manusia Indonesia cerdas dan memiliki keunggulan dalam segala bidang. Dan bila ditelaah visi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Renstra Depdiknas. Pertama, cerdas spiritual (olah Hati) dirumuskan dengan beraktualisasi diri  melalui hati/ kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. .
          Kedua, cerdas emosional dan social (olah rasa). Beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensivitas dan apresiasi akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya. Beraktualisasi diri melalui interaksi social yang membina dan memupuk hubungan timbal balik, demokrasi, empatik dan simpatik, menjunjung tinggi hak asasi manusia,eria dan percaya diri, menghargai kebinekaa dalam bermasyarakat dan bernegara serta berwawasan serta kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara.
          Ketiga, cerdas intelektual (olah piker). Beraktualisasi  diri melalui olah piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Aktualisasi insane intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
          Keempat, kompetitif berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan dan bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangunan dan pembinaan jejaring,bersahabat dengan perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, pembelajaran spanjang hayat.[10]Adapun secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan  untuk “Meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peseerta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[11] Dari tujuan tersebut diatas dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu:
1.      Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
2.      Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama Islam
3.      Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan  ajaran Islam dan
4.      Dimensi pengamalannya, dalam arti bagaimana  ajaran Islam yang telah diimani, pahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan dan mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
          Singkatnya dari uraian diatas adalah agar siswa/ peserta didik memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.
          Proses pendidikan merupakan kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Praksis pendidikan yang merupakan kesatuan antarteori dan praktik meliputi unsur-unsur  sebagai berikut: dalam lingkup teori dirumuskan gambaran manusia mengenai visi, misi dan program-program pelaksanaan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Disamping aspek-aspek teoritis terdapat aspek pelaksanaan atau praktik dari tindakan pendidikan.[12]
          M. Tholhah Hasan mengatakan, bahwa tujuan makro pendidikan Islam dapat dipadatkan menjadi  tiga macam, yaitu:
1)        Untuk meyelamatkan dan melindungi fitrah manusia
2)        Untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia
3)        Untuk menyelaraskan perjalanan fitrah  mukhallaqah (fitrah yang diciptakan oleh Allah swt pada manusia, yang berupa naluri, potensi jismiyah, nafsiyah, aqliyah, dan qolbiyah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah (fitrah yang diturunkan oleh Allah swt sebagai acuan hidup, yaitu agama) dalam semua aspek kehidupan, sehingga manusia dapat lestari hidup di atas jalur yang benar, atau di atas jalur “As-Shirath al Mustaqim”[13]

C.      Realitas Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Dalam sejarah panjangnya, eksistensi pendidikan Islam sering kali harus berhadapan dengan negara. Artinya, kebijakan politik pemerintah tentang pendi­dikan Islam dapat dikatakan tidak kondusif. Pendidikan Islam barulah mendapat perhatian yang cukup signifikan setelah lahirnya Undang-Undang Republik IndonesiaNo. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan lebih dikukuh­kan lagi oleh lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[14]
Dalam undang-undang yang terakhir ini secara jelas terasa kesan kuat adanya pengakuan pemerintah secara eksplisit terhadap keberadaan berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai pergu­ruan tinggi. Akan tetapi, pengakuan pemerintah yang lebih bersifat normatif ini masih dicederai oleh tidak berimbangnya alokasi dana pendidikan untuk lembaga pendidikan yang berada di bawah pengelolaan Departemen Agama dibandingkan dengan yang berada di bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional.[15]
Jika dilihat dari kebijakan politik pendidikan pemerintahan Indonesia, maka realitas pendidikan Islam dapat dipetakan ke dalam empat periode, yaitu:kebijakan politik pemerintahan pada masa prakemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi.[16] Untuk kebutuhan makalah ini hanya akan dijelaskan ciri-ciri pendidikan Islam pada periode keempat atau masa reformasi. Periode ini di antaranya ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Sebagai contoh dapat dilihat dari lenyapnya berbagai aturan yang dipandang sangat memasung kebebasan maha­siswa dalam melakukan berbagai kreativitasnya. Mereka dapat merancang berbagai program sesuai dengan aspirasi yang berkembang. Walaupun begitu, harus pula diakui bahwa masih ada sejumlah kebijakan yang pernah diterapkan oleh orde sebelumnya belum sepenuhnya dihapus. Sentralisasi pendidikan seperti dalam hal kurikulum, ujian, akreditasi, anggaran, dan berbagai aturan lainnya belum jauh berbeda dengan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Orde Baru.[17]
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam, sepanjang sejarahnya, senantiasa mengalami marginalisasi di masa lalu. Oleh karena itu, diper­lukan political will dari pemerintah dan usaha maksimal dari umat Islam sendiri, terutama dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, untuk melakukan pembaruan pendi­dikan Islam, baik dari segi epistemologi keilmuannya maupun kelembagaan­nya tanpa mengenyampingkan komponen-komponen pendidikan Islam lainnya, seperti tujuan, kurikulum, metodologi pengajaran, tenaga kependidikan (guru dan dosen), dan manajemen.

D.      Purifikasi Pendidikan Agama Islam dan Transformasinya
1.         Pembaruan Epistemologi Keilmuan Pendidikan Islam
Berangkat dari pembidangan keilmuan yang sudah baku―ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora―dipandang perlu menempatkan etika Islam yang ber­sumber pada nilai-nilai universal Alquran dan hadis Nabi untuk menjiwai seluruh bidang keilmuan tersebut[18]. Pandangan semacam ini menjadi visibel bila dilihat dari sisi teori perubahan sosial yang lebih dikenal dengan shifting paradigm,yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan shifting paradigm. Yang dimak­sud dengan shifting paradigm di sini adalah adanya pergeseran gugusan pemikiran keilmuan yang memungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, per­baikan, peru­musan kembali, nasikh–mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun epistemo­logi keilmuan.[19] Dengan begitu, maka usaha untuk melakukan integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah lembaga pendidikan secara utuh bukan­lah sesuatu yang tabu.
Memadukan ilmu agama dan ilmu umum dalam dinamika pendidikan Islam dimaknai Azyumardi Azra sebagai upaya memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya seluruh ilmu itu berasal dari Yang Maha Esa, sedangkan usaha penda­laman dan pengembangan terhadap keduanya merupakan manifestasi ibadah.[20]
Boleh jadi kemunduran pendidikan Islam lebih disebabkan oleh adanya pandangan dikotomis tentang ilmu umum dan ilmu agama. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, Islam sebenarnya tidak mengenal adanya dikotomi tersebut. Pandangan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS al-‘Alaq/96: 1-5, yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan hendaklah dimulai dengan menyebut nama Allah, sebab inilah yang menjadi kunci, apakah suatu pekerjaan memiliki ruh keislaman atau tidak. Selanjutnya dengan tegas Allah mengatakan bahwa Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Di sini Allah tidak membedakan bahwa yang diajarkan-Nya itu adalah ilmu agama atau ilmu umum. Dengan begitu, maka dipahami bahwa asal ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum, pastilah berasal dari sumber yang satu yaitu Allah. Artinya, kalau umat Islam mau memajukan pendidikan Islam, maka perilaku mendikoto­mikan ilmu agama dan ilmu umum haruslah ditinggalkan, karena akan membawa kemunduran bagi umat Islam.
2.         Pembaruan Kelembagaan Pendidikan Islam
Setiap akademisi perlu menyadari adanya sinyalemen umum di kalangan stakeholder pendidikan bahwa kuliah di perguruan tinggi luar negeri lebih mudah,  lulusan perguruan tinggi luar negeri lebih marketable dalam mendapatkan lapangan pekerjaan,kuliah di perguruan tinggi dalam negeri lebih “sulit” karena banyaknya mata kuliah yang tidak relevan, dan lulusan perguruan tinggi dalam negeri sulit mendapatkan lapangan pekerjaan.
Untuk itulah, barangkali perlu disambut positif apa yang disampaikan oleh Suwito dalam pidato pengukuhan guru-besarnya bahwa sikap kritis dan/atau ketidakpuasan dalam dunia pendidikan sangat diperlukan karena sikap serupa ini akan dapat melahirkan keputusan-keputusan atau aksi-aksi baru yang dinilai dapat mengatasi permasalahan yang muncul. Oleh karena menyangkut hidup, maka keputusan atau aksi baru yang ditetapkan tidak dapat dianggap sesuatu yang final.[21]
Sebuah penelitian yang dilakukan di Makassar menemukan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang selama ini paling kental mengakomodasi materi pendidikan agama ternyata tidak lagi berbasis MTs dan MA, tetapi sudah berbasis SMP dan SMU. Ini artinya, para alumni dari lembaga pendidikan Islam ini, secara vertikal, tentu membutuhkan lembaga pendidikan tinggi Islam yang tidak hanya berbasis jurusan agama semata, tetapi juga berbasis jurusan ilmu umum.
3.      Isu-Isu Kontemporer Pendidikan
Berbagai isu pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan Islam, dapat dipaparkan sebagai berikut:

a.         Undang-Undang Guru dan Dosen
Kelahiran Undang-Undang Guru dan Dosen pada Desember 2005 dimaksud­kan untuk memperbaiki wajah pendidikan di Indonesia melalui perbaikan nasib guru dan dosen. Undang-Undang ini diperlukan untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan dosen, termasuk perlindungan profesi dan kesejahteraannya.[22]
Ketika Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut lahir, komunitas guru dan dosen berharap banyak kepada pemerintah untuk segera membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal akreditasi, sertifikasi, kualifikasi, tunjangan dan lain-lain, sehingga Undang-Undang ini men­jadi efektif dan bermanfaat bagi guru dan dosen serta memberi implikasi positif bagi dunia pendidikan secara keseluruhan. Pemerintah memberikan waktu sepuluh tahun, mulai 2007, bagi para guru untuk memenuhi persyaratan sertifikasi profesi pendidikan dengan memiliki gelar sarjana serta lulus uji sertifikasi.[23] Klausul inilah yang membuat Fakultas Tarbiyah dan Keguruan pada lingkungan IAIN dan UIN menjadi sibuk luar biasa karena harus melaksanakan program yang menjadi implikasi dari kelahiran Undang-Undang Guru dan Dosen tersebut..
Untuk mensarjanakan para calon guru dan guru dalam jabatan yang belum sarjana, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan melaksanakan berbagai program seperti: Program Peningkatan Kualifikasi Guru PAIS pada Sekolah, Program Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI, Program Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI/PAIS melalui Program Dual Mode System, Program Peningkatan Kualifi­kasi Guru PAIS pada Sekolah ke Jenjang Sarjana Reguler, dan Program Peningkatan Kualifikasi Guru RA/MI Non-PAI.
Sedangkan untuk mensertifikasi guru PAI dan guru madrasah, maka Fakultas Tarbiyah dan Keguruan diberi berbagai kegiatan seperti: Sertifikasi Guru Jalur Portofolio, Sertifikasi Guru Jalur Pendidikan, Sertifikasi Guru Jalur PLPG, Peningkatan Kompetensi Guru, dan paling mutakhir adalah proyek Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun. Proyek yang terakhir ini sudah memasuki masa penyelesaian dan akan berakhir bulan September 2013. Walaupun begitu, sejumlah program yang berkaitan dengan peningkatan kualifikasi dan Dual Mode System (DMS) agaknya perlu dikritisi. Program ini memang merupakan konsekuensi dari lahirnya Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Gosen, tetapi dalam implementasinya banyak hal yang tidak sejalan dengan teori-teori pendidikan. Secara sederhana 10 x 1 sama jumlahnya dengan 1 x 10, tetapi dalam perspektif pendidikan 10 x 1 dianggap benar dari sisi proses, sedangkan 1 x 10 dianggap tidak benar karena kurang manusiawi.
Proyek Peningkatan Kualifikasi Guru dengan segala variannya, walaupun terlaksana dengan baik, tetapi sesungguhnya program ini dilaksanakan dengan format minimalis. Dikatakan demikian, karena pihak LPTK terpaksa harus menja­lankan program tersebut walaupun dengan menganut teori 1 x 10 yang berkon­sekuensi ketidakefisienan. Bagi kalangan pendidikan yang memahami teori-teori pembelajaran tentunya akan mengkritisi model minimalis tersebut, tetapi inilah kenyataan empirik dunia pendidikan bangsa ini, apalagi jika dikaitkan wilayah Indonesia Bagian Timur.
b.         Lembaga Pendidikan dan Mall
Tema ini kelihatannya tidak memiliki relevansi satu sama lain, tetapi jika ditelaah dari perspektif pendidikan terlihat bahwa kedua variabel tersebut ternyata memiliki kaitan. Maraknya aktivitas pembangunan mall dewasa ini sangat kontras dengan aktivitas pembangunan atau rehabilitasi gedung sekolah. Begitu banyak gedung sekolah atau lembaga pendidikan yang ambruk karena dimakan usia, tetapi tidak mendapatkan perhatian serius dari pihak yang berwenang. Usaha untuk membangun lembaga pendidikan unggulan berjalan sangat lamban, sesuai teori deret hitung, sedangkan pembangunan mall berjalan begitu cepat, sesuai teori deret ukur.
Maraknya pembangunan mall dipastikan akan mendorong masyarakat menjadi sangat konsumtif. Sementara itu, usaha mencerdaskan bangsa melalui lembaga pendidikan unggulan semakin jauh tertinggal. Kenyataan ini sangat menye­dihkan masyarakat pendidikan apalagi amanat undang-undang agar mengalokasi­kan APBN danAPBD minimal sebesar 20 % untuk sektor pendidikan masih jauh dari harapan.[24]
c.         Guru Ideal Versus Kecurangan Ujian Nasional
Guru bermoral adalah guru yang memegang teguh kejujuran dalam setiap interaksi sosialnya. Kejujuran seorang guru akan meretas kejujuran lainnya dan ketidakjujuraan seorang guru akan menyeret ketidakjujuran lainnya sehingga sangat berbahaya bagi peserta didik, karena boleh jadi nilai-nilai kejujuran yang diajarkan orang tuanya di rumah ternyata berbeda dengan kejujuran yang berlaku di sekolah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini sangat banyak kecurangan yang dilakukan guru bahkan sekolah secara kelembagaan ketika ujian nasional diselenggarakan. Berbagai ekses UN terus saja muncul ke permukaan dan yang paling gaduh terkait dengan pelaksanaan UN terjadi pada tahun 2011, yaitu isu contek massal di SDN Gadel 2 Surabaya. Dalam kaitan ini, seorang siswa peserta UN bernama Alif Ahmad Maulana bersama kedua orang tuanya, Siami dan Widodo, melaporkan kepada pihak berwajib bahwa anaknya, Alif Ahmad Maulana, diminta oleh gurunya untuk memberikan kunci jawaban kepada teman-temannya. Alif diminta melakukan itu karena ia dianggap sebagai siswa yang paling pintar di antara siswa lainnya. Perbuatan Alif membantu teman-temannya, sebagai bentuk ketaatannya kepada guru itu, ternyata selalu menghantui perasaannya karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran yang selama ini diajarkan oleh orang tuanya.[25]
Guru dari Alif Ahmad Maulana ini yang telah mengakibatkan ia bersama kedua orang tuanyaterusir dari kampung halamannya bukanlah sosok guru yang baik. Guru seperti ini mestinya dipecat karena akan menyebabkan kerusakan moral peserta didik secara masif di kemudian hari. Akibatnya, akan lahir generasi yang tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, karena semuanya dianggap baik dan hal ini akan merugikan, bukan saja negara melainkan juga agama.
Kasus serupa terjadi juga pada seorang peserta didik bernama Muhammad Abrari Pulungan dari SD 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang dipaksa gurunya untuk turut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan penyon­tekan massal pada saat Ujian Nasional dan permufakatan jahat ini tidak boleh diberitahukan kepada siapapun termasuk orang tua. Hal ini telah menyebabkan Abrari mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, sehingga ia ditemani ibunya melakukan komplain kepada gurunya terhadap permufakatan jahat ini. Hal ini telah dilaporkan kepada berbagai pihak termasuk kepada KOMNAS Perlindungan Anak dan telah pula dibuat film dokumenternya berjudul “Temani Abu Bunda”. Berbagai media menulis bahwa kasus Muhammad Abrari Pulungan ini melengkapai kasus Alif Ahmad Maulana yang mengakibatkan orang tuanya, Siami dan Widodo, terusir dari kampung Gadel, Tandel, Surabaya.[26]



E.       Implikasi dan Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai  pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
1.         Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2.         Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
3.         Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.
4.         Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.
5.         Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I)          Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
          Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.[27]
              Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama juga dapat dilihat dalam PP 55 TAHUN 2007  Pasal 5; ayat 1-9: yang berbunyi:
(1) Kurikulum pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan.
(2) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik.
(3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.
(5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif,  kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab.
(6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.
(7) Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses.
(8) Satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai kebutuhan.
(9) Muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat berupa tambahan materi, jam pelajaran, dan kedalaman materi.
Paparan ayat-ayat dari pasal 5 UU no 55 tahun 2007, merupakan perhatian pemerintah terhadap agama yang ada di Negara Indonesia dalam memberikan kebijakan-kebijakan terhadap pembinaan dan pengajaran serta pendidikan agama bagi masyarakat Indonesia yang menjadi syarat bahwa bangsa Indonesia harus meyakini kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan dasar Negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. Demikian pula kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam, yang melingkupi kebanyakan masyarakat Indonesia, dapat dilihat dari UU no. 55 Tahun 2007 pada pasal 14; ayat 1,2,3:
(1)    Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.
(2)   Pendidikan diniyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
(3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Adapun kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama Islam untuk jalur formal dapat dilihat dari pasal 15;pasal 16; ayat 1, 2, 3 dan pasal 17; ayat 1, 2, 3, 4  pasal 18; ayat 1, 2 pasal 19; ayat 1, 2 dan pasal 20; ayat 1, 2, 3, 4 :
Pasal 15
Pendidikan diniyah formal menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 16
(1)   Pendidikan diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
(2)   Pendidikan diniyah menengah menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat. 
(3)   Penamaan satuan pendidikan diniyah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan.
 Pasal 17
(1)   Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun.
(2)   Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka seseorang yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah dasar.
(3)   Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah pertama, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah dasar atau yang sederajat.
(4)   Untuk dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniyah menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
 Pasal 18
(1)   Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
(2)   Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya. 
Pasal 19
(1)   Ujian nasional pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam.
(2)   Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan sangat penting bagi kehidupan. Pendidikan merubah budaya dan peradaban umat manusia. Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetapi menarik dan tak ada habis-habisnya selagi sejarah umat manusia masih ada. Pendidikan Islam sering manjadi perbincangan dalam skala besar maupun kecil, dimeja makan maupun di seminar-seminar, tetap tidak membuat jenuh yang mendiskusikannya, karena senantiasa berkembang dan akan selalu eksis, terutama terkait dengan upaya  membangun sumber daya manusia muslim.
Pendidikan Islam sebagai sub dari pendidikan Nasional yang mencita-citakan terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial, secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia indonesia seutuhnya sebagaimana yang digambarkan dalam tujuan pendidikan Nasional.
Pemerintah telah banyak memberikan fasilitas, walaupun dari sisi lain masih kurang mengena. Namun telah kita rasakan dari berbagai kebijakan-kebijakan yang ada, baik itu berupa SKB maupun UU tentang pendidikan agama dan keagamaan. Inilah kesempatan bagi umat beragama lebih khusus lagi umat Islam untuk memanfaatkan dan mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah disediakan.
Meyakini pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:
1.    Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang bukan Islam. Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih dari    itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu pengetahuan itu sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus, yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada sabda Rasulullah SAW: Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR. Ahmad)
2.   Dalam perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan dorongan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah dicapai oleh dunia Islam. Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah yang mula-mula menyebarkan pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam oleh dunia Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para sarjana Islam terhadap karya Yunani klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya pemurtadan terhadap filosof Islam lantaran menggandrungi pemikiran Yunani klasik tersebut.
3.  Umat Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya. Lembaga yang dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan lembaga-lembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan. Untuk itu, kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus semakin menyadari akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategi, yaitu menjadikan dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.

Disamping itu dalam era globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Adapun peluang sistim pendidikan Islam di Indonesia, antara lain:
1.  Sistim pendidikan Islam Indonesia tidak mendominasi sistim pendidikan Nasional, karena ajaran Islam secara filosofis tidak bertentang dengan filosofis hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep penyusunan sistim pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
2.    Pancasila sebagai asa bernegara secara filosofis menjadi landasan filsafat pendidikan.
3.  Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana baru untuk memperkokoh wacana tersebut.
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.
Menurut analisa pemakalah mengutip dari pendapat Budhy Munawar dalam bukunya Islam Pluralis yaitu “those who know only their only their own religion, know none, those who are not decisively committed to one faith, know no others and to be religious today is to be interreligious”. Pada intinya dengan mengetahui agama, kita akan mengetahui banyak hal. Wallahu ‘alam.


Daftar Pustaka
Munir Abdullah. 2010. Catatan Cinta Seorang Guru. Yogyakarta: Pedagogia.
Ajat Sudrajat. 2008. et.all. Din al-Islam Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Un Press.
Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem pendidikan Nasional)
Prof, Dr. Haidar Putra Daulay. MA. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan  Nasional  di Indonesia.  Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Muhaimin. 2001. paradigma pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah. Bandung: Rosda.
Shaleh Abdul Rachman. 2000. pendidikan agama dan keagamaan; visi, missi dan aksi. Jakarta: Gemawindu.
Sudjarwo dan Basrowi. 2008. pranata dan system pendidikan. Kediri: Jenggala Pustaka Utama.
H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan sebagai kebijakan public. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2009. rekonstruksi pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Azyumardi Azra. 2002. Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah Jakarta: Hotel Indonesia.
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Amin Abdullah. M. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas   Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koran Harian KOMPAS.  2005
UU Guru dan Dosen 2015: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian MEDIA INDONESIA.
www.fajar.co.id/read-20120427221821-2013. ujian-nasional-dalam-sorotan.
http://news.detik.com/read/2011/06/16/111058/1661566/10/
http://mpiuika.wordpress.com.kebijakan-pendidikan-islam.
http://cucumashaikalhikam.blogspot.co.id/2015/05/prospek-dan-tantangan-pendidikan-agama.html



[1] Abdullah Munir, Catatan Cinta Seorang Guru, Pedagogia, Yogyakarta, 2010, hlm. 8
[2] Ajat Sudrajat, et.all. Din al-Islam Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi Umum, Un Press, Yogyakarta, 2008, hlm.  130
[3] Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem pendidikan Nasional) UU RI No. 20 Tahun 2003,    Bab III Prinsip penyelenggaran Pendidikan pasal 4 ayat 1
[4] Prof, Dr. Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan  Nasional  di Indonesia,  Fajar Interpratama Offset, Jakarta., 2004, hlm. 153
[5] Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem pendidikan Nasional) UU RI No. 20 Tahun 2003, Bab V Peserta Didik,  pasal 12 ayat 1a

[6] http://cucumashaikalhikam.blogspot.co.id/2015/05/prospek-dan-tantangan-pendidikan-agama.html
[7] Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  h. 36
[8] Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  h. 75
[9] Abdul Rachman Shaleh, pendidikan agama dan keagamaan; visi, missi dan aksi, (Jakarta, GEmawindu, 2000), h.  2
[10] Sudjarwo dan Basrowi, pranata dan system pendidikan, (Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2008), h. 86
[11] Muhaimin, paradigm pendidikan islam; upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di sekolah, (Bandung, Rosda, 2001),  h. 78
[12] H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan; pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan sebagai kebijakan public, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 137
[13] Muhaimin, rekonstruksi pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 255
[14] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1999; lihat juga Undang-Undang Rebublik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bandung: Citra Umbara, 2003.
[15] Azyumardi Azra, “Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah”, Makalah,dipresentasikan pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan di Hotel Indonesia, Jakarta, 8–10 Agustus 2002, h. 1
[16] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 11.
[17] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 20
[18] Lihat “Program Pengembangan IAIN Alauddin Makassar menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar”, Executive Summary, Makassar: IAIN Alauddin Makassar, 2005, h. 4.
[19] M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 102.
[20] Azyumardi Azra, “Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum: Gagasan dan Solusi”, Makalah,disampaikan pada acara Studium General di IAIN Alauddin Makassar, 25 Agustus 2004, h. 2.
[21] Suwito, “Pendidikan yang Memberdayakan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, h. 24.
[22] Lihat “Undang-undang Guru Disahkan”, Harian KOMPAS, 7 Desember 2005, h. 12.
[23] Lihat “UU Guru dan Dosen: Diberi Waktu 10 Tahun Dapatkan Sertifikasi”, Harian MEDIA INDONESIA, 7 Desember 2005, h. 1.
[24] Lihat Undang-undang Rebublik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bandung: Citra Umbara, 2003, h. 31
[25] www.fajar.co.id/read-20120427221821-ujian-nasional-dalam-sorotan, diakses tang-gal 2 Mei 2013.
[26] http://news.detik.com/read/2011/06/16/111058/1661566/10/dipaksa-sebarkan-contekan-un-siswa-sd-tak-takut-paparkan-kronologi, diakses tanggal 16 Mei 2013.

Share:

No comments:

Post a Comment

JOIN US !

JOIN US !

KONTAK REDAKSI

Jl. Raya Kepuharjo 18A PPAI An-Nahdliyah
Karangploso Malang. Kode Pos : 65162.
Contac Person : 081282577492 - 081235248670